x

Sebuah keluarga yang tangguh, memiliki komitmen yang kuat, saling menghargai dan memberi perhatian, dan berbagi peran sesuai tugas fungsionalnya masing-masing

Iklan

Perpus As Syifa

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 18 November 2021

Selasa, 30 November 2021 23:07 WIB

Adikku yang Istimewa

Cerita tentang adikku yang sangat ku cintai.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

ADIKKU YANG ISTIMEWA

 

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Nama aslinya Abdul Gofur. Tetapi ,kami sepakat memanggilnya Ipung. Dia adalah adik laki-laki ku. Mengapa nama panggilannya bisa melenceng jauh tak usahlah dipusingkan, itu demi kehendak nenekku yang sangat tidak suka dengan nama “Abdul”. Nama Abdul Gofur itupun di dapat dengan jalan yang berliku dan tidak mudah melalui pengundian konyol yang memalukan. Ketika adikku itu masih berada dalam perut ibuku, ayahku pergi ke seorang kyai di sebuah pondok pesantren hanya demi meminta sebuah nama indah bermakna dan siapa tahu membawa sebuah keberuntungan bagi keluarga kami. Dengan keyakinan yang sangat kuat dan didorong keinginan yang sudah lama terpendam. Ayahku hanya meminta satu nama untuk anak laki-laki, hanya nama laki-laki (padahal waktu itu dukun beranak dan bidan kampung pun menggelengkan kepala saat ditanya prediksi jenis kelamin janin yg berada diperut ibuku) .

Ayahku sangat menginginkan anak laki-laki sebagai penerus nya. Selain itu ,mungkin dia bosan karena sudah terlalu lama menjadi satu-satunya lelaki dalam keluarga kecil kami ayahku kesepian. Maka ketika ibuku benar-benar melahirkan seorang bayi laki-laki ayahku senang sekali, tak henti-henti dia bersujud syukur dan sepanjang hari itu dia terus mengulum senyum.

Hari ketujuh saatnya upacara pemberian nama tiba sepasar kata orang jawa. Seingatku usiaku 9 tahun kala itu, sehabis adzan maghrib ayah mengumpulkan aku dan ibuku untuk duduk bersama di ruang depan. Hatiku berdebar penasaran ingin tahu seperti apakah nama yang ayah dapat dari kyai itu pasti indah berseni dan menakjubkan. Ayah memandang kami berdua dengan senyum lebar matanya berkilat-kilat riang. “Baiklah, ayah akan mengumumkan nama untuk adikmu “ujarnya sambil menatapku. Aku tersenyum dan berpaling menatap ibuku yang juga tersenyum. Ayah membuka sebuah gulungan kertas kecil yang sedari tadi digenggamnya.

Gulungan kecil itu mirip gulungan kertas untuk arisan dan sejak mendapatkannya dari kyai itu, ayah tak pernah membukanya sampai hari ini . Padahal kalau tidak salah itu sudah empat bulan yang lalu.”Namanya Abdul Salim”. Itu nama yang terbaca oleh ayah dalam gulungan. Ayah menatap kami berdua, menunggu reaksi. Aku memandang ibu sepertinya dia tak keberatan.

Kulihat ayah juga tak bimbang dan rupanya hanya aku yang tak suka nama itu. Aku sedikit kecewa dalam bayanganku nama pemberian itu akan semegah nama para khalifah dan sahabat nabi. Namun demi, mendengar nama itu mengapa benakku langsung teringat pada si salim teman sekolahku yang nakalnya minta ampun kegemarannya menyingkap rok anak perempuan di kelas. Ah nama itu tak keren, aku menggeleng dan ayah mengerti. Maka dia mempersilahkan kami (aku lebih tepatnya) mengajukan nama tambahan untuk kemudian diundi. Ibu mengusulkan nama Abdul salam rupanya ibu tak ingin menelikung jauh dari pilihan ayah. Lalu tiba-tiba aku teringat sebuah nama dari seorang pejabat menteri yang kulihat di acara televisi.

Namanya Abdul Gofur. Aku pilih nama itu dengan harapan siapa tahu kelak nanti adikku akan menjadi seorang pejabat, minimal pejabat kelurahan.

Maka acara pengundian pun dimulai. Aku menulisakn nama-nama itu disebuah kertas kecil menggulungnya lalu kumasukkan kedalam botol kecil, sangat mirip dengan ritual arisan

 

ibu-ibu. Pelemparan pertama ku buka kertas gulungan yang keluar”Abdul Salam”aku cemberut. Ayah menggulungnya, memasukkan kembali kedalam botol dan melemparnya ulang. Lemparan kedua”Abdul salim”wajahku memerah. Lemparan ketiga, “Abdul salim” lagi mataku berkaca- kaca. Lemparan keempat,” Abdul salam”air mata menggenang dipelupuk mata. Ayah dan ibuku menarik nafas panjang berkali-kali. Akhirnya pada lemparan kelima”Abdul Gofur”muncul juga dan itu menjadi lemparan terakhir, aku tersenyum.

Ketika usia adikku 2 tahun, dia mengalami sakit panas tinggi yang hebat kejang-kejang dan keluar busa dari mulutnya. Selama satu bulan lebih ibu dan ayah bolak balik dari rumah sakit bergantian menjaga adik. Kepala adikku dipenuhi dengan alat-alat medis yang tak kumengerti apa namanya. Selang-selang kecil centang perenang di hidung, pergelangan tangan dan dikepala. Akhirnya kami bisa bernafas lega setelah kondisi adikku pulih dan dokter mengijinkan kami membawanya pulang. Ternyata ini menjadi cikal bakal tidak beraturan panel- panel kabel dalam otak adikku yang kemudian menjelma menjadi karakter konyol, polos, bodoh tetapi jahil yang ada di dalam tubuhnya hingga ia tumbuh besar. Goresan cerita menggelikan dimulai ketika adikku berusia 7 tahun.

Kami adalah penduduk pendatang yang mengadu nasib dikota, kami tinggal di salah satu kamar kos kecil berkoloni dengan pendatang-pendatang lainnya. Kompleks kos kosan itu sangat luas terdiri dari 6 baris.Setiap baris berisi 16 kamar yang saling berhadap-hadapan, jadi total keseluruhan 96 kamar. Untuk menertibkan penduduk pendatang, pemerintah daerah setempat rutin melakukan pemeriksaan identitas penduduk. Yang dilakukan secara mendadak dan pada jam-jam yang tidak memungkinkan mereka untuk kabur dan menghindar. Seingatku, itu minggu malam pukul 12 udara berhembus dingin tiba-tiba, kudengar suara kehebohan memecah kesunyian malam suara-suara langkah kaki tergopoh-gopoh berseliweran.Aku dan adikku terbangun dari tidur biasa. Petugas meriksa KTP kudengar suara ayah yang sedang berbicara dengan ibu. Kami sekeluarga tenang-tenang saja karena kami sudah menjadi penduduk resmi. Aku menguap dan merebahkan kepala dipangkuan ibu ayah santai merokok dan ipung adikku berdiri didepan jendela memperhatikan orang-orang yang tak punya KTP berlarian mencari tempat persembunyian. Satu persatu petugas pecalang memeriksa identitas penghuni kamar yang kamarnya kosong dan ditanyakan oleh pecalang, kami dan penghuni lainnya yang ber-KTP mengarang berbagai alasan untuk melindunginya. Ayah menyerahkan dua lembar KTP miliknya dan milik ibu saat petugas pemeriksa datang. Ketika para pecalang itu hendak pergi karena pemeriksaannya selesai dan hari itu tak dapat tangkapan, tiba-tiba adikku berlari menggamit salah satu tangan petugas dan menariknya menuju kearah kamar mandi umum.”Disana banyak yang sembunyi pak'”katanya dengan enteng. Ayah dan ibu terlonjak kaget dan panik ,tapi tak bisa berbuat apa-apa karena salah satu dari pecalang itu menatap mereka dengan serius. Maka, disanalah di gudang kosong dekat deretan kamar mandi yang berbau akhirnya para pecalang itu mendapatkan tangkapan malam . Atas petunjuk dari adikku yang terlalu kecil untuk mengerti arti kata dari”pengkhianatan”.

'”tuh kan apa kubilang kata adikku lantang dan membusungkan dada nya. Ketika petugas menemukan laki-laki dan perempuan saling berjejalan dalam ruangan sempit mencoba

 

menyembunyikan diri, berhamburan keluarlah mereka. Sebagian ada yang menutup hidung dan hampir muntah-muntah, rupanya ada yang membuang angin ketika persembunyian berlangsung. Petugas menggiring mereka satu persatu, mereka menggerutu dan mengumpat adikku. Adikku tersenyum bangga ketika petugas menepuk-nepuk bahunya.

Banyak peristiwa-peristiwa konyol yang melibatkan adikku dan sering membuat ayah ibu hanya bisa mengelus dada. Jika ada pengamen, tukang kredit, penagih uang kos kebetulan datang mengunjungi salah satu kamar kos yang mendadak sepi karna penghuni nya sembunyi atau pura-pura tidur, adikku akan berteriak “ada kok didalam baru saja aku liat lagi makan” dan adikku pun dengan tulus ikhlas bersedia membantu para penagih itu menggedor-gedor pintunya. Jika membantu ibu berjualan baju dan menjaga toko ketika mendadak ibu ada keperluan. Ibu harus benar-benar memastikan dia mengerti karena kalau tidak, bisa- bisa yang didapat bukan laba tapi rugi. Contohnya, suatu hari ibu meminta adikku menjaga toko karena ibu mendadak sakit perut ingin buang air besar, ibu menjelaskan 'ini baju harganya 15 ribu, tapi kalau ditawar 12 ribu, kasih aja ya adikku manggut-manggut dengan keras, memberi sinyal bahwa ibu tak perlu khawatir dan tak perlu menjelaskan ulang. Saat ibuku sedang asyik jongkok di toilet, dia mendengar percakapan adikku dengan pembeli.

“ini baju harganya berapa dek?”

 

“Harganya 15 ribu, tapi 12 ribu boleh juga kok” adikku menjawab dengan mantap dan yakin. Pembeli tersenyum tak perlu repot-repot menawar belum ditawar sudah turun sendiri, mungkin begitu batinnya. Ibuku berteriak sambil tergopoh-gopoh keluar dari kamar mandi”ipuuuung”.

Waktu SD, dua kali dia tak naik tingkat. Saat kelas satu dan kelas dua mata pelajaran yang ia kenal hanya satu, yaitu bahasa inggris. Bukan karena dia pintar dalam mata pelajaran tersebut, tapi lebih karena hanya mata pelajaran itu yang dirasanya memiliki nama yang keren. Maka jangan ditanya mata pelajaran apa yang dipelajarinya hari ini, dia akan dengan mantap menjawab “bahasa inggri”.Baginya setiap hari adalah bahasa inggris. Adikku tak pernah merasa malu, tak pernah merisaukan kenapa dua kali tahun ajaran baru teman sekelasnya juga baru.

Tak pernah peduli pada gambar telur bebek yang sering nangkring di kertas ujiannya. Senyum nya pun akan mengembang ,jika di kertas itu sekali-sekali yang tergambar seekor bebek.”Bukan hanya telurnya saja lumayan”katanya.

Adikku memiliki bakat terpendam yang tidak diketahui oleh ayah ibuku dan aku. Ibuku heran dan bertanya-tanya, mengapa tiap pulang sekolah kerap menemukan dua atau tiga lembar uang seribuan di saku seragamnya. Ibuku sangat yakin, berangkat sekolah tadi hanya membekali adikku dengan satu lembar seribuan saja. Hati ibu was-was, jangan-jangan adikku melakukan perbuatan tak terpuji. Dengan memasang wajah menuduh dan berkacak pinggang, didudukkanlah adikku dikursi tersangka untuk diintrogasi. Dan berceritalah dia dengan tenang akan bakat terpendamnya itu “aku memijat pak guru”katanya. Rupanya, terkadang saat jam istirahat bermula dari permintaan satu orang guru lalu diikuti guru lainnya adikku kerap diminta tolong untuk memijat tangan atau punggung para guru yang kelelahan akibat mengajar. Sebagai

 

upahnya, dia akan menerima dua tau tiga lembar uang ribuan. Dari sanalah ia mendapatkan uang itu, dan sejak saat itu panel-panel otaknya sedikit bekerja mengkalkulasikan sesuatu yang bernama uang.Pelajaran berhitung pertama yang dapat dipahaminya setelah dua tahun tinggal kelas. Bahwa memijat adalah prospek masa depan yang cerah, karna dengan memijat dia bisa mengumpulkan uang seribuan lebih banyak dari yang ia dapat dari ibu. Maka jika teman- temannya yang lain menuliskan dengan indah dalam biodatanya tentang profesi kelak yang akan diraihnya, ada yang menulis pilot, dokter, guru, presiden dan profesi menakjubkan lainnya. Adikku dengan tegas dan mantap menuliskan keinginannya di kolom cita-cita yaitu Tukang Pijat.

 

Menginjak Sekolah Menengah Pertama (SMP), ayah memutuskan untuk mengirim ipung ke sebuah Pondok Pesantren di sebuah kota kecil di Banyuwangi, itu artinya kita akan berpisah dalam waktu yang cukup lama. Ibu merana membayangkan akan ditinggal anak lelaki kesayangannya. Ayahku berat hati, penuh harapan dan sedikit lega. Berat hati karena akan tinggal berjauhan dengan putra mahkotanya, penuh harapan untuk mengenalkan dan mengajarkan pada anak lelakinya bagaimana kehidupan diluar agar ia bisa mandiri sambil berharap waktu akan menempa dan mengikis sifat kekanak-kanakannya, dan ayah sedikit lega hatinya karena itu berarti uang jatah belanja buat ibu bisa berkurang. Sebab ditinggal satu anggota keluarga.

Libur semester pertama, ibuku menangis meraung-raung ketika melihat anak lelakinya pulang dengan tubuh kurus, wajah tirus, kaki dan badan penuh dengan bercak merah yang meruam juga bau badan seperti lem kaleng. Adikku mengerjap-ngerjapkan mata sambil tersenyum “kalau tidak seperti ini bukan santri namanya” katanya enteng. Aku mendengus “dasar jorok”dia tertawa. Bagaimana tidak gatal-gatal, kalau tempat mandi untuk ratusan santri ponpes hanya memiliki kamar mandi yang terbatas dan satu kolam besar. Pemandian yang tidak memiliki sistem saluran pembuangan yang layak, alhasil tuh kolam airnya bisa sangat kecoklatan bahkan hampir menghitam tercemari daki ratusan santri dan hanya sebulan sekali dikuras itupun secara manual. Ayahku tersenyum simpul memandang putra kesayangannya yang kelihatan sedikit dewasa, sedikit berwibawa, meskipun memang terlihat kurus. Disimaknya adikku dari ujung kepala sampai kaki peci hitam beludru, kemeja lengan panjang yang sedikit lecak, sarung putih tergulung rapi. Demi melihat sebuah buku bersampul kuning yang rupanya sebuah kitab kecil tergenggam dalam selipan jemarinya.Hati ayah membuncah, bahagia meletupkan dadanya ada pancaran kebanggan dalam sorot matanya,” ah tak sia-sia aku mengirim anakku jauh-jauh untuk menuntut ilmu “. Begitulah suara bathinnya. Maka dipeganglah tangan adikku, direngkuh pundaknya dan diajaknya duduk bersama.

“kitab apa tuh pung'coba tunjukkan, ayah pengen liat”

 

“kitab kuning yah'' maka kian bersinarlah mata ayahku saat melihat deretan huruf arab gundul centang berenang dalam lembarannya. Wah hebat nian anakku nih, baru semester pertama sudah bisa baca huruf arab gundul.

 

“coba baca pung ayah ingin tahu”, wajah adikku pias, matanya mengerjap-ngerjap.

 

“a a aku ga bisa yah, la wong ini nemu dekat mesjid pondok''.Ayah lesu kecewa namun tetap tersenyum, adikku nyengir menahan malu. Kawan, kami (terutama ibu) sangat memahami bagaimana lemotnya sulur-sulur panel di otak ipung dalam menangkap sinyal pengetahuan, maka harusnya ayah menyadari dari awal bahwa ada tidak beresan pada kitab kuning yang tergenggam dijemarinya. Namun, euforia kebahagian rupanya terlebih dulu membutakanny “siapa tahu”kata ayah sambil mengedikkan bahu.

Selama menimba ilmu di pondok pesantren, ada banyak harapan dan juga pesimisme yang ayah ibu kembangkan. Namun ,apapun hasilnya kami tidak ingin mendahului rencana tuhan hanya satu harapan ayah ibu yaitu adikku mampu jadi orang yang bermanfaat.

Setidaknya bagi dirinya sendiri.

 

Tiap dua bulan sekali ayah mengunjungi pondok untuk menjenguk adik. Dan setiap pulang selalu saja ada cerita yang membuat kami tersenyum dan geleng-geleng kepala.

“Ipung tuh bikin pusing aja, habis kataku dibuatnya”, ayah bercerita sambil mengelus dada bahwa di pondok ipung tak mau ikut kegiatan ekstrakurikuler apapun. Kegiatannya diluar kelas dan kegiatan pondok hanya makan dan tidur. Jika teman-temanya menghabiskan waktu dengan bermain sepak bola,voli atau kegiatan lainnya adikku lebih memilih mendengkur di sudut masjid terlentang dengan baju digulung sampai kedada hingga terhamparlah perutnya. Jika temannya membelanjakan uang sakunya untuk membeli baju atau perlengkapan sekolah lainnya, adikku lebih memilih membelanjakannya di warung yang terletak agak jauh dari pondok yang menyediakan menu lebih bervariasi daripada menu diasrama. Jika adzan subuh bertalu, semua berbondong ke mesjid untuk menunaikan sholat. Namun, adikku kepergok sedang pulas dekat ruang kelas kosong oleh penjaga asrama, maka kena hukumlah ia.

Ketika awal semester kedua ada kompetisi pidato antar kelas, tiap kelas mengutus dua orator untuk jadi wakilnya. Entah karena tak ada yang berani atau memang terpaksa tak punya pilihan lagi, adikku terpilih menjadi salah satu orator. Adikku menyanggupi, karena merasa tersanjung diberi kepercayaan. Ia berlatih dengan giat, siang dan malam mencoba belajar berpidato dan menyamarkan aksen gagapnya. Teman-temannya mulai optimis, mulai merasa tak salah menjatuhkan pilihan. Adikku kian bangga dan sedikit membusungkan dada karena yakin akan hasil yang akan dicapai. Namun kawan, malang tak dapat ditolak untung tak dapat diraih….saat hari kompetisi tiba,bencana melanda. Acara dimulai dari jam 9 pagi, begitu banyak peserta, begitu beragam cerita. Ketika matahari tepat diatas ubun-ubun, ketika keringat dan rasa kelelahan bercampur kecemasan mulai melanda para peserta ketika itulah giliran adikku tiba.

Host acara memanggil nama adikku dengan lantang, adikku tak tampak, panggilan kedua, teman-temannya celingukan mencari-cari adikku, adikku tak diketemukan. Panggilan ketiga dan terakhir teman-temannya panik, adikku raib. Dan karena tak memenuhi panggilan ketiga, maka di diskualifikasilah adikku dari kompetisi, teman-temannya lemah dan lesu.

Tahukah kalian kawan, kemanakah adikku menghilang? Disana, disudut mesjid tempat

 

persinggahan rutinnya. Disanalah ia mendengkur lupa akan kompetisi, lupa akan draft pidato yang dihafalkannya siang dan malam, lupa akan yel yel semangat dari teman-temannya dan lupa dari jam berapa ia terlentang disana dengan baju tergulung sampai di dada seperti biasa. Itulah adikku kawan, sosok yang tak mudah diterka, tak mudah diraba.

Selama tiga tahun menimba ilmu di pesantren, kurasa tak banyak ilmu pengetahuan yang mampu diserapnya. Tidak banyak ilmu agama yang mampu dicernanya. Ayah pusing tujuh keliling, ibu mengurut dada namun tersenyum mengerling, berharap anak lelaki kesayangannya segera dipulangkan. Dan akhir ajaran kelas tiga, lulus dengan nilai yang sangat pas pas an.

Ayahku memutuskan untuk membawanya pulang. “Biarlah ia sekolah dekat sini saja, biar lebih mudah dipantau” kata ayah pasrah. Bukan ipung namanya jika tak membuat masalah. Ketika ayah mengurus ijazah sekolahnya, pegawai bagian administrasi menyodorkan kartu SPP yang menunggak selama 5 bulan. Ayah berkilah bahwa ia selalu rajin mengirim uang sekolah pada adikku. Petugas administrasi tersenyum sambil berkata “coba bapak tanya sama Ipung pak kemana uangnya, kalau saya tak salah lihat, dia sering berkunjung di warung makan diluar sana”. Ayahku mencoba tersenyum menahan marah, giginya gemerutuk menahan emosi “awas kau pung, bikin malu ayah saja”.

Kawan ,sungguh aku tak mampu berkata kata.

Ikuti tulisan menarik Perpus As Syifa lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB