x

Iklan

Rosyid H. Dimas

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 21 November 2021

Minggu, 5 Desember 2021 11:58 WIB

Mazurka Terakhir

Cerita pendek ini diikutsertakan pada lomba cerpenindonesianatempo.co

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

     Sebuah kesibukan tahunan sedang terjadi di rumah Nyonya Gavrilovna, seorang janda sekaligus tuan tanah terkaya di desa S. Musim gugur segera berakhir dan para pelayan sedang melakukan persiapan untuk menyambut musim dingin. Sebab, di desa yang banyak ditumbuhi pohon birch itu, musim dingin bisa datang dengan begitu mengerikan. Badai biasa pecah seharian dan menenggelamkan jalanan dengan lapisan salju tebal, yang jika seseorang dengan kuda atau kereta dengan keras kepala berjalan melaluinya, ia akan segera membuat pengakuan dosa karena sadar hidupnya akan berakhir saat itu juga.

     Salah satu di antara pelayan-pelayan di rumah itu adalah Nastya Ivanovna. Nastya sudah bekerja untuk Nyonya Gavrilovna selama lima tahun, dimulai sejak dirinya diminta menjadi penebus—seumur hidup—atas kesalahan ayahnya yang membuat kebun si nyonya mengalami kerugian. Dan sekarang ia sedang mengiris daging untuk diawetkan dengan garam. Di atas talenan yang terbuat dari potongan kayu aspen, pisau di genggaman jari-jari kecilnya bergerak seperti kuda di tangan seorang perwira yang cakap.

     "Nastya, ambilkan samovar!"

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sebuah teriakan melayang ke dapur. Nastya meletakkan pisau begitu saja lalu mencuci tangannya dalam air pinggan. Ia lantas bergegas ke kamar Nyonya Gavrilovna dengan langkah kaki seekor anjing samoyed dan tiba di sana sesaat kemudian. Ketika Nyonya Gavrilovna melihatnya datang dengan tangan kosong, mata si nyonya lantas membelalak.

     "Mana samovar-ku, bodoh?! Bukankah aku menyuruhmu membawanya kemari, heh?!"

     "Maaf, Nyonya," Nastya membungkukkan badan. "Tapi Liza belum menjarang air."

     "Perempuan bodoh! Lalu apa yang kaulakukan di sini? Cepat siapkan air dan bawakan samovar untukku!"

     Nastya lekas pergi dari kamar si nyonya dan kembali ke dapur. Ia tinggalkan pekerjaannya mengawetkan daging untuk memanaskan air dalam samovar. Dan air belum sepenuhnya mendidih ketika didengarnya sebuah perintah baru dari majikannya.

     "Nastya, bukakan jendela!"

Nastya meninggalkan samovar dan bergegas kembali ke kamar majikannya.

     "Anda ingin saya membuka jendela, Nyonya? Tapi udara dari luar sedang tidak bagus."

     "Kau banyak omong, Nastya. Cepat buka saja jendelanya! Betapa membosankan pemandangan di kamar ini."

     Nastya membuka jendela. Angin penghujung musim gugur yang dingin segera menyeruak masuk sementara di luar langit berwarna abu-abu penuh. Nyonya Gavrilovna seketika memeluk dirinya sendiri.

     "Apa kau ingin membunuh majikanmu, perempuan bodoh?! Tutup kembali jendelanya! Dan, hei, mana samovar-ku?!"

     Nastya menghela napas sementara tangan kecilnya menutup kembali daun jendela. Meski setiap hari diperlakukan sedimikian rupa yang seharusnya membuat dirinya terbiasa, tapi pada kenyataannya beberapa kali Nastya harus menyusun kembali kesabarannya. Pada akhirnya ia hanya bisa mengumpat dalam batinnya, mengatai si nyonya tua sebagai penyihir, lalu membungkuk, berlari ke dapur, dan kembali ke kamar si nyonya dengan membawa samovar yang mendidih. Dan ketika ia akan kembali untuk mengurus daging-dagingnya di dapur, Nyonya Gavrilovna menahan langkahnya untuk membacakan buku.

     Nastya menghampiri rak dan mengambil sebuah buku karangan Pushkin yang dikirim oleh anak semata wayang Nyonya Gavrilovna, Aleksey Petrovich, dari kota P. Ia duduk di samping kursi majikannya, di atas hamparan permadani Persia yang terbuat dari bulu domba terbaik. Dibukanya halaman buku dengan perlahan lalu membacakan cerita berjudul "Putri Sang Kapten". Pada saat seperti itu, Nyonya Gavrilovna memiliki kebiasaan mengomentari para tokoh cerita yang menurutnya tidak sesuai dengan nilai-nilai yang ada di kepalanya. Seperti sekarang, misalnya, ketika Nastya sampai pada penghujung bagian pertama cerita, di mana Peter Andreivitch terlibat utang dengan Zourin, si nyonya memotong bacaan pelayannya itu dengan komentar tajam yang penuh hardikan.

     "Anak muda bodoh! Apa yang ia pikirkan dengan mabuk dan berjudi?" pada saat seperti ini, Nastya akan berhenti membaca dan menunggu mulut si nyonya tertutup dalam diam. "Ia benar-benar telah durhaka kepada orang tuanya. Apa ia tidak berpikir kalau usia ayah dan ibunya setiap hari diminum oleh maut? Berbicaralah, Nastya! Mengapa kau diam saja? Apa kau bisu, hah?! Mengapa kau tidak menanggapi ucapanku?"

     "Maafkan saya, Nyonya," suara Nastya rendah. "Bagaimana saya harus memberikan tanggapan, sementara apa yang telah Anda katakan adalah sebuah kebenaran?" Nastya menelan ludah pada kata terkahir kalimatnya.

     "Ya, ya, ya," gerutu Nyonya Gavrilovna sembari membenarkan posisi duduknya. "Kau memang tidak bisa berpikir, Nastya. Yang ada di dalam otakmu hanyalah timun dan jamur. Kau memang perempuan bodoh."

     Nastya melanjutkan membaca setelah Nyonya Gavrilovna selesai memakinya. Si nyonya mendengarkan dengan kepala mendongak ke langit-langit. Ketika Nastya sampai pada bagian kedua dari cerita itu, sebuah teriakan tiba-tiba melayang dari pintu utama ke kamar si nyonya.

     "Aiih, kukira aku memiliki sepuluh pelayan rumah. Tapi ke mana saja mereka itu? Dan apa kau tuli, Nastya? Cepat bukakan pintu dan lihat siapa yang datang!"

     Nastya menuruti perintah Nyonya Gavrilovna. Ia letakkan buku dari tangannya ke sebuah meja kayu kecil dan segera pergi ke pintu utama. Saat ia membukakan pintu untuk si tamu, Nastya menemukan Nijinsky berdiri dengan tangan membawa wadah berisi timun-timun segar.

     "Oh, Nijinsky! Kau tidak menyerahkannya kepada Bazarov?"

     "Aku sengaja tidak memeberikan daging ini kepadanya agar bisa bertemu denganmu, Masha." Nijinsky lantas mencium pipi Nastya.

     "Tapi ini bukan waktu yang tepat untuk membuat pertemuan. Aku sedang membacakan buku untuk Nyonya Gavrilovna."

     "Ya, aku tahu, Nastya. Aku tidak akan lama dan bersabarlah untukku sebentar. Nanti malam, Yakov akan mengadakan pesta mazurka terakhir sebelum musim dingin datang. Ini akan lebih meriah dari yang pernah kita datangi sebelumnya. Maukah kau malam ini pergi ke sana bersamaku?"

     "Oh, mazurka terakhir. Kedengarannya malam ini pun akan menjadi pertemuan terakhir kita, Nijinsky. Bukankah begitu?"

     "Aku sedih untuk mengatakannya, Nastya. Mungkin, kita tidak akan bertemu sampai musim dingin berakhir."

     Nastya tercenung beberapa saat setelah mendengar ucapan kekasihnya. Ada kesedihan mengambang di kedua matanya yang hijau.

     "Kalau begitu kita ke rumah Yakov malam ini."

     "Oh, benarkah, Nastya?" pekik Nijinsky diliputi suka-cita. Kedua matanya mengembang seperti mata seekor anak kucing.

     "Ya, demi Jumat Kudus," Nastya bersumpah. "Aku akan berdandan yang terbaik untukmu," sebuah senyum menggoda mekar di bibirnya.

     Melihat bibir mungil kekasihnya yang ranum seperti buah ceri, Nijinsky meletakkan wadah berisi timun lalu mencium Nastya seperti sepasang burung kenari di ranting-ranting pohon birch saat musim semi. Saat pak tua Bazarov—penjaga gerbang—tak sengaja melihat sepasang kekasih yang saling bertukar bibir itu, ia bergumam kepada dirinya sendiri, “aaaah anak muda.”

     Setelah selesai dari ciuman yang panjang, Nastya segera meminta Nijinsky untuk undur diri karena tak ingin Nyonya Gavrilovna menaruh curiga padanya dan akhirnya mengetahui hubungan rahasia mereka. Nastya lantas menutup kembali pintu kemudian membawa timun-timun itu ke dapur dan menyerahkannya kepada Liza. Ia lalu kembali kepada Nyonya Gavrilovna yang rupanya sudah beranjak dari kursi dan kini berbaring di atas tempat tidur.

     "Siapa yang datang, Nastya?"

     "Nijinsky, Nyonya," jawab Nastya dengan suara gemetar. "Ia mengantarkan timun yang dipesan Liza."

    "Oh, anak muda tampan nan malang itu rupanya. Kalau saja dia seorang perwira atau anak tuan tanah, tentu para gadis akan berebut untuk mengajaknya berdansa. Sayang sekali dia anak seorang petani. Ketampanan tidak akan cukup untuk membuat lelaki menempati kelas sosial yang tinggi. Apa kau menyukainya, Nastya? Kulihat pipimu memerah."

     "Tentu saja tidak, Nyonya," Nastya berbohong. "Bukankah Anda melarang saya behubungan dengan para lelaki kecuali Bazarov dan Laptev si pengurus kuda-kuda Anda?"

     "Baguslah kalau begitu. Aku tidak ingin kau menikah, Nastya. Meski kau bodoh, tapi kau harus tetap tinggal di sini untuk menebus kesalahan ayahmu. Sekarang, lanjutkan pekerjaanmu!"

***

     Tunik terbaik. Penutup kepala berwarna abu-abu. Sebuah gelang murahan. Sedikit pupur. Nastya telah menyiapkan benda-benda itu di atas meja kamarnya. Malam ini ia ingin berpenampilan menawan dalam pertemuan terakhirnya—yang sementara—dengan Nijinsky. Ia dan kekasihnya akan menghabiskan malam dengan mazurka dan pelukan-ciuman panjang yang ia pikir seluruh bintang di langit akan iri kepadanya. Tetapi, ketika ia baru saja melepaskan baju untuk berganti tunik, Nyonya Gavrilovna yang sebelumnya telah berbaring di atas ranjang tidur memanggilnya secara tiba-tiba.

     "Nastya, nyalakan kembali lilin!"

     Nastya mengenakan kembali bajunya dan segera pergi ke kamar si nyonya.

     "Anda belum tidur, Nyonya?" Nastya menyalakan lilin.

     "Aku membenci insomnia seperti mengutuk para tuan tanah yang mengikuti mode Inggris. Duduklah dan bacakan buku, Nastya!"

     Perasaan risau kini mengganggu dada Nastya. Jam sudah berdentang sebelas kali. Nastya membayangkan Nijinsky sedang menunggunya dengan melawan udara dingin di bawah pohon ceri. Tapi tidak ada yang bisa dilakukan Nastya selain menuruti perintah majikannya. Ia mengambil buku Pushkin yang dibacanya siang tadi dan meneruskan halamannya dalam remang cahaya lilin. Nastya membaca cerita dengan pikiran melompat-lompat seperti seekor kodok. Seharusnya ia sudah berdandan. Seharusnya ia sekarang berjalan dalam pelukan kekasihnya. Seharusnya ia sedang dalam keriangan menyambut mazurka. Seharusnya bibirnya sudah basah oleh ciuman Nijinsky.

     Nastya menghabiskan tiga puluh puluh halaman cerita. Matanya kini berayun-ayun sementara mulutnya berusaha tetap bersuara. Persiapan musim dingin rupanya banyak menguras tenaga tubuh kecilnya. Ia ingin tertidur, tapi majikannya masih meracau. Maka ia terus membaca, tapi kini dengan suara yang semakin pelan. Dan ketika sedang berusaha mempertahankan kesadarannya, Nastya tiba-tiba melihat dirinya muncul dalam bayangan lilin. Pada siluet yang timbul di permukaan dinding, ia melihat sendiri sedang berada di dalam sebuah menara dan seorang penyihir, yang memiliki wajah seperti Nyony Gavrilovna, ingin mengambil jiwanya untuk membuat ramuan awet muda.

     "Kau tidak bisa lari, Nastya," ujar si penyihir. "Serahkan jiwamu, anak manis!"

     Nastya melihat dirinya menjauhi si penyihir dan merapat ke dinding menara. Ia menangis dan meminta belas kasih dari si penyihir, tapi perempuan tua berwajah hancur itu tetap menodongkan ujung tongkat yang runcing kepadanya. Dan ketika si penyihir hendak menghunjamkan tongkatnya, Nastya tiba-tiba mendapat sebuah keberanian gaib. Ia menendang si penyihir hingga perempuan tua itu terjatuh dan tongkat saktinya terpelanting. Nastya lalu mengambil tongkat yang tergeletak tidak jauh darinya dan segera menghunjamkannya ke dada si penyihir. Darah hitam si penyihir membuncah. Rupanya perempuan pemakan jiwa para putri itu takluk oleh tongkatnya sendiri. Tapi, rupanya, si penyihir yang sudah mati oleh senjatanya sendiri tiba-tiba hidup kembali meski sepenuhnya telah ringkih.

     "Kau tidak bisa membunuhku, Nastya. Kau tidak bisa lari dariku."

     Nastya menghunjamkan kembali tongkat di tangannya kepada si penyihir. Penyehir itu mati dan sejenak kemudian hidup kembali. Nastya menusuknya lagi dan lagi, tapi si penyihir yang ingin memakan jiwanya rupanya telah bersekutu dengan maut dan tak bisa ia bunuh. Lalu bayangan itu lenyap. Lilin sudah mati dan ruangan sepenuhnya gelap. Tak ada suara-suara lagi yang didengar Nastya selain keheningan dan sunyi yang nyaring.

     "Apakah aku bermimpi buruk?" batin Nastya. "Oh, syukurlah, akhirnya kau tertidur juga, nyonya tua. Sekarang aku bisa pergi ke rumah Yakov. Tapi, jam berapa sekarang?"

     Nastya menghidu aroma yang aneh. Namun, ketika ia ingin memastikan bau apakah yang menguar itu, ia segera tebayang tubuh kekasihnya mengigigil di bawah pohon ceri. Ia lalu meletakkan bukunya dengan pelan. Dinyalakannya sebatang lilin lagi dan dengan jingkat kakinya yang kecil, ia keluar dari kamar Nyonya Gavrilovna dan menghampiri jam yang sudah menunjuk angka satu. Nastya segera berlari ke halaman dan menemukan sebuah lentera masih menyala di bawah pohon ceri di seberang jalan. Ia lekas membangunkan pak tua Bazarov untuk membukakan pintu gerbang, menjanjikan sepuluh kopek, lalu menghampiri Nijinsky yang masih menunggunya.

     "Akhirnya kau datang juga, Masha," Nijinsky merengkuh tubuh kekasihnya.

     "Limpahkanlah belas kasihmu, Nijinsky. Aku baru saja dalam kekuasaan Nyonya Gavrilovna yang sedang mengalami insomnia."

     "Aku mengerti keadaanmu. Jangan salahkan dirimu seperti itu."

     "Tapi, aku tertidur. Kau harus menghukumku yang membiarkanmu menunggu dan kedinginan."

     "Tidak masalah, Nastya. Tapi, jika kau menginginkan aku menghukummu, maka berdansalah denganku."

     "Kita ke rumah Yakov? Tidakkah mazurkanya sudah selesai?"

     "Pesta akan berlangsung hingga pagi."

    "Kalau begitu kita lekas ke sana. Oh, tapi lihatlah," Nastya memutar tubuhnya. "Aku tidak sempat berdandan untukmu. Bahkan aku memakai tunik yang buruk."

     "Itu bukan masalah, Nastya. Kau tetap cantik dalam pakaian apa pun.”

     Nijinsky meraih tangan Nastya. Dan ketika cahaya lentera yang dibawanya menyinari tangan Nastya, ia melihat noda darah di permukaan kulit pualam kekasihnya itu.

     "Tanganmu berdarah, Nastya!"

    "Benarkah?" Nastya mengamati tangannya dengan saksama. "Mungkin ini darah nyamuk raksasa, atau, mungkin tergores saat aku buru-buru menemui Bazarov. Atau, aku tidak tahu."

     "Tidakkah itu sakit?"

     "Bahkan nyeri pun, tidak. Ayolah, Nijinsky, mari kita ke rumah Yakov dan menghabiskan malam dengan mazurka."

     Mereka lalu pergi menembus malam melalui sebuah setapak, berjalan bersejajar dalam pelukan yang permai melewati pohon-pohon birch yang sedang menggugurkan diri. Pada saat itu Nastya merasakan sesuatu di dalam saku tuniknya. Ia lalu melepaskan pelukan sejenak. Dan ketika tangannya meraba tunik dari luar, ia menemukan sebilah pisau yang perlahan-lahan terasa basah dalam genggamannya.(*)

 

*Mazurka : sebuah tarian

*Samovar : teko besar untuk teh khas Rusia

Ikuti tulisan menarik Rosyid H. Dimas lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu