x

Iklan

fatimah azizah

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 16 November 2021

Rabu, 17 November 2021 15:45 WIB

Satir Cinta


Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Aku mengenalmu dengan baik, sebagaimana orang lain juga mengenalmu. Kita sebatas satir yang memisahkan dua bagian antara ustadz dan muridnya. Tidak berharap lebih, aku hanya ingin belajar memperbaiki diri yang dimulai dari memperbaiki bacaan Al-Qur’an dan menambah ilmu perihal Al-Qur’an. Hari demi hari kulalui, halaqoh berlangsung setiap satu pekan sekali bertepatan pada hari ahad sore. Semua penat, lelah, cape, setelah beberapa rangkaian aktifitas satu pekan berusaha ku lupakan. 
“jika kamu mau sukses, kamu jangan takut cape.” Fikirku seperti itu. 
Awal-awal aku merasa semangat dan cukup antusias, dengan motivasi aku harus bisa, walaupun aku hanyalah tamatan sekolah reguler. Ya,..mungkin aku tidak sebagus/sefasih mereka-mereka, tapi setidaknya aku tau sedikit-sedikit ilmunya dan penerapannya.
Suatu hari, ustadazah yang mengajariku berfikiran mau menggantikan dirinya dengan yang lebih faham perihal ilmu tahsin dan lebih jelas sanadnya. Fikirku,...”ah..ngga papa, toh belajar menjadi lebih baik.”
Setelah perbincangan panjang lebar, ternyata seseorang yang akan menggantikan beliau adalah seorang ustadz, yang setatusnya adalah lajang alias jomblo. Sontak aku menolak, dengan alasan takut akan adanya fitnah. Namun, alasanku tidak diterima. Mereka beranggapan ini masihlah aman, karena nantinya akan ada satir yang menghalangi tatapan diantara kita. 
“Iya juga si,..tapi perihal asmara bukan hanya dari mata turun ke hati bukan?” dalam benakku seperti itu. Tapi ya sudahlah,...Bismillah diniatkan lillah.
Hari demi hari semangatku mulai berubah dan salah, motivasiku mulai goyah, dari yang lillah sampai ke bayangan-bayangan indah. Jika dilihat, ini masih dalam interaksi yang wajar. Ada seorang guru yang menyampaikan dan ada murid yang mendengarkan, hanya saja kita terhalang oleh satir. Sesekali ada sesi tanya jawab yang menimbulkan interaksi percakapan, sesekali ada tawa yang terdengar untuk menghilangkan keheningan ataupun karena ada perkataan tak sengaja namun terdengar lucu. 
Sesederhana itu,...tapi menjadi istimewa hingga terbawa dalam mimpi. Entah kenapa kini diriku bertambah semangat,...gelap, mendung, gerimis, hujan semuanya dilewati. 
Aku mulai ingin terbuka perihal ini, tapi aku masih merasa malu dan belum pantas juga membahas perihal hati. Kualihkan jadi sebuah candaan padahal itu adalah curhatan perihal perasaan.
Diriku mulai berani menceritakan hal itu setelah mengetahui identitasmu, yang mana dirimu adalah teman dari suami temanku dan dirimu adalah alumni dari sekolah yang sama dengan murobiku. Dari situ pembahasan mulai nyambung antara aku dengan sahabat-sahabatku. Padahal sebelumnya aku hanyalah pendengar kisah cinta mereka berdua. Tapi ceritaku belum pada pembahasan perasaan, aku hanya cerita perihal identitasnya karena mereka juga ingin mengikuti halaqohnya. 
Sebenarnya sempat terbesit dalam benakku, ini adalah salah satu kemudahan bagiku untuk menjalin hubungan dengannya. Aku bisa memulai hubungan dengannya lewat perantara suami sahabatku. Namun tidak,...Alloh masih sayang. Alloh justru mempersulit dengan lewat perantara sahabatku yang selalu menasehati “Hati-hati jangan sampai terjerumus kepada jurang maksiat.” Sehingga memunculkan fikiran-fikiran yang juga menghambatku untuk lebih maju mengejar perasaanku yang belum tau kepastiannya. Aku selalu terbayang “bagaimana bisa aku mau memulai hubungan yang diawali dengan kesalahan yang jelas jelas tidak dibenarkan dalam agama. Lantas bagaimana nanti Alloh akan Ridho?”
Aku juga tidak mau melakukan kesengajaan yang disengaja, dengan melakukan modus akhi ukhti yang sedang tenar dikalangan pemuda pemudi.
A : “Kriiing....Afwan kepencet...”(padahal aslinya sengaja dipencet)
U : “Laa Ba’sa” (berusaha cuek dan jual mahal, namun aslinya penasaran dan ingin lebih dekat)
Akhirnya dari situ saling save nomer dan menjadi sekontak. 
Aku juga tidak menginginkan adanya hubungan dikarenakan modus agama. Iya mungkin bisa dikatakan bagus, karena disitu berdiskusi perihal agama dan toh tidak ada pertemuan, hanya lewat chat. Huammm...ya ya ya..aku harus lebih bijak menyikapi ini, tidak boleh ceroboh dan goyah. Tetap mengamalkan Al-haq tanpa embel-embel tapi. Aku yakin, semua yang ditetapkan Alloh adalah yang terbaik, dan pastinya ada maksud yang terbaik bagi hamba-Nya. 
Dari sini aku mulai risih, mulai mencari cari alasan supaya tidak hadir dalam halaqoh. Beberapa hari aku pikirkan, berusaha mencari alasan yang tidak mengecewakan atau meninggalkan perasangka-perasangka buruk. 
Qodarulloh wa masya fa’ala,...Alloh memang dekat dan mengerti perasaan hamba-Nya. Tanpa harus mencari-cari sekarang aku sudah mempunyai alasan yang tepat yaitu, saya izin tidak lagi mengikuti halaqoh dikarenakan harus menyelesaikan tugas lapangan dari kampus.
Fikiranku sedikit lega, karena sudah merasa terlepas dari ancaman kemaksiatan. Hufffhh.....Alhamdulillah., aku sangat bersyukur karena Alloh selalu mempermudah langkah demi langkah, masalah demi masalah. Aku jadi tambah yakin jika Alloh itu akan menguji hambanya sesuai kadar kemampuannya.
Hari demi hari berlalu,....sudah sekitar satu bulan aku tidak mengikuti halaqoh. Namun, setan belumlah berputus asa menjerumuskan manusia, selalu menggoda agar terbawa ikut padanya. Setan menggoda dari beberapa arah, kini bukan lagi sebuah pertemuan yang aku khawatirkan. Akan tetapi aku mulai terpancing dengan modus online. Fikiranku terbayang-bayang, berimajinasi dan berusaha mencari-cari cara agar aku punya alasan yang logis untuk dapat menghubunginya dan kemudaian terjadi komunikasi yang panjang.
Sesekali menyimpan nomernya, dengan harapan barangkali dia juga menyimpan nomerku, Sehingga dapat dengan mudah membuka percakapan. Namun kenyataannya tidak sesuai harapanku, dia tidak menyimpan nomerku. Dari sini aku mulai putus asa, dan merasa hilang harapan.Sepertinya jauh untukku berjodoh dengannya,...tidak ada jalan atau celah lagi yang mungkin bisa menghubungkanku dengannya. 
“Aah...sudahlah, aku memanglah bukan orang baik. Masih jauh dari kata sholihah, masih perlu banyak perbaikan, mungkin disana ada yang lebih baik dariku yang pantas untuknya. Dia kan ustadz, dia kan penghafal Al-Qur’an, dia kan alumni pondok pesantren. Sepertinya tidak mungkin aku berjodoh dengannya”
Aku berusaha memupus harapan, tidak lagi berkhayal untuk bisa berjodoh dengannya. Tapi hatiku belum bisa berbohong, masih saja membawa-bawa namanya ketika sedang berbincang dengan temanku yang memang sudah tau perihal ceritaku. Tapi ketika ditanya, “kamu suka sama dia ya?” 
aku sendiri juga bingung harus jawab apa, karena aku juga tidak tau dengan perasaanku sendiri. Apakah ini yang namnya cinta ataukah sekedar kagum ataukah karena hanya ikut-ikutan teman yang sudah mempunyai teman dekat yang notabene punya faham agama yang lebih. 
“Hmmm...engga si mba, tapi kalo aku berjodoh dengannya ya Alhamdulillah” (sembari senyum-senyum ngga jelas). “tapi mba, aku punya harapan jika wisuda nanti sudah ada pasangan yang menemani. Dan aku tidak berdo’a mengharuskan untuk berjodoh dengannya, aku hanya berdoa semoga aku berjodoh dengan seseorang yang Ridho dan di Rodhoi.”
Kemudian temanku menimpali, “Boleh kok ketika kita berdoa, meminta dengan jelas apa yang kita inginkan dengan menyebut apa yang kita harapkan. Misalnya menyebut namanya. Tapi kamu jangan berharap lebih untuk berjodoh dengannya, tetap semuanya dipasrahkan kepada Alloh”
Begitu juga seperti yang disampaikan oleh murobiku, “Dalam berdoa kita boleh menyebutkan permintaan kita dengan jelas. Karena pada zaman sahabat juga pernah ada yang melakukan seperti itu”
Dari situ, diriku mulai menerapkan apa yang mereka sampaikan, tapi tidak mengharuskan. Bahkan pernah terucap olehku, “jika aku mengetahui perasaannya, dan perasaannya sama. Aku akan mengajak nikah mba.”
Terlihat aneh memang, mengharapkan seseorang yang tidak pernah memberi harapan, mengejar seseorang padahal tidak pernah tau perasaannya, karena kita tidak pernah sama sekali chating, hubungan ataupun interaksi kecuali dalam halaqoh.
Waktu demi waktu berlalu, hari demi hari terlewati. Tugas lapanganku hampir selesai. Ada sedikit titik terang dari doa-doa yang  dipanjatkan selama ini. Murobiku masuk kedalam grup yang sama denganku ataupun dia, itu artinya peluangku berjodoh dengannya bisa terjadi. Fikirku seperti itu,...
Mungkin nanti aku bisa menyampaikan perasaanku lewat murobiku. Tapi aku ngga tau bagaimana cara mengawali pembahasan perihal itu. Masa iya tiba-tiba aku menyampaikan aku suka terhadap seseorang, lagipula aku juga masih bimbang apakah aku benar-benar suka terhadapnya atau tidak. Namun, disisi lain diriku semakin gelisah karena dikejar-kejar oleh seseorang yang tidak aku harapkan. Bukan karena rupa, bukan karena tahta, bukan karena harta, tapi ini perihal agama. Dan aku merasa takut akan ceroboh hanya karena perasaan tidak enak.
Semua yang aku rasa aku ceritakan kepada temanku, bertujuan agar semua permasalahan ini ada solusinya. Temanku hanya berpesan agar aku untuk selalu berhati-hati, hindari chatingan atau komunikasi dengan lawan jenis yang tidak ada kepentingan. 
Tidak disangka-sangka ternyata temanku menyampaikan keluh, kesah serta gelisahku kepada murobiku. Alhasil aku dipanggil untuk menghadap beliau. Disitu aku ditanya apa yang sedang aku rasa,....ini hal yang wajar dan sudah sering dilakukan murobiku terhadap anak-anak didikannya yang sedang ada masalah terutama masalah hati. 
Disitu aku bingung harus memulai dengan apa, karena dari kesiapan sepertinya aku belumlah siap menikah apalagi untuk restu, sepertinya restu bapak ibu masih jauh. Dan sepertinya aku berkhayal terlalu berlebihan, karena aku masih harus menyelesaikan pendidikan, tidak mungkin aku mendapat restu dari kedua orang tua. Ketika ditanya murobiku, aku hanya menjawab “mungkin aku ada rasa sama dia tadz, tapi aku ngga berharap lebih dan   jangan dulu dia tau perihal ini tadz. Takutnya nanti dia terganggu, aku tidak mau merusaknya cuma gara-gara rasa. Dan akupun tidak tau apakah dia sudah punya calon atau belum, dan juga dia mempunyai rasa terhadapku atau engga”
November, akan ku terima dengan ikhlas. Pasalnya dibulan ini murobiku ada kegiatan bareng dengannya. Dia yang mengisi dan murobiku yang menjadi panitia sekaligus peserta yang ikut mendengarkan. Disitu merupakan awal perkenalan mereka, mereka merupakan sama-sama alumni dari sekolah yang sama sehingga sedikit-sedikit pembahasannya nyambung. Setelah beberapa perbincangan, murobiku bertanya “Afwan, antum sudah siap nikah?.” Jawaban dia “Belum, saya masih banyak tanggungan dan banyak tawaran juga.”
Murobiku menyampaikan kepadaku apa adanya, “dia belum siap nikah.” Dari jawaban itu aku merasa patah, “mungkin dia memang bukan jodohku, mungkin dia sudah punya calon.” Bla...bla..blaa...seterusnya fikirku seperti itu. Ya sudahlah, aku akan fokus ke pendidikanku dulu.
Bulan demi bulan terlewati masih dengan doa yang sama, khayalan yang sama tapi tidak tau ketetapan mana yang akan terlaksana. Hati masih lari sana lari sini sedang mencari sosok yang tepat untuk diri, agama, keluarga dan lingkungan. Sesekali ingin rasanya menyerah dan menyalahkan, tapi semua itu tidaklah pantas untuk diterapkan. Sampai pada titik aku bingung harus bagaimana, aku takut salah masuk ataupun membuat keputusan yang salah apalagi untuk seumur hidup. Aku curahkan semua itu kepada murobiku, bahwa aku sudah merasa sangat takut akan ceroboh padahal tau itu salah. Murobiku pun menenangkanku agar sabar dan memang perlu hati-hati, untuk selalu jaga jarak dan jaga komunikasi. Jangan memberikan peluang sedikitpun untuk setan masuk. In Syaa Alloh nanti akan ada yang lebih baik, dan murobiku akan berusaha mencarikan yang lebih tepat terutama untuk agamaku. Untuk sekarang aku harus lebih hati-hati dalam membuka hati dan lebih sabar.
Qodarulloh wa masyaafa’ala,...pada malam harinya aku dihubungi oleh murobiku. Aku disuruh buat biodata pada waktu itu juga. Akupun bingung karena tiba-tiba dan bisa secepat itu. Aku tidak langsung percaya dan mau, aku beralasan aku masih sekolah tidak mungkin orang tuaku merestui dan akupun belum izin orang tua. Akan tetapi murobiku tetap menguatkanku dengan alasan masalah orang tua adalah urusan beliau dan toh ini belum mau nikah tapi ini ta’aruf terlebih dahulu. Akhirnya akupun mau, dan malam itu juga kami tukar biodata. Sebelum menyerahkan biodata aku sudah pasrah sepasrah pasrahnya kepada Alloh dan semakin yakin aku bukanlah jodoh untuknya. 
Bismillah...semoga ini memang jalan yang terbaik. Namun, malam itu tidak langsung dapat balasan, sampai sampai di malam itu tidak bisa untuk tidur karena penasaran siapa laki-laki yang akan dikenalkan denganku. Hingga pagi aku pun belum dapat balasan, hati ini berasa belum tenang. Tidak lama kemudian balasan yang aku tunggu-tunggu datang, sebuah biodata seseorang yang memang telah Alloh gariskan. Mungkin inilah yang terbaik, sosok laki-laki yang siap mengisi hari-hari dan masa depanku, dialah ustadz yang selama ini aku doakan.
Kaget, terharu, tidak percaya,....semua dikuatkan dengan kehadirannya untuk meminta restu serta ridho orang tuaku. Kepercayaan itu semakin kuat ketika dirimu mengucapkan ijab qobul sebulan setelah kedatanganmu kerumah. Alhamdulillah bini’matihi....

“Tetaplah berusaha berjalan diatas al-haq walaupun itu berat, karena Alloh akan selalu menuntun ketika kita tertatih.”

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ikuti tulisan menarik fatimah azizah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu