x

Sawah di Kampung Halaman. Foto oleh Heri Wiranata (Pixabay.com)

Iklan

nurul indriyana @01indriyana

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 1 Desember 2021

Kamis, 2 Desember 2021 17:56 WIB

Merebut Hak Tanah Waris yang Berujung Pedih Menangis

Cerita pendek ini mengandung unsur konflik keluarga tentang perkara tanah waris.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Merebut Hak Tanah Waris yang Berujung Pedih Menangis

Dulu, di pelosok desa yang sejuk udaranya, subur tanahnya, tenang suasananya, terdapat pasangan suami istri yang mempunyai empat orang anak yang terdiri dari tiga putri dan satu putra. Pasangan suami istri itu bernama Supriyadi dan Mursinah. Mereka berdua ialah seorang petani yang mempunyai beberapa petak sawah. Anak-anak mereka bernama Tukijah, Tukiyem, Tuminah, dan Maryadi. Tukijah ialah seorang putri sulung yang penurut terhadap perintah kedua orang tuanya. Tukiyem ialah putri kedua, dia anak yang penurut juga. Tuminah ialah putri ketiga, dia ialah anak yang paling cantik rupanya dan paling dimanja oleh emaknya. Maryadi ialah putra Bungsu dari pasangan suami istri Supriyadi dan Mursinah. Dia termasuk anak yang disayang oleh kedua orang tuanya. Namun, dia bukan orang yang senang bergantung pada orang lain, termasuk kedua orang tuanya. Dia termasuk orang yang mandiri, selalu tak ingin merepotkan orang lain. Laun waktu, anak-anak Supriyadi dan Mursinah beranjak dewasa. Mereka satu per satu menikah dengan pasangan pilihannya masing-masing dan dikaruniai anak. Setelah anak-anaknya menikah, Supriyadi dan Mursinah tinggal bersama dengan putranya, Maryadi. Di desa ini, sudah menjadi kebiasaan jika yang tinggal bersama kedua orang tuanya ialah anak laki-laki. Sebab, anak perempuan harus mengikuti suaminya. Hal itu sudah menjadi hal yang lumrah. Jadi, sudah tak asing lagi.

Walaupun ketiga putrinya telah menikah, mereka tak jarang mengunjunginya. Jadi, rasa rindu mereka dengan putri-putrinya dapat terobati saat mereka mengunjunginya. Hal yang sangat membahagiakan untuk Supriyadi dan Mursinah ialah, ketika semua anak-anaknya berkunjung ke rumah dengan membawa anak-anak mereka. Melihat cucu-cucunya bermain bersama-sama di halaman rumah dengan canda dan tawanya, tentu menjadi pelipur lara mereka berdua. Apalagi, mengingat mereka berdua sudah lanjut usia. Jadi, tak banyak yang mereka harapkan. Mereka hanya berharap, dapat menua dengan anak-anaknya yang bakti kepadanya. Mereka berdua tak ingin menua di panti jompo dan ditinggalkan begitu saja oleh anak-anaknya. Mereka juga ingin anak-anaknya rukun dan saling mengerti satu sama lain.

Supriyadi yang pada masa mudanya merokok, kini diusia lansianya menjadi batuk berdahak yang tak berkesudahan. Semakin lama, batuknya makin parah. Anak-anaknya membawanya periksa ke dokter. Diagnosa dokter mengatakan bahwa dia menderita sakit jantung dan harus dirawat inap. Anak-anaknya senantiasa menemaninya di rumah sakit secara bergantian. Bahkan, cucunya pun ikut serta. Tapi, yang namanya efek samping dari merokok yang berkepanjangan akan sukar untuk disembuhkan. Hingga pada akhirnya, dokter sudah angkat tangan. Anak-anaknya terpaksa membawa Supriyadi kembali ke rumah karena di rumah sakit tak menunjukkan adanya perubahan. Sampai pada akhirnya disore hari itu, Supriyadi meninggal dunia. Meninggalkan istrinya, Mursinah dan anak-anaknya yaitu Tukijah, Tumiyem, Tuminah dan Maryadi. Rumah itu, dipenuhi tangis yang mengiringi kepergian Supriyadi.

Setelah kepergian Supriyadi, suasana rumah tak seperti sebelum-sebelumnya. Bagi Mursinah, rasanya, seperti ada yang hilang. Walaupun, anak-anaknya lebih sering mengunjunginya dari pada sebelumnya. Namun, lambat laun Mursinah harus mengikhlaskannya. Saat Mursinah dapat mengikhlaskan kepergian Supriyadi, sikap pilih kasihnya terhadap putri ketiganya Tuminah semakin terlihat mencolok. Bukan apa, dahulu ketika Supriyadi masih hidup tidak begitu terlihat. Sebab, masih ada kasih sayang Supriyadi yang adil terhadap anak-anaknya. Sebenarnya bukan masalah besar ketika kasih sayang Mursinah yang lebih besar kepada putrinya yang ketiga Tuminah, dari pada anak-anaknya yang lain. Namun, melihat dampak negatif dari dipenuhinya sifat manja Tuminah yang berupa sikap buruknya kepada Mursinah yaitu semena-mena dengannya, anak-anaknya menjadi dongkol terhadapnya. Di desanya, unggah-ungguh itu sangat dijunjung tinggi. Jadi, jika unggah-ungguh-nya rusak, maka martabatnya juga ikut hancur. Mursinah menyadari kesalahannya dalam mendidik Tuminah, yaitu menuruti sifat manjanya. Saat menyadarinya, dia bertekad untuk tidak akan memenuhi sifat manjanya.

Suatu ketika, Tuminah datang ke rumah Emaknya Mursinah, untuk meminjam kalung rantai emas miliknya. Alasannya untuk bisnis kadang ayam. Sebelumnya, Mursinah telah mengetahui kalau kandang ayam Tuminah itu lagi mengalami pailit. Namun, tidak lain karena borosnya pengelolaan keuangan Tuminah. Kebiasaannya dari dulu tak pernah berubah, selalu saja membeli sesuatu apa yang diinginkan, bukan yang dibutuhkan. Sifatnya itu, mengakar hingga dia dewasa dan sudah berumah tangga. Seperti apa yang telah dikatakan Mursinah sebelumnya, dia tidak akan memenuhi keinginan Tuminah lagi. Dia ingin, putrinya dapat belajar dari masalah yang sedang dia hadapi. Dia juga ingin, putrinya mengubah sifat buruknya itu, yang selalu boros dan menggantungkan nasibnya pada orang lain. Makanya, Mursinah menolak permintaan Tuminah untuk meminjam kalung rantai emasnya. Nyatanya, Tuminah kesal dengan sikap Mursinah yang tak ingin meminjamkannya kalung rantai emasnya.  Dia tak terima dan marah-marah sambil pergi dari rumah emaknya, Mursinah. Tak sampai di situ, Tuminah mengumpat pada emaknya Mursinah. Di tengah jalan desa dan dilihat oleh orang-orang tanpa urat malunya. Sayang sekali, paras yang cantik itu, berbau busuk isinya. :”) Sejak saat itu, Tuminah tak pernah berkunjung ke rumah emaknya, Mursinah.

Lambat laun, Mursinah juga semakin renta. Dia mengumpulkan anak-anaknya, untuk membicarakan soal warisan tanahnya. Anak-anaknya dari Tukijah, Tukiyem, Tuminah dan Maryadi berkumpul atas permintaan emaknya. Tuminah pun, yang sudah lama tak berkunjung di kediaman emaknya, tetap memutuskan untuk hadir diperkumpulan itu. Jangan tanya urat malunya di mana, jika soal warisan itu masih haknya, pikirnya. Nyatanya memang seperti itu, manusia yang sering berlandaskan logika, lupa akan keberadaan nuraninya. Dalam pembagian warisan tanah itu, Mursinah berkata kepada anak-anaknya, kalau tanah yang petaknya paling luas ialah untuk Maryadi. Dikarenakan, dia ialah anak laki-laki yang disetiap harinya selalu memenuhi kebutuhan Mursinah dan Supriyadi suaminya, dari dulu hingga tua. Jadi, selain Maryadi itu mendapat satu petak sawah yang luasnya sama-sama tidak terlalu besar. Sebab, pikirnya Mursinah, putri-putrinya itu adalah perempuan yang sudah ditanggung kebutuhannya oleh suaminya masing-masing. Ketiga anaknya tak ada yang masalah dengan perintah Mursinah, emaknya. Namun, Tuminah lagi-lagi tak terima, sifat buruknya muncul kembali. Dia ingin, satu petak sawah yang paling luas itu menjadi miliknya.

Ketiga anaknya sangat heran dengan sifat Tuminah yang begitu tamak dan keras kepala. Berani-beraninya dia menentang keputusan ibunya yang begitu dihormati oleh anak-anaknya yang lain. Mungkin sifat manja yang selalu diturutinya itu, yang menjadi sebab sifatnya begitu tamak dan keras kepala tak ingin kalah. Maryadi yang notabene malas ribut-ribut dengan saudaranya sendiri, dia memutuskan untuk mengalah dari kakak perempuannya itu. Dia berpikir, toh kalau rezeki tak bergantung pada luasnya tanah. Dia yakin, Tuhan punya caranya sendiri untuk memberi hambaNya rezeki. Enam bulan kemudian, Mursinah meninggal dunia, menyusul suaminya Supriyadi. Anak-anaknya berkunjung ke rumahnya untuk nylameti bersama-sama, seperti kebiasaan yang ada  di desanya. Tapi, lagi-lagi Tuminah tak datang.

Selang dua tahun kemudian, Tuhan menunjukkan kekuasaannya. Sawah satu petak yang paling luas itu tak menghasilkan apa-apa. Satu tahun sebelumnya, Tuminah menanam padi dan berhasil. Tapi entah mengapa, ditahun kedua ini Tuminah memutuskan untuk mengubah lahan sawahnya itu menjadi kandang ayam dan kolam ternak lele. Tapi hingga sekarang kandang ayamnya sama sekali belum beroperasi. Entah karena kekurangan modal atau apa. Kolam ternak lelenya sempat beroperasi sebentar, akan tetapi lagi-lagi bisnis itu berhenti di tengah jalan. Apa ini bisa disebut Tuminah sedang memetik buah dari biji yang dia tanam? Sementara itu, Maryadi dengan sepetak tanah sawahnya yang tak begitu besar telah memanen buah salaknya berkali-kali, yang kurang lebih sekitar lima kwintal disetiap minggunya. Untuk seorang Maryadi, dengan gaya hidup orang desa biasa, itu sudah lebih dari cukup. Nyatanya memang tirai takdir begitu rapat menutupi pelangi dalam kehidupan. Kita sebagai manusia diminta untuk bersabar dan berusaha semampunya. Barang siapa yang berhasil, dia akan melihat pelanginya. Tapi, bagi orang yang menerobos aturan yang ada, dia akan menelan rasa pahit dari sifat rakusnya. Sebab, tirai yang dibuka paksa akan merusak isinya. Semoga, kita kuat untuk bersabar dan berusaha hingga tirai pelangi itu berhasil terbuka. :) 


 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ikuti tulisan menarik nurul indriyana @01indriyana lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu