Si Guru Buntung : Dari Matahari Terbit, Juara Olimpiade, sampai Ratu Elizabeth
Minggu, 5 Desember 2021 08:34 WIBInspirasi Merdeka Belajar
Sudah seminggu ini PTM terbatas berjalan, namun ada satu kelas yang sukses menjadi buah bibir panas diantara para guru. Kelas X Bahasa, seminggu ini berhasil mencetak rekor menjadi topik yang paling sering dibicarakan oleh guru. Dari siswa siswi yang datang terlambat, tidak mengerjakan tugas yang diminta, sampai riuh rendah suara mereka saat para guru mengajar. Sebenarnya ini bukan hal yang tidak terduga, karena waktu PJJ daringpun, siswa yang muncul di meeting bisa dihitung dengan jari. Dan siang ini adalah jadwalku masuk ke kelas tersebut. Dengan enggan aku melangkah ke kelas itu dan benar saja ,pemandangan pertama yang kulihat langsung membuat amarahku memuncak melihat mereka bergerombol mengelilingi satu anak dengan jarak yang dekat satu sama lain, dan beberapa tidak menggunakan masker.
“Please keep your distance to one another, and put on your mask” sampai beberapa kali aku mencoba bersabar memberikan instruksi untuk menjaga jarak dan memakai masker mereka. Namun belum berhasil.
“Anak – anak ayo jaga jarak satu sama lain! Andi, Siwi segera pakai masker kalian!” Setelah mereka kembali ke kursi masing – masing itulah aku melihat apa yang mereka kerumuni sebelumnya. Dani, Seorang siswa laki laki, masih memakai baju SMP yang sudah lusuh dan terlihat tidak kuat lagi menampung badannya yang agak tambun. Aku bisa melihat bekas tetesan air matanya yang segera ia seka.
“Apa yang baru saja terjadi? Kenapa Dani menangis?”. Hening. Sampai aku mengulang ketiga kalinya barulah Vina, ketua kelas menjawab “Teman teman mengolok - olok Dani pak, karena dia gagap menjawab pertanyaan bu Siti. Saya sudah melarang, tapi teman – teman tetap mengolok olok Dani pak”. Kata – kata Vina segera mengundang cemoohan dari anak anak tadi. Saat meeting waktu PJJ aku memang menyadari bahwa Dani sedikit gagap, dan kurang lancar berbicara.. Sekilas, aku melihat sorot mata Dani, aku kenal sorot mata itu. Itu adalah aku, bertahun tahun yang lalu. Tertekan, Frustasi, dan Putus Asa. Tindakan anak anak sudah agak keterlaluan, dan perlu diberi pelajaran. “Brak!” Aku memukul papan tulis dengan penggaris panjang yang segera membuat suasana kelas mendadak hening dan perhatian mereka segera beralih kepadaku . “Coba perhatikan ini!” Aku pelan pelan mengangkat tangan kananku dan membuka jarinya. Hanya satu jari yang ada disana, yakni ibu jari yang masih menempel di tangan kananku, empat jari yang lain, tidak ada, rata. Sontak, mata – mata mereka nanar melihat tangan kananku dan satu satunya jari yang ada di sana. “Iya, aku adalah guru yang buntung, tidak sempurna, tapi tolong dengar cerita saya”. Kelas semakin hening seiring dengan perhatian mereka yang larut dalam ceritaku.
Aku tidak ingat bagaimana persisnya dan bagaimana rasanya ketika kecelakaan itu terjadi. Namun orang – orang yang menyaksikan kecelakaan itu menceritakan kepadaku bahwa pada waktu aku masih merangkak, aku memasukkan tanganku ke rantai motor yang sedang diperbaiki oleh ayahku. Mereka bercerita betapa menyesalnya orang tuaku dan segala usaha yang mereka lakukan, namun gagal. Empat jari tangan kananku tidak bisa diselamatkan dan harus di amputasi. Aku memang tidak ingat bagaimana rasa sakitnya waktu itu, namun yang jelas jelas aku ingat adalah beratnya perjuangan untuk belajar menulis menggunakan tangan yang hanya ada satu ibu jari. Sampai akhirnya teman temanku yang lain sudah bisa menulis dengan baik dengan tangan kanan mereka yang masih lengkap, aku masih harus berjuang. Akkhirnya, ayahku yang juga adalah seorang guru mengajarkanku untuk menulis menggunakan tangan kiri. Dari situlah aku pelan pelan bisa menulis dan mengejar ketertinggalanku. Namun penderitaanku tidak berhenti disitu. Di masa masa sekolah, dari SD, SMP, bahkan sampai SMA, aku mendapat julukan baru yakni buntung. Anjas Buntung tepatnya. Dan itu sering kali menjadi bahan bullyan kepadaku. Aku adalah Dani di jaman dahulu. Cemoohan, olokkan serta ejekkan itu sempat membuat aku berfikir mengapa Tuhan tidak adil dan memberikan ketidaksempurnaan itu untukku. Kadang aku menangis sendirian, namun beban itu tetap aku panggul sendiri untuk jangka waktu yang tidak pendek.
Sebuah titik balik yang aku rasakan mulai dapat meringankan bebanku itu terjadi saat kelas akhir di SMA dalam sebuah kegiatan retreat. Sang pendamping retreat, seorang Pastor yang lembut menuturkan dalam sesi konsultasi pribadi kami bahwa setiap orang tercipta dengan talentanya masing masing. Ada yang banyak, namun ada juga yang sedikit dan ini adalah tugas setiap insan untuk melihat talenta dalam diri kita dan mengembangkannya, serta tidak hanyut dalam kekurangan kekurangan kita. Sejak itulah aku mulai lebih fokus untuk mengasah diri daripada berkeluh kesah tentang kekurangku. Hasilnya, aku lulus dari SMA dengan peringkat tiga terbaik di jurusanku. Semenjak itu, aku jadi tahu apa yang kuinginkan dalam hidupku. Aku ingin menjadi orang yang menjadi jalan bagi orang lain untuk meneukan diri dan talenta mereka. Aku memilih jurusan jurusan kuliah sesuai minatku, yaitu menjadi Guru. Aku berhasil menyelesaikan studi S1 dengan predikat Cumlaude, dan segera diterima disebuah sekolah swasta terkemuka di ibu kota provinsi.
Setelah beberapa tahun di sekolah itu, aku berpindah ke sebuah sekolah negeri. Tahun 2014, aku mendapat tantangan dari Kepala Sekolah untuk mengikuti sebuah Program Penataran Guru yang diadakan oleh Kementrian Pendidikan Jepang (Mobukagakusho). Semula aku tidak percaya diri, namun dorongan untuk terus membuktikan diriku, mampu membawa aku menyisihkan ratusan pelamar lain dan mendapat kesempatan menimba ilmu di Osaka Kyouiku Daigaku selama satu setengah tahun. Etos kerja, kedisiplinan dan ketekunan yang aku pelajari dari studiku di Negeri Matahari Terbit itu, aku terapkan ketika aku kembali lagi ke tanah air. Hasilnya, tahun 2018 aku meendapatkan medali emas dalam Olimpiade Guru tingkat Nasional dan mendapatkan penghargaan langsung dari Menteri Pendidikan saat itu, Bapak Muhajir Effendi. Pada tahun itu juga, aku mendapatkan beasiswa dari LPDP untuk meneruskan studi di University of Warwick di Inggris, dan meraih gelar Master dengan predikat Distinction setahun berikutnya. “Siapa yang dapat menyangka bahwa si anak buntung yang kehilangan empat jarinya itu , sering dibully, dihina, dan dicemooh, bisa akhirnya belajar di negara negara maju dunia dan menjadi juara nasional”. “Maka dari itu, jangan pernah kalian putus asa dengan apapun kekurangan kalian saat ini, karena kalau kalian betul betul mencari talenta diri kalian, dan dengan bersungguh sungguh mengembangkannya, Tuhan akan menyertai dan mengabulkan mimpi mimpi yang sebelumnya bahkan kalian anggap mustahil”.
Ketika aku mengakhiri ceritaku, aku melirik ke Dani. Sorot mata itu telah sedikit berubah, ada secercah harapan disana. Ada sesungging senyum di bibirnya. Aku lega, karena dia telah mencium aroma kemerdekaan. Merdeka dari rasa tertekan, frustasi dan kehilangan harapan. Ssekarang dia sudah menghirup aroma itu, aroma merdeka untuk belajar. Ceritaku memang tidak luar biasa, namun jika itu sudah bisa mengubah satu anak, sudah ada makna indah di dalam hidupku. Dan semoga, aku siap untuk terus memerdekakan jiwa jiwa pembelajar lainnya.

Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Si Guru Buntung : Dari Matahari Terbit, Juara Olimpiade, sampai Ratu Elizabeth
Minggu, 5 Desember 2021 08:34 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler