x

ilustr: Her World

Iklan

Widya Amanda

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 12 November 2021

Minggu, 21 November 2021 07:44 WIB

Asmaraloka

Sebuah cerita pendek bergenre fiksi sejarah yang mengangkat kisah sengketa cinta yang banyak dibicarakan di masyarakat pada masa Mataram Islam.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Semilir angin yang berhembus dari arah barat Jenggala mengiringi langkah Raden Mas Rahmat. Hingga lelaki yang dibalut baju kebesaran keraton itu menginjakkan kakinya di rumah seorang bangsawan Jenggala. Wira Reja keluar dan menyambutnya dengan sapaan hangat begitu Raden Mas Rahmat usai memberikan salam hormat.

Wira Reja mempersilahkannya untuk masuk, namun Raden Mas Rahmat lebih memilih untuk duduk di pendopo yang terletak di depan kediaman Wira Reja dan keluarganya. Istri Wira Reja menghampiri keduanya sembari membawa sebuah teko dan dua buah cawan untuk kemudian diletakkan di pendopo sebelum kembali berbalik dan meninggalkan suaminya bersama Raden Mas Rahmat.

“Ada apa?”

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

“Saya sudah bertemu dengan Rara Oyi beberapa kali sejak pertama kali melihatnya di sini,” tuturnya langsung terus terang, “saya ingin meminta Rara Oyi untuk menjadi istri saya."

“Raden Mas, kau tau dia calon selir ayahmu? Calon istri raja.”

“Raja menjodohkan saya dengan putri dari Adipati Cirebon. Tapi, saya tidak menyukainya. Saya hanya ingin menikahi Rara Oyi, saya mencintainya.”

“Tidak bisa, Raden Mas. Dia calon istri Raja.”

“Saya benar-benar ingin meminang Rara Oyi.” Lelaki itu masih saja bersikeras. “Bisakah membantu saya?”

Wira Reja menatap dengan penuh penyesalan. “Saya tidak bisa mengambil resiko untuk menentang Raja. Saya tidak punya hak.”

“Masalah raja biar saya yang menanggung.”

“Tidak, Raden Mas,” tolaknya, “Raden Mas terima saja perjodohan itu."

Usai ditolak dengan penuh penekanan, Pangeran Mahkota kembali ke rumah sembari menggiring kuda dengan perasaan kecewa. Raden Mas Rahmat langsung mengurung diri di dalam kamar.

Di dalam kamarnya, Raden Mas Rahmat hanya duduk termenung di dekat jendela dengan pandangan kosong yang menghadap keluar. Suara Pangeran Pekik yang bergantian dengan Ratu Pandan memanggilnya diiringi ketukan pintu, tak ia hiraukan. Pikirannya sibuk menerawang jauh ke sana, ke kediaman Wira Reja, dimana dia bertemu dengan seorang gadis bersurai panjang yang tatapan tenangnya mampu membuat Pangeran Mahkota itu jatuh, hanyut, dan seolah tenggelam di kedalaman samudra yang sama tenangnya.

Tiba-tiba saja ia merindukan gadis itu lagi. Raden Mas Rahmat ingin menemuinya lagi. Ia ingin ke kediaman Wira Reja sekali lagi, meminta gadis itu untuk ia nikahi. Putra Mahkota merasa begitu berat kalau utuk melepas gadis yang dicintainya untuk menjadi istri ayahnya.

Pangeran Pekik lantas menghampiri Raden Mas Rahmat yang masih saja menghabiskan waktu memandang ke arah luar jendela dengan pandangan kosong da nisi pikiran yang kusut. Ia sentuh pundak cucunya itu. “Apa yang terjadi padamu?”

“Kakek,” Lelaki itu berbalik menyadari kedatangan Pangeran Pekik yang menunggunya untuk berbicara. “Apa bisa cucumu ini meminta sesuatu?”

 


*

 

Bertepatan dengan usainya makan malam, di saat istri Wira Reja dan Rara Oyi baru saja selesai membersihkan peralatan makan, rumah mereka kedatangan tamu. Seorang bangsawan Jenggala, Pangeran Pekik dan Ratu Pandansari, kakek dan nenek dari Raden Mas Rahmat.

Saat Rara Oyi keluar untuk memberikan suguhan, belum ada yang memulai pembicaraan. Rara Oyi hanya sempat melihat sebuah wadah dari keramik berbentuk mangkuk yang ditutupi oleh seutas kain berwarna emas di depan Ratu Pandan yang sempat melemparkan seulas senyuman padanya.

Gadis itu langsung masuk kembali ke dalam, membiarkan Wira Reja dan istrinya, bersama dengan tamu-tamu mereka. Rara Oyi mendudukkan diri di atas tempat tidurnya. Dengan kaki bersila dan bantal di atas pangkuan, dan tubuh bersandar pada kepala tempat tidur, ia menutup matanya perlahan. “Rasa kantukku tak kunjung datang,” gumamnya, “Tuhan memunculkan dirinya di hadapanku, membiarkannya berkeliaran dalam pikiranku, menuntunnya masuk ke hatiku, tanpa kepastian apakah dia diciptakan untukku?”

Di tengah menunggu rasa kantuk, gadis itu terus saja berbicara sendirinya.

“Adalah sebuah kesalahan menyimpan perasaan untuknya disaat statusku sebagai calon istri orang lain. Tuhan, jika aku tak bisa mengatur takdir dan hidupku sendiri, kenapa tidak buat saja hatiku mati?”

“Siapa yang mati?”

Sontak Rara Oyi langsung membuka mata dan menegakkan tubuh karena terkejut. Tau-tau sudah mendapati istri Wira Reja yang masuk ke dalam ke dalam kamarnya dan duduk di hadapannya.

“Pangeran dan Ratu sudah pulang?” tanya Roro Oyi kemudian. Wanita di hadapannya itu mengangguk. “Ada apa beliau malam-malam datang kemari, Mbak?”

“Lusa, keluarga Pangeran Pekik beserta Pangeran Mahkota akan kemari untuk melangsungkan pernikahan dan membawamu.”

“Mbak?”

“Pangeran Pekik dan Ratu Pandan datang melamarmu untuk cucu mereka. Suamiku mengalah atas perintah Raja dan membiarkan Pangeran Mahkota membawamu sebagai istri.”

Perkataan istri Wira Reja itu tak lagi dibalas olehnya. Rara Oyi hanya menundukkan pandangan sembari memainkan jari di atas bantal yang dipangkunya. 

 


*

 


Ritual pernikahan yang mengikat sepasang insan itu benar-benar dilaksanakan dua hari kemudian. Dengan singkat dan sederhana, tanpa berbagai macam adat, dan hanya dihadiri orang-orang terdekat. Pangeran Pekik berupaya agar pernikahan antara Raden Mas Rahmat dan Rara Oyi ini tidak tersebar kabarnya dalam waktu dekat. Minimal meninggu hingga seminggu lebih baru diketahui orang-orang. Dalam semalam, Rara Oyi meninggalkan kediaman Wira Reja, rombongan Raden Mas Rahmat membawanya ke Jenggala dengan statusnya sebagai istri Putra Mahkota.

Keluarga Raden Mas Rahmat, Pangeran Pekik, Ratu Pandan, Pangeran Lamongan dan istrinya, menyambut hangat kedatangan Rara Oyi sebagai anggota keluarga baru mereka. Semburat kebahagian tak mampu disembunyikan oleh raut wajah sang Pangeran Mahkota.

Sialnya, baru sehari sejak pernikahan itu dilangsungkan, dalam waktu semalam, kabarnya melesat dengan cepat hingga ke Keraton. Sampai di telinga raja yang tengah menduduki singgasananya.

Raja tak bisa menahan diri. Bagaimana mungkin calon selirnya malah anaknya sendiri yang menikahi?

Dengan emosi yang berapi-api, Raja memerintahkan pasukannya untuk menyerang ke Jenggala. Mereka membawa Wira Reja dan istrinya untuk dieksekusi di pengasingan. Yang lain menyerang ke kediaman Pangeran Pekik. Rasanya seluruh rakyat Jenggala terkena imbas atas murkanya raja.

Pangeran Pekik dan keluarganya dihabisi begitu saja di tangan para pasukan yang tak kenal rasa kasihan apabila sudah bergerak di bawah perintah Raja. Para pengikut Pangeran Pekik juga ikut terbantai secara masal. Isak tangis dan jeritan, suara-suara rengekan permohonan, semuanya menyatu namun diabaikan. Dalam semalam, Jenggala seolah berubah menjadi lautan darah. Darah-darah segar manusia-manusia tak berdosa mengalir dimana-mana. Begitu hebat murkanya Raja Amangkurat Pertama.

Sementara Raden Mas Rahmat berhasil membawa istrinya berlari jauh ke sebuah rumah singgah di pedalaman Jenggala. Walau tidak tergolong aman, Raden Mas Rahmat berpikir kalau setidaknya bisa bersembunyi beberapa hari sampai amarah Raja mereda.

Rara Oyi terduduk pada sebuah kursi panjang dari bambu di dalam ruangan kecil itu. Kepalanya menunduk dengan air mata yang tak lagi dapat ia bending. Lama kelamaan berubah jadi isak tangis yang membuat bahunya bergetar hebat, mengingat seperti apa ia melihat orang-orang terbantai dengan darah segar yang mengalir dari tubuhnya. Terlebih lagi itu karena dirinya.

“Rara,” Raden Mas Rahmat berjongkok di hadapannya. Ia genggam kedua tangan istrinya yang terasa begitu dingin. Ia ketakutan setengah mati. Lelaki itu tak mampu mengucap sepatah kata pun untuk menenangkan Rara Oyi, yang mampu ia lakukan hanyalah menggenggam tangannya, mendekapnya, untuk menyalurkan kekuatan dan mereda rasa takutnya.

“Rara, istriku, dengarkan Kanda.” Perempuan itu, dengan sisa-sisa air matanya yang mengalir, mengangkat pandangan menatap suaminya yang masih saja berjongkok di hadapannya. Memandangnya teduh. “Aku akan ke istana untuk berbicara dengan ayahanda. Apabila suamimu ini tidak kembali hingga esok pagi, pergilah sejauh mungkin untuk meninggalkan Jenggala. Pergi ke tempat yang jauh di mana kamu bisa melanjutkan hidupmu.”

Isakan Rara Oyi terhenti begitu saja. Ia menatap suaminya dengan sorot mata yang tak bisa diartikan.

“Rara, kamu dengar kan?”

“Raden Mas, bagaimana bisa menyuruhku pergi seperti itu? Bagaimana melanjutkan hidup tanpamu setelah semua kekacauan ini, Raden Mas?”

“Dengar,” Raden Mas Rahmat mengeratkan genggamannya pada tangan Rara Oyi. “Jika aku tidak kembali hingga besok pagi, dan kamu pergi dari tempat ini, suatu saat setelah keadaan benar-benar membaik akan kutemukan engkau lagi.”

Perempuan itu seperti akan terisak kembali. “Raden Mas menyuruhku melanjutkan hidup sambil menunggu Raden Mas, padahal aku tidak tau apakah nanti suamiku masih bernyawa ataukah tidak?”

“Percaya pada suamimu. Percayakan pada Kanda.”

Rara Oyi sudah tak memiliki satu atau dua argumen untuk dikeluarkan yang membuat dia pada akhirnya hanya mengangguk mengiyakan. Padahal, jauh di dalam lubuk hatinya, ia ingin sekali menahan Raden Mas Rahmat agar tidak pergi ke istana, menanggalkan kebesarannya sebagai Putra Mahkota, dan pergi bersamanya jauh ke luar Jenggala, ke daerah yang tak terjangkau oleh pasukan Mataram.

Raden Mas Rahmat mengukir sebuah senyuman. Tangannya terangkat menghapus jejak-jejak air mata di atas wajah rupawan istrinya. “Aku pergi dulu,” pamitnya kemudian.

 


*

 


“Kau menyerahkan diri, Raden Mas?”

Raden Mas Rahmat yang sudah berlutut di hadapan Raja itu mengangkat pandangannya sekilas. Di balik rautnya yang begitu tenang, ia juga menyimpan ras was-was. “Ampun, Baginda. Saya tidak bermaksud membuat Baginda Raja murka,” ujarnya, “saya memohon ampun kepada Baginda Raja, atas kemurkaan dan semua kekacauan di sini dan di Jenggala.”

Benar-benar penuh keterpaksaan. Laki-laki itu menelan ludahnya. Memohon ampunan seperti ini benar-benar membuatnya begitu muak. Hanya tetap ia lakukan demi melindugi apa yang sudah menjadi miliknya walau begitu terlambat. Sudah terlalu banyak yang hilang. Kakek dan neneknya bahkan sudah tidak bernyawa. Entah bagaimana nasib pamannya dan keluarga Rara Oyi, ia sama sekali belum mendengar kabar tentang mereka.

“Aku mengampunimu, dan mempertahankan posisimu sebagai Putra Mahkota,” kata Raja. “Dengan satu syarat.”

“Apapun itu akan saya lakukan.”

 

*

 


Raut wajah murung dan semilir angin yang berhembus menemani langkah Raden Mas Rahmat menyusuri hutan Jenggala. Langit yang ditutupi awan mendung dan pohon-pohon yang rindang membuat suasana sekitar menjadi begitu sejuk. 

Rara Oyi buru-buru berlari ke depan tatkala mendengar suara pintu yang terbuka. Sebuah napas lega ia hembuskan mendapati suaminya yang berdiri di sana. Rasa cemas yang menderanya semalaman menjelma perasaan lega yang membuat kedua lututnya lemas.

Pangeran Mahkota segera membawanya untuk duduk di sebuah kursi bambu panjang di dalam ruang depan. Digenggamnya erat tangan istrinya seperti sebelumnya. Ia tatap wajah yang terpahat indah itu lekat-lekat, diselaminya netra kelam nan tenang itu dalam-dalam. Sedari tadi bibirnya hendak melontarkan banyak kalimat, hendak menghantarkan deretan kata-kata. Namun, semuanya tertahan di tenggorokannya yang tersekat.

“Apa yang terjadi, Raden Mas?” Perempuan itu akhirnya memecah senyap yang merayap. “Bagaimana perbincangan Raden Mas dengan Baginda Raja?”

“Rara,” ujarnya pelan. “Kanda akan membawamu ke tempat yang jauh.”

“Kemana pun itu, asal bersamamu.”

Buru-buru lelaki itu menggelengkan kepalanya. Tangannya bergerak menyelipkan rambut Rara Oyi ke belakang telinga. “Tidak denganku”

“Raden Mas?”

Tanpa berucap lagi, tanpa mengindahkan kebingungan Sang Istri, Pangeran Mahkota maju mendekap tubuh perempuannya. Ia usap perlahan surai milik perempuan itu. “Rara, maaf. Aku harus melakukannya.”

“Kemana?”

“Ke tempat yang jauh, begitu jauh di mana aturan seperti di sini tidak lagi ada. Di mana kamu tidak lagi melihat pertumpahan darah,” katanya, “Rara, kehidupan selanjutnya, tolong cari Kanda di sana.”

“Bicaralah yang jelas.” Suara lembut perempuan itu terdengar dan terasa jelas di telinganya. Ia masih terus-terusan meyakinkan hatinya agar tak goyah. “Apa yang Raden Mas bicarakan dengan Baginda –”

Perkataan Rara Oyi terhenti begitu sebuah keris menghunusnya.

"Maaf." Raden Mas Rahmat berujar pelan. Ia tarik keris yang baru saja ditancapkannya pada perut istrinya yang tengah berada dalam dekapannya. Dijatuhkannya keris berlumur darah itu ke lantai.

Cengkeraman tangan Rara Oyi pada bajunya mengerat. Rasa sakit menjalar dengan cepat menjalar ke seluruh tubuhnya tengah bekas tusukan itu tak henti-hentinya mengeluarkan darah segar yang mengalir. Sebisa mungkin ia mencoba berbicara. “Raden Mas ….”

Ia sandarkan perempuan yang tengah sekarat itu pada lengannya tanpa sanggup berucap sepatah kata. Ia pandangi Sang Terkasih dengan sendu dan tangis tertahan. Tak ada apapun yang bisa dilakukan Pangeran Mahkota selain menahan tangis di saat menyaksikan istrinya yang sekarat, istrinya yang terbunuh dalam dekapannya, istrinya yang sama sekali tak bisa ia lindungi dan selamatkan.

“Kanda,” Rara Oyi kembali berusaha untuk bersuara. “Sakit.”

Kata terakhir yang didengar Pangeran Mahkota dari lisan istrinya sesaat sebelum napas terakhir yang berhembus justru membuat air matanya tak lagi terbendung. Dengan hati yang luar biasa hancur, Raden Mas Rahmat menangisi kekasih hatinya yang baru saja pergi membawa kepingan hati yang tak utuh.

Kekasih hatinya, yang dalam mendapatkannya saja ia menyebabkan kekacauan yang begitu besar. Yang membuat nyawa orang-orang tak berdosa melayang. Yang mendapatkannya menyebabkan keluarganya terkorbankan. Perempuan yang dalam mendapatkannya malah menciptakan deretan kolam darah di setiap sudut Jenggala. Kini perempuan itu, malah ia sendiri yang menghantarkannya kepada gerbang kematian.

Entah siapa yang harus dirinya salahkan, entah dimana ia tanggungkan dosa. Pangeran Mahkota mengusap wajah jelita istrinya yang perlahan memucat. Dadanya terasa begitu sesak.

“Tolong, cari aku di kehidupan selanjutnya. Tempat kita bisa menciptakan asmaraloka yang direstui semesta.”

 


Berau, 21 Oktober 2021

Ikuti tulisan menarik Widya Amanda lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler