x

Iklan

sangpemikir

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 6 Oktober 2021

Selasa, 30 November 2021 23:27 WIB

Semua Telah WNI, Tak Ada Lagi Status Pengungsi

Dengan wajah sumringah, seorang perempuan muda bernama Adelina Rinalda, usia 30-an tahun, menyampaikan testimoninya lewat rekaman videoa yang diunggah di youtube. ‘’Kami dari Balibo, Timor Leste. Kami mengungsi samapai ke Desa Silawan. Dulu kami tinggalnya di rumah alang-alang. Sekarang kami bersyukur bisa dapat rumah tembok yang bagus,’’ ujarnya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Adelima memang telah menempati sebuah rumah baru. Rumah sederhana ukuran 36 m2, model kopel, dengan cat tembok krem berkombinasi dengan warna merah cabe di bagian. Atapnya seng gelombang warna biru laut yang disangga rangka aluminium. Ada air bersih   mengalir dari sumur artesis. Pada satu adegan, Adelina tampak menyiram pot-pot tanaman hiasnya dengan semburan  air kran.

Lokasi rumah baru Adelina Rinalda itu ada di Desa Tohe, Kecamatan Raihat, Kabupaten Belu, persis di perbatasan Indonesia – Timor Leste. Dengan adanya pembagian rumah batuan pemeritah itu, ia pun hijrah dari lokasi kamp pengungsi Desa Silawan ke Tohe, berjarak sekitar 15 km. Kedua desa itu sama-sama di perbatasan. Adelina senang. Di Desa Toke itu ada gedung SD, SMP,  dan ak tidak jauh dari Puskesmas.

Video itu diposting Kanal InfoPagi. Gambarnya hampir seluruhnya footage video Kementerian PUPR (Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat). Per akhir November, setelah dua bulan diposting, video ini mampu mengundang hampir  520 ribu penonton, dengan 5.400 like, serta  hampir 1.000 komen, yang umumnya menyatakan mengapresiasinya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Video berdurasi 4 menit 31 detik itu menyampaikan pesan, bahwa cerita nestapa kaum  pengungsi asal Timor Timur (sekarang Timur Leste) secara berangsur  memudar. Kisah nestapa itu menyeruak selama dua dekade lewat penampakan pondok-pondok beratap ilalang atau dun lontar, berdinding bebak (pelepah daun gewang) dan berlantai tanah. Tanpa sarana sanitasi dan pasokan air bersih.

Dalam perjalanannya, gubuk-gubuk  dekil menyusut seiring dengan kemajuan sosial ‘’warga baru’’, sebutan bagi eks pengungsi Timur. Toh, sebagian mereka masih terjebak di pondok daun ilalang di Desa Silawan, yang persis berhadapan dengan wilayah Timor Leste. Cukup kontras dengan kondisi jembatan kokoh dan Komplek Layanan Pos Lintas Batas Negara (PLBN) di Mota’ain yang megah, di ujung Desa Silawan.

Perjalanan dari Mota’ain ke Kota Atambua (ibukota Belu) diwarnai oleh panorama pondok-pondok rombeng, dekil, dan berdinding  daun bebak itu. Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Belu berinisiatif membangun permukiman layak bagi warga baru itu. Permohonan bantuan dikirim ke Kementerian PUPR dan disanggupi. Secara bertahap, Kementerian PUPR membangun 300 unit rumah sederhana tipe 36 m2 setelah Pemkab  Belu menyediakan lahannya. Maka, dibangunlah perumahan itu dalam tiga tahap, sejak 2020, yakni di Kecamatan Raihat  dan Raimanuk.  Tahap pertama selesai, tahap II sudah mencapai 70 persen, dan tahap III baru selesai ditenderkan.

Yang sudah selesai langsung dibagikan dan ditempati mereka yang membutuhkan seperti Adelina Rinalda, lengkap dengan akses jalan masuknya, listrik dan air bersih. Sejumlah sepeda motor telah terparkir di sejumlah rumah.

“Kami harapkan bantuan ini dapat meningkatkan kualitas hidup para penerima, dengan rumah yang lebih layak, sehat dan nyaman,” kata Menteri PUPR Basuki Hadimuljono dalam keterangan resminya, Selasa (14/09/2021) terkait program rumah khusus (rusus) dari kementeriannya. Rusus itu dibangun menggunakan teknologi Rumah Instan Sehat Sederhana Sehat (RISHA), dengan modul-modul khusus pada tiangnya, yang membuatnya lebih kuat, tahan gempa dan awet.

Warga eks Timor Timur itu menerima bantuan rusus itu sesuai kriteria warga berpenghasilan rendah yang tinggal di kawasan 3T (tertinggal, terluar dan terpencil). Para warga baru eks Timtim di Belu itu memenuhi kriteria sebagai penduduk terluar, karena berada di perbatasan dengan Timor Leste.

Program Sejuta Rumah Kementerian PUPR, yang  dirintis sejak 2015, mendukung pengadaan rumah layak huni dengan berbagai cara. Ada pola rusus seperti di daerah 3T dan di daerah yang terdampak bencana alam. Ada pula ‘’bedah rumah”, dimana melalui Desa/Pemkab, PUPR memberikan bantuan material bangunan dan biaya tukang, untuk merenovasi rumah warga miskin. Secara resmi, program bedah rumah ini ada di bawah kegiatan Program Rumah Swadaya.

Di daerah perkotaan, ada program rumah susun yang bisa disewa dengan harga terjangkau. Rusun ini juga telah dibangun di banyak pesantren dan kampus perguruan tinggi untuk hunian sementara para generasi muda. Ada pula bagian program sejuta rumah ini untuk warga non-MBR (masyarakat berpenghasilan rendah), dari klaster menengah-bawah, yang umumnya berupa rusun atau  rumah sederhana cicilan dengan bunga rendah.

Sepanjang  2020, menurut catatan Kementerian PUPR, Pemerintah berhasil menyediakan 960 ribu unit hunian dengan berbagai skema itu. Pada  2021 disediakan alokasi Rp. 8,1 Trilyun bagi program sejuta rumah. Pandemi membuat realisasinya tersendat. Maka, di akhir Juni 2021 realisasinya baru 400 ribu unit dari 600 ribu yang direncanakan. Salah satu yang tidak tertunda adalah perumahan di Desa Tohe, Kabupaten Bolu itu.

Bukan Pengungsi

Bagi keluarga eks pengungsi Timor Timur seperti Felix Jumairo bantuan rumah khusus (rusus) yang dia tempati kini di Desa Silawan adalah hal yang sangat berarti. Bukan soal nilai bantuannya saja, ia pun merasa martabatnya sebagai warga negara dihargai dan dilindungi. ‘’Kami bukanlah pengungsi lagi. Kami sepenuhnya WNI. Saya orang Indonesia,’’ katanya.

Felix, 55 tahun,  mengaku tidak menyesal pasca referendum Timor Timur 1999, ia menyeberang ke wilayah Indonesia dan terdampar di Belu. Referendum memenangkan kelompok pro-kemerdekaan, dan menyulut gelombang pengungsi yang khawatir kepada  situasi baru di Timur Leste. Felix ada di tengah gelombang pengungsi yang memuncak pada September 1999 itu.

Sekitar 280 ribu penduduk Timor Timur merangsek ke wilayah Indonesia, terutama Kabupaten Belu (61 persen), Kabupaten Kupang (19 persen) dan sejumlah kabupaten lainnya termasuk di Flores dan Sumba. Bahkan, ada yang sampai ke Bali.  Mereka mendapat status pengungsi dari UNHCR.

Dalam perjalanannya, sebagian besar mereka kembali ke kampung halaman lewat  proses repatriasi resmi, yang dibantu UNHCR, yang berlangsung sampai 2009. Setelah itu masih ada proses repatriasi mandiri. Mereka yang berniat menjadi WNI menerima status sebagai warga baru. Problemnya ialah penempatan warga baru itu, agar mereka bisa meninggalkan kamp-kamp pengungsiannya.

Prosesnya tidak bisa serta merta. Sebagian bisa beradaptasi, membaur, dan  mencari penghidupan sendiri. Mereka mencari pekerjaan di Lombok, Bali, Jawa, Sulawesi dan tempat lainnya. Tak sedikit yang harus menetap  di lokasi pengungsian sampai 20 tahun lamanya seperti yang  dialami Adelina Rinalda dan Felix Jumairo. Padahal, sejak 2009 lalu, mereka telah resmi ber-KTP Belu, Indonesia.

Data Pemkab Belu 2012 mencatat, bahwa  dari 11.898 KK (35.835 jiwa) warga  baru yang ada di 24 kecamatan, sebanyak 7.724 KK (65 persen) di antaranya telah menempati rumah milik sendiri atau mengontrak. Yang pasti, mereka telah mampu beradaptasi dengan lingkungan sosial yang baru dan bisa hidup mandiri, sekalipun harus bekerja serabutan. Situasi serupa juga terjadi di kalangan warga baru yang terdampar di Kabupaten Kupang dan beberapa lain.

Namun, hingga 2016 tercatat masih ada  32.000 KK yang belum bisa mentas dari kamp pengungsian. Mereka bekerja serabutan sambil bertani pada ladang sempit di atas tanah milik negara, tanah adat atau berbagi hasil dengan pemilik tanah yang warga setempat. Ketika itu, lewat Kementerian Sosial,  pemerintah memberikan bantuan Rp. 10 juta per KK untuk membantu settlement.

Berikutnya, survey pada 2018 menyatakan, bahwa  secara umum 85 hingga 86 persen warga baru telah memiliki rumah tinggal sendiri di luar lokasi kamp pengungsian awal. Demikian yang direkam dari survei di Kabupaten Belu, Kupang dan Kabupaten Timur Tengah Utara (TTU). Tidak semuanya bisa tinggal di rumah layak huni, karena masih banyak yang berlantai tanah, berdinding seng dan tanpa sanitasi.

Namun, karena mereka sudah resmi menjadi WNI, bantuan dari pemerintah masuk skema bedah rumah, program yang banyak dilakukan baik di Kabupaten Belu, Kupang dan TTU. Program rumah khusus hanya untuk mereka yang berada di dekat perbatasan.

Toh, masih ada yang masih ada tertahan di kamp pengungsian, yang bahkan tak kuasa mengakses bantuan rumah swadaya. Mereka belum punya tanah dan kebun. Namun, seperti dituturkan Felix Jumairo, repatriasi mandiri ke Timor Leste bagi mereka bukan pilihan menarik. Kesulitan hidupnya terbantu oleh bantuan iuran BPJS, kartu sembako, Program Keluarga Harapan (PKH), bahkan ada subsidi listrik di masa pandemi. Kemudahan itu tak ada di tanah kelahirannya Timor Leste.

Mereka memilih menjadi Indonesia karena harapan akan hidup lebih baik. Kini mereka pun masih harus berjuang untuk kehidupan yang lebih layak, seperti yang dilakukan warga Indonesia lainnya yang masih tertinggal dan seperti yang dilakukan pula oleh banyak eks warga Timor Timur lainnya. 

Pemkab, Pemprov, Pemerintah Pusat dan banyak pihak lainnya terus berupaya mendorong lewat program pengembangan sosial dan ekonomi. Mereka diperlakukan setara seperti WNI lainnya.

Ikuti tulisan menarik sangpemikir lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler