x

Iklan

Michia

Penulis
Bergabung Sejak: 21 November 2021

Sabtu, 4 Desember 2021 06:14 WIB

Lini Masa

Pertemuan itu tidak sesuai ekspektasinya, Andrea semakin terpuruk dan disaat ia memutuskan untuk mengakhiri segalanya, ia bertemu wanita misterius yang mahakuasa.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Aku tengah bersama mereka, kaum yang telah angkat bendera putih soal percintaan. 

 

Setelah lama mengenal mereka didunia maya, mengekspos segala cacat diri dan segala pikiran gelap yang tidak akan dimengerti masyarakat; Aku merasa berada di organisasi rahasia, penguak segala topeng yang dipasang media dan norma-norma yang takut mengucap kebenaran.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Dan ketika akhirnya bertemu dengan mereka, aku tidak terkejut melihat hidung kebesaran, bekas jerawat memerah, orang pendek, kacamata, wajah yang tidak estetik untuk dipandang, penuh aib sama seperti yang mereka ungkapkan di forum.

 

Incel.

 

Singkatnya, "Tidak akan ada wanita yang setia karena mereka akan selalu mencari pria yang terbaik, kalaupun ia bertahan bersamamu selama beberapa tahun ia hanya ingin uang untuk memperbaiki dirinya agar dia bisa bersama pria yang lebih tampan atau lebih kaya darimu." ucap lelaki yang mengenakan hoodie berwarna hitam.

 

Terdengar tidak masuk akal, tapi ada kebenaran didalamnya.

 

"Ya and that's how the game's work." balas si kacamata tidak melepas fokusnya dari tv.

 

Berlima kami dikamar si kacamata, duduk disofa sambil bermain game; stik kontrol ada ditangan hidung besar dan kacamata.

 

"Sok inggris-sok inggris" cerca si hidung besar, kami merespon dengan gelak tawa.

 

Kami berbincang cukup lama tentang bagaimana kaum seperti kami begitu kesulitan menjalin hubungan dengan lawan jenis. Penolakan, patah hati, penghianatan semuanya beresonansi dengan jalan ceritaku.

 

Pria dengan masalah jerawat berlebihan datang menuju sofa sambil berbicara; "Ada juga yang bilang diforum soal bagaimana masyarakat membuat wanita jadi terlalu tinggi ekspektasinya."

 

Si pria berhoodie medecakkan lidahnya nyaring lalu membalas, "Ini semua karena para feminis, sama sosial media mereka semua membuat kita seolah-olah yang kurang berusaha, kita harus kaya, harus tampan, tai semua lah. " Terengah-engah, giginya merapat ia seakan-akan hendak meledak.

 

Benar, banyak sekali yang membicarakan betapa pengaruh dari pergerakan-pergerakan sosial itu merubah tatanan dan kultur yang kini mencabik-cabik kita yang tidak dapat beradaptasi.

 

"Daripada diperas buat kepuasan mereka, hidup sendiri sampai mati kedengarannya tidak buruk." tambah si kacamata.

 

Ah.

 

Si hidung besar entah mengapa tertawa terbahak-bahak.

 

"Apa memang harus begitu?" pikiranku terucap tanpa kusadari.

 

Cairan dingin terasa naik keleher dan keseluruh penjuru badanku mencekam, tanpa sadar tubuhku bergetar didalam membuatmu semakin tidak nyaman. 

 

Sial, apa yang sudah kuucapkan.

 

Empat pasang mata, aku merasa aneh dengan cara mereka melihatku; Disana ada rasa empati yang berbalut kasihan.

 

"Telan pil hitamnya Dre, orang seperti kita cukup berbaring sendirian dan mati disuatu hari." jawab si hoodie.

 

Tidak ada hal khusus yang terjadi setelahnya, aku hanya terlarut di ucapan si pria berhoodie

 

Mengkalkulasi semua cercaan mereka terhadap takdir yang membuat kita, pria dizaman dimana wanita menerima atensi penuh dari dunia, didambakan dan berhak akan segala macam afeksi jadi merasa tertinggal.

 

Sesampainya diranjang, tengkurap sambil memperbaharui isi beranda sosial media. Tarik dari atas kebawah bermunculan satu-persatu potret wanita dengan beribu tanggapan, koreksi- sejuta tanggapan. Sejuta pujaan, sejuta pemuja.

 

Namun, tentu saja makhluk yang dapat bersanding dengan sosoknya hanyalah pria sempurna. Tinggi, mulus, wajah yang pantas dilirik. Jika pria sepertinya pergi kesebuah toko, maka kasir wanitanya bakal tersipu malu disertai sikap ramah yang tidak masuk akal.

 

Jika itu aku, melirik pun mereka akan merasa merasa gatal diseluruh badan.

 

Aku tidak pantas mendapat kebahagiaan.

 

"Mati sendirian... haha" gumamku disertai kekehan kecil tawa yang begitu kecut, tidak sanggup kutahan.

 

Menyesakkan nan lucu. Oh, sejak kapan hidupku menjadi sebuah ironi.

 

"Hahahaha." Itu bukan suaraku. Aku melompat terbang kebelakang begitu kencang kepalaku beradu dengan dinding dipinggir ranjangku. Terbahak-bahak, itu suara wanita dewasa. 

 

Nyeri, refleks ku gosok bagian belakang kepala. Perlahan kuraih kesadaranku kembali, dan seketika mataku terbuka lebar, terbelalak seakan melihat melihat ufo membangun piramida.

 

Dewi? tidak-tidak mungkin, apa pencuri?

 

Semerbak lavender, rambut pendek terpotong setinggi telinga, fisik molek erotis. Tertawa memegang perutnya, kepala terangkat, aku terpaku pada leher jenjangnya yang-

 

"Hei!"

 

Perhatianku teralih. "Waaaaa" aku berteriak kembali ke realita, bagaimana ia masuk ke kamar yang terkunci rapat.

 

"Bukannya kau tidak perlu kaget begitu, apa kau pikir wanita cantik sepertiku akan mencuri?"

 

Arogan, ia masih menatapku rendah. Itu bukan bentuk dominasi atau ego untuk merasa lebih agung, tatapannya natural layaknya pandangan manusia terhadap cacing.

 

Ia memutar bola matanya, sambil memainkan tali dileher hoodie yang ia kenakan.

 

"A-Apa yang kau mau?" ucapku terbata-bata

 

"Kebahagiaanmu, apa yang kau mau?" balasnya.

 

Aneh.

 

"Kurasa kau tidak mengerti maksudku, kau tidak bisa masuk rumah orang yang tidak kau kenal dan berbicara hal yang tidak jelas." tegasku menaikkan suara.

 

"Ohh." gumamnya pundaknya bergerak merendah Dan mulai menyeringai "Aku tau segala hal tentangmu, Andrea."

 

Andrenalinku melonjak menabrak pembatas standar kewarasan. 

 

Sosok abnormal, ia begitu ganjil aku tidak mengerti harus menempatkan ia dimana. Pendendam masa lalu? Stalker? Pembunuh bayaran? Sosok dari masa depan? atau kecerdasan buatan yang mencoba membangunkanku dari simulasi?

 

Dusta! ia hanya menggertak.

 

"Pikiranmu memang menarik, tapi aku bukan mereka."

 

Tunggu, apa ia bisa membaca?

 

"Iya, bisa kok."

 

Sial.

 

"Tak perlu terlalu tegang." ucapnya dengan wajah seolah-olah memang tidak ada apa-apa padahal- "HEI, lihat kearahku!"

 

Dengan cepat ia menarik tanganku berdiri dari ranjang, anehnya aku tidak dapat menolak ajakannya. Ia tidak begitu tinggi, tidak begitu pendek. Matanya hitam legam kami beradu pandang, karenanya wajah oval itu berakhir agak mendongak.

 

"Kau cukup tinggi." Pujian? tanpa sadar kualihkan pandangan, namun sepasang telapak tangan menyentuh kedua pipiku "A-A, wanita cantik ada dihadapanmu."

 

Jantungku melompat-lompat, wajahku panas dibanjiri keringat. Layaknya ketindihan aku dipaksa menatap, merasa malu, terpaksa, Ah- perasaan ini terlalu gila.

 

Aku harusnya sudah berlari, namun badanku seakan diambil alih oleh sihir.

 

Hitam legam, tersenyum licik.

 

"Maaf."

 

Wajahnya berubah agak masam, melepas kedua genggamannya. Ia mundur 2 langkah, memberi jarak.

 

"Aku datang untuk membantumu Andrea."

 

"Membantuku? Maaf tapi a-aku tidak mengerti apa yang sedang terjadi." balasku.

 

Dia makhluk yang membaca pikiran, masuk keruangan terkunci, siapa yang bisa mengerti keadaanku.

 

"Aku mengerti, kau tidak perlu berpikir terlalu keras terhadap keadaan ini, sekarang mari bicarakan masalahmu."

 

Dia benar-benar tidak masuk akal.

 

"Apa pedulimu." tegasku.

 

"Seperti yang kubilang, Aku tau segalanya tentangmu."

 

"..."

 

"Pembulian, kematian ibumu, pelecahan ditangga, ibu tiri, adik yang tersesat, ayah religius, dan pelarianmu."

 

Aku tidak mengerti, mengapa ia tersenyum.

 

"Persetan tuhan dan segala rencananya, nasib buruk ini ada diluar kontrolmu." tambahnya.

 

Heran, kalimatnya itu tidak menyelesaikan apa-apa tetapi membawa perasaan lega.

 

Karena kau tidak bisa melakukan apapun tentang itu, maka terima saja, tepat seperti yang kupikirkan.

 

"Aku mengerti." ucapku disertai senyuman tipis.

 

Tiba-tiba, ia mengepalkan telapaknya sambil menunduk "TIDAK, kau tidak mengerti Andrea." teriaknya, bergetar hampir memecah tangis.

 

Apa-apaan, sekarang dirinya terdengar pilu.

 

"..."

 

"..."

 

Ia melirik kearah meja dibelakangnya disana ada buku tulis dan kotak berisi tisu. Apa yang ia pikirkan?

 

"25 Desember 2021, Ketemuan di RL tidak merubah fakta bahwa mereka tidak peduli, tidak ada yg peduli. Mungkin, ini waktu yang tepat untuk mati." ucapannya tidak dapat kubantah.

 

"Apa itu salah satu kekuatanmu, mengintip diari?" tanyaku.

 

"Aku peduli tentangmu." jawabanya.

 

"Tidak, tidak ada yang peduli."

 

"Mengapa kau berpikir seperti itu?" ia bertanya.

 

"Karena ... aku tidak pantas."

 

Mengapa aku menjawabnya?

 

"Hal apa yang membuatmu merasa tidak pantas?" ia bertanya lagi.

 

"..."

 

"Karena kau pemalu? Belum memiliki pekerjaan tetap? tidak memiliki keahlian?"

 

Ia menjawab pertanyaan tersebut dengan tepat.

 

"Hahhhhhh-" ia menghela napas panjang. "Memang jadi seorang yang pemalu, tidak diterima kerja, atau terlahir tanpa bakat itu bukan hal yang bisa kau kendalikan-"

 

"Tapi, kau bisa berusaha menjadi berani dan mencoba mencari kerja lagi." tambahnya.

 

"Tidak."

 

Karena memang tidak bisa, buat apa mencoba kalau kau tau akan gagal.

 

"Apa kegagalan itu sudah pasti? jawabannya tidak."

 

"..." Aku terdiam.

 

"Kau memang tidak dapat mengontrol hal yang terjadi padamu, tapi kau punya kendali untuk bersikap seperti apa."

 

Omong kosong, waktuku terasa terbuang.

 

"Kalau begitu, ingin taruhan?" ajakannya terdengar penuh tipu muslihat.

 

Ia begitu yakin, sebaiknya aku menolak.

 

"Katakan, apa yang kau inginkan sebenarnya?" kucoba mengabaikan ajakannya.

 

"Bukankah sudah kubilang sejak awal, aku ingin kau bahagia."

 

Aneh. Aku masih tidak mengerti.

 

"Lelaki yang kebanyakan mikir itu membosankan, bagaimana jika kau menang-" perlahan ia bergerak meraba-raba tubuhnya, apa ia mencoba menggodaku? "Kau boleh minta apapun."

 

Fantasi liar mula-

 

"Tidak perlu." balasku singkat.

 

"Tidak perlu malu, bukannya aku sangat mirip dengan wanita yang baru saja jadi bahan masturbasimu?"

 

Sialan, apa dia juga-

 

"Hahahaha."

 

Wajahku kepanasan, membuatnya tertawa semakin keras.

 

"Kau terus bilang kalau kau membenci wanita, tapi kau masih berfantasi tentang mereka ... Hahaha ironi benar-benar sebuah ironi."

 

"Ti-tidak, itu hanya dorongan seksual dari kebutuhan dasar manusiawi."

 

Sumpah!

 

"Sulit dimengerti ... kenapa tidak jujur saja?"

 

Aku tidak mau menjawab. Sialan, dia cuma bermain-main dengan perasaanku.

Aku duduk dikasur menghadap kearahnya yang masih berdiri.

 

Ia kemudian memutar bola matanya kepinggir sambil mengangkat bibir tipisnya memikirkan sesuatu.

Beberapa saat kemudian menyipitkan matanya dan menyeringai kearahku. 

 

"Wanita tidak akan tersenyum padaku, karena aku buruk rupa."

 

Pengintip diari sialan.

Mengapa aku masih membiarkan ia berada dikamarku jika ia sangat tidak punya sopan santun.

 

"Itu kebenarannya." balasku singkat.

 

"Apa aku tidak dihitung sebagai wanita."

 

"A- kalau kau, aku tidak-"

 

"Jahaaaat."

 

Ia menjetikkan tangannya, seketika telingaku dipenuhi suara dengungan melengking yang seakan menusuk hingga kebagian dalam gendang telinga. Refleks kututup mata dan kugerakkan kedua tangan menutup lubang telinga.

 

Suara itu menghilang.

 

Perlahan kutarik kedua tanganku, terdengar bising bunyi serangga. Dingin, badanku diterpa angin halus. Perlahan kuangkat kelopak mata, dan benar saja dugaanku tepat.

 

Aku sudah tidak berada dikamar lagi.

 

Kulirik disampingku, wanita misterius itu tersenyum licik sambil membentuk tanda V dengan jarinya.

 

Siapa ia sebenarnya?

 

"Tuhan, dewa, dewi, dirimu, aku tidak tahu." ucapnya membaca pikiranku lagi.

 

"Jadi apa taruhannya?" tanyaku.

 

"Masuk ketoko disana, dan kau cukup bertanya soal apapun lalu tersenyum lalu ucap terimakasih dan lihat hal apa yang terjadi."

 

Baiklah.

 

"Lalu, bagaimana caranya menentukan siapa yang menang?" tanyaku lagi.

 

"Aku pasti menang." jawabnya singkat, lalu ia mendorongku dari belakang dan seketika aku sudah memasuki toko tersebut.

 

Toko kelontong yang cukup besar, mataku langsung tertuju pada wanita berbaju putih panjang. Lehernya terekspos memperlihatkan kalung salib tergantung sempurna.

 

Ia berdiri dimeja kasir membaca buku hitam yang begitu tebal, alkitab? kemungkinan cukup besar. Anehnya, diatas meja itu ada bungkus rokok yang terbuka, apa ia seorang perokok juga?

 

Ah- rokok, mari beli itu saja dan selesaikan permainan ini.

 

Cukup bertanya, tidak ada yang sulit.

 

"Anu." Panggilku.

 

Tatapan kita bertemu. Sialan.

 

"Be-beli rokoknya 1."

 

Sialan.

 

Ia terus mengalihkan pandangannya, ia pasti merasa tidak nyaman. "Ah, ... harganya 20 ribu mas."

 

Sial, kupikir ditoko ini bisa membeli rokok per batang. Bodohnya aku, seharusnya aku membawa uang lebih.

 

Pergi, pergi, pergi.

 

Kakiku berputar kearah pintu. 

 

Namun, konsep? hukum alam? abstrak? yang kita sebut waktu tiba-tiba, terhenti. Aku tidak bisa bergerak. Tidak ada cahaya yang masuk dimata, aku merasakan kebutaan, kelumpuhan, ketidakberadaan.

 

Vakum.

 

Sunyi.

 

Nihil.

 

Aku tidak bisa.

 

Hahahaha, kau bisa.

 

Aku jelek, tidak-

 

Kau bisa, Andrea.

 

Coba kau lihat raut wajah si wanita kasir itu, ia bahkan tidak me-

 

Bukankah ia sedang membaca?

 

Tapi tetap saja, ia tidak akan peduli.

 

Andrea?

 

Aku tidak bisa.

 

Tersenyumlah, dan jadi nyata.

 

Apa maksudmu.

 

Bayangkan jika ada orang berlagak aneh datang bertanya padamu, kau akan bersikap waspada bukan? Semua ini hanya sesimpel itu, kau tidak tulus melakukannya karena kau tau akan gagal, hal itu membuatmu bersikap layaknya orang gagal dan membuatmu berakhir gagal yang semakin membuatmu percaya bahwa kau gagal.

 

Bahkan ketika aku tau hal itu, perasaan ini masih tidak dapat kukontrol.

 

Benar, kau hanya dapat mengontrol caramu bersikap terhadapnya.

 

"Mas? jadi membeli rokoknya?"

 

Dikantongku hanya Ada lima ribu rupiah.

 

Aku membalikkan badan.

 

Tanpa sadar, aksi yang otentik, tidak ada yang istimewa hanya ucapan yang sangat masuk akal keluar dari tenggorokanku.

 

"Maaf mba, saya kira bisa beli batangan tadi" jawabku sambil menggaruk-garuk belakang kepala.

 

Kulirik, ia telah meletakkan kitabnya kembali ke meja kasir.

 

"Loh, ini?" ia mengangkat bungkus rokok yang telah terbuka.

 

"Hahaha." Aku tidak dapat menahan kekehan.

 

Sial, apa dia-

 

Tunggu, mengapa ia cengar-cengir pula?

 

"Mas pikir saya perokok ya? Hahaha, memang terkadang saya dibilang gitu."

 

Oh astaga!

 

Ia hanya gadis penjaga kelontong biasa, namun senyumnya terlihat begitu tulus.

 

"Saya beli satu batang." ucapku sambil membalas senyum manisnya.

 

Tidak ada hal yang luar biasa yang terjadi setelahnya, kami kadang bertemu tapi itu hanya hubungan penjual dan pelanggan.

 

Tidak ada hal signifikan yang berubah.

 

Tidak ada yang baru.

 

Kecuali, fakta bahwa aku masih bertanya-tanya siapakah gadis misterius yang mahakuasa itu?

 

"Apa aku perlu menjawabnya, Andrea?"

 

Tidak, itu tidak perlu.

 

Karena kita berdua tau, siapakah dirimu itu.

 

Lagipula, kau ... adalah bagian dari diriku.

Ikuti tulisan menarik Michia lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu