Suara Malaikat
Senin, 6 Desember 2021 06:38 WIB
“Jangan lakukan, itu tidak benar!” Sebentuk suara terdengar begitu jelas. Suara yang mirip dengan suaranya sendiri. “Ah lantas aku harus bagaimana? Kau hanya tau benar dan salah. Kau tak tau bagaimana rasanya lapar kan?” tanyanya lagi. “Catatlah ini satu dosa lagi untuk hari ini. Sungguh aku tak lagi peduli. Aku lapar, istriku lapar, bayiku kelaparan,” lanjutnya ketus. “Tapi ini tidak benar. Lihatlah dia hanya orang tua, usianya bisa jadi seperti ayahmu saat ini. Dia akan terlalu lemah untuk melawanmu. Dan kau tau bagaimana kelak kau di neraka kelak?” bentak suara itu. “Arrrrrgh diamlah kau!!!!!! Kau tak tahu rasanya jadi manusia!!! Jika saja aku boleh memilih, tentu aku akan memilih menjadi sepertimu. Hadir tanpa nafsu dunia, tanpa ambisi. Lantas pernahkah kau berpikir untuk menjadi aku yang seorang manusia?”
“Jangan lakukan, itu tidak benar!”
Sebentuk suara terdengar begitu jelas. Suara yang mirip dengan suaranya sendiri.
“Ah lantas aku harus bagaimana? Kau hanya tau benar dan salah. Kau tak tau bagaimana rasanya lapar kan?” tanyanya lagi.
“Catatlah ini satu dosa lagi untuk hari ini. Sungguh aku tak lagi peduli. Aku lapar, istriku lapar, bayiku kelaparan,” lanjutnya ketus.
“Tapi ini tidak benar. Lihatlah dia hanya orang tua, usianya bisa jadi seperti ayahmu saat ini. Dia akan terlalu lemah untuk melawanmu. Dan kau tau bagaimana kelak kau di neraka kelak?” bentak suara itu.
“Arrrrrgh diamlah kau!!!!!! Kau tak tahu rasanya jadi manusia!!! Jika saja aku boleh memilih, tentu aku akan memilih menjadi sepertimu. Hadir tanpa nafsu dunia, tanpa ambisi. Lantas pernahkah kau berpikir untuk menjadi aku yang seorang manusia?”
Pertanyaannya tidak mendapat jawaban.
“Haloooo, apa kau mendengarku???”
Tak ada sahutan.
“Malaikat, apa kau sekarang juga pergi meninggalkanku?”
Mendadak sekelilingnya hening.
“Maafkan aku Pak, sungguh keluargaku kelaparan.”
Rasyid membopong sebuah sepeda keranjang. Baginya saat ini tak ada pilihan lain. Keluarganya benar-benar membutuhkan makan.
---------------------------------------------------------
“Dek, ini uang untuk kau belikan makanan,” ucap Rasyid kepada istrinya yang tengah berbadan dua.
“Alhamdulillah..Darimana uang itu Mas?”
“Dari kemarin-kemarin Mas ikut Pak Bekti membetulkan rumah seseorang. Upahnya baru dibayar tadi,” ucap Rasyid berbohong.
“Oh,” istri Rasyid menanggapi tanpa rasa curiga sedikit pun.
Bagi Menik, Rasyid yang seorang lulusan pesantren tak akan mungkin berbohong.
---------------------------------------------------------
“Mas, Mas Rasyid saja yang jadi Imam,” ujar seorang warga yang mengikuti jamaah sholat shubuh.
“Ah jangan saya Pak Faiz. Suara saya sedang serak. Uhuk uhuk..” lagi-lagi Rasyid berbohong.
“Waduh, jangan-jangan… kalau tidak enak badan, jangan ke masjid Mas,” saran Pak Faiz.
“Ah iya ya Pak. Kalau begitu saya pamit dulu Pak. Uhuk uhuk,”
Rasyid melangkahkankan kakinya keluar masjid.
Namun setelah yakin sholat jamaah dimulai, Rasyid membalikkan langkahnya. Dengan gerak kaki yang sangat berhati-hati, Rasyid mengambil sebuah kotak yang tergeletak di bagian belakang ruangan. Dibukanya dengan kunci yang memang dipercayakan kepada Rasyid.
Ketika membuka isinya, Rasyid menyeringai.
Sebelum uang dari kotak amal dimasukkan ke dalam plastik, Rasyid sempat mematung, heran pada dirinya sendiri karena begitu mudah mendapat uang. Pikirannya tak lagi diganggu. Tak ada lagi suara yang menahannya. Rasyid merasa menang.
---------------------------------------------------------
“Apa sesusah itu untuk tidak melakukan hal-hal yang dilarang Tuhan?”
“Teriakanku tak lagi didengar. Setuli itukah telinganya?”
Ia, Cahya, berdiri tak jauh dari Rasyid yang sedang berupaya membuka kunci kotak amal.
Cahya memalingkan wajahnya ketika Rasyid memasukkan sejumlah uang ke dalam plastik.
“Sadarlah Rasyid, perbuatanmu sudah keterluan!!!!”
Sesaat Cahya merasa yakin Rasyid melihat kearahnya.
Tidak, ternyata teriakan Cahya benar-benar tak lagi didengar.
“Ketika dia sudah mengabaikan suara kebaikan, maka kekuatan gelap yang akan menggantikan mata batinnya,” ucap sosok bersayap yang ada di sebelah kiri Rasyid.
“Tolonglah, cegah dia! Sungguh dia orang baik. Dia hanya lapar, istrinya perlu makan, lebih-lebih bayinya. Bisakah tak kau catat perbuatannya kali ini,” Cahya mengiba, memohon bahkan berusaha mendekati sosok bersayap putih, namun entah kenapa tubuhnya terpental.
Cahya merintih. Dimensi mereka berbeda.
“Rasyid sudah tahu bagaimana Tuhan tidak akan pernah menguji hambanya melebihi kemampuannya. Bertahun-tahun dia membaca ayat itu bahkan sempat menebarkannya. Dia lebih mampu daripada yang dia kira jika saja dia bersabar. Maaf, aku hanya menjalankan perintahNya. Bantulah dia sebelum terlambat,” sosok bersayap itu mengeluarkan sebuah buku dan mulai menulis dengan pena bulu angsanya.
Cahaya merah api keluar dari buku catatan itu. Cahya menangis. Rasyid tidak boleh masuk neraka. Cahya berpikir keras agar Rasyid bisa mendengarkan dirinya untuk kembali ke jalan yang benar.
---------------------------------------------------------
Rasyid mengamati rumah berpagar kayu selama seminggu. Rumah itu adalah rumah kos-kosan. Banyak pengemudi online keluar masuk untuk mengirim makanan. Sebentuk rencana jahat sudah ia persiapkan bukan tanpa alasan. Menik sebentar lagi akan melahirkan. Rasyid butuh uang untuk menyambuat anak pertamanya.
Seorang laki-laki berjaket hijau terlihat celingukan di depan pagar rumah tampak kebingungan.
“Cari siapa mas?”
“Ini mau anter pesanan kak Dimas. Saya telepon dari tadi enggak diangkat,” jawab laki-laki itu.
“Oh ya sudah. Biar saya anter. Saya yang jaga kos-kosan ini. mungkin mas Dimas di kamar mandi,”
Rasyid semakin mahir berbohong bahkan sama sekali tanpa merasa bersalah.
“Rasyid hentikan rencana jahatmu!!”
Cahya meneriaki Rasyid dibelakangnya.
“Rasyid hentikan!”
“Rasyid berhentilah berbuat jahat!”
“Rasyid pikirkan nanti anakmu kelak mengingatmu!”
Jantung Rasyid berdegup kencang.
Sembari membawa bungkusan makanan, Rasyid dengan leluasa mengamati bagian dalam rumah kos-kosan hingga dia melihat satu pintu terbuka. Rasyid mengintip bagian dalam kamar yang tak berpenghuni. Rasyid berjalan penuh percaya diri. Sejauh ini rencananya sangat dimudahkan.
Rasyid menengok kanan kiri untuk memastikan keadaan. Setelah dirasa aman, Rasyid pun tanpa ragu menggasak laptop dari kamar. Sebelum Rasyid keluar, pandangan matanya tertuju pada foto yang terpampang di meja. Foto yang Rasyid duga adalah foto sang pemilik laptop bersama orangtuanya.
“Esok, kau akan ku sekolahkan setinggi kakak ini Nak,” ucap Rasyid berandai-andai.
“Letakkan kembali laptop itu!”
Suara itu membuat Rasyid terkejut.
Dilihatnya disekeliling kamar tidak ada siapapun.
“Kembalikan barang yang bukan hakmu!Sadarlah Rasyid!”
Rasyid panik. Dipejamkannya matanya. Suara itu, suara yang Rasyid anggap suara malaikat kembali didengarnya.
Kali ini Cahya dengan segenap kekuatannya mencoba menghentikan tindakan jahat Rasyid. Cahya berteriak sangat lantang agar Rasyid mendengarnya.
Tak berselang lama sosok bersayap mendadak hadir disebelah Rasyid dengan membawa kembali buku catatan hitam.
“Tunggu, jangan engkau catat dulu. Aku pasti bisa menyadarkan Rasyid,” pinta Cahya.
“Sudah jelas dia membawa barang yang bukan miliknya,” jawab sosok bersayap itu.
“Aku mohon, tunggulah…”
Sementara keduanya bersitegang, Rasyid berjalan keluar dari kamar dengan membawa laptop.
“Woi!!MALIIIING!!!”
Suara yang Rasyid dengar kali ini bukan suaranya sendiri, tapi dari seorang pemuda yang memergoki perbuatan Rasyid.
“Cegah dia keluar!” seseorang meneriaki.
Teriakan dari pemuda itu bak komando yang menggerakan beberapa penghuni kos-kosan . Rasyid merasa terkepung. Meski Rasyid pernah belajar ilmu bela diri, tentu bukan perkara mudah menghadapi anak-anak muda yang diradang emosi. Mereka menghadang Rasyid dengan membawa benda-benda sekitar yang siap dihantamkan ke tubuh Rasyid jika dia tidak menyerah dengan mudah.
Rasyid mendekap laptop curiannya dengan erat. Rasyid menahan rasa sakit ketika kepalanya dihantam helm. Rasyid memfokuskan langkahnya mencari jalan keluar dari rumah kos-kosan dan membawa laptop dengan selamat.
Rasyid sedikit lega ketika kakinya sudah berhasil melewati pagar coklat, namun Rasyid tidak menyadari bahwa sang pemilik laptop dengan gesit melompati pagar dengan membawa sebilah kayu. Sang pemilik memukul Rasyid tepat di punggungnya.
“Ampun Mas,” Rasyid mengiba.
“Maling kamu!”
“Maaf Mas. Istri saya akan melahirkan. Saya tidak punya uang,” tangis Rasyid pecah.
“Ah bohong kamu!!”
Emosi para pemuda itu tak terbendung.
“Tidak Mas. Saya tidak…”
Tubuh Rasyid roboh sebelum dia berhasil menyelesaikan kalimatnya.
---------------------------------------------------------
“Rasyid, bertobatlah,” Cahya berbisik lembut di samping Rasyid.
Rasyid baru menyadari betapa tenangnya suara itu. Andai dia menuruti suara itu sedari awal, keadaannya tidak akan menyedihkan seperti saat ini.
“Mas, kenapa kau sampai mencuri?” Menik menangis tersedu-sedu sambil memegang perutnya yang menegang.
Kepala Rasyid terasa sakit. Punggungnya seakan remuk. Tiba-tiba dada Rasyid terasa sesak. Nafasnya terengah, dia kesulitan bernafas.
“Mas!Mas!kenapa?Dokter, Suster!” Rasyid mendengar Menik berteriak.
“Rasyid, istighfar Rasyid!” Rasyid mendengar suara Cahya meninggi.
“As…”Rasyid berusaha berucap.
“Cepat Rasyid, istighfar, sebut nama-nama Allah”
“Cepatlah, Rasyid!”
“Cepat ambil defribilator!!” tegas seorang Dokter.
“Asta..” Rasyid merasa nafasnya tercekat.
Dari sudut ruangan, Cahya melihat sosok bersayap. Kali ini tidak satu tapi dua. Sosok yang bersayap hitam mendekat kearah Rasyid, sementara sosok pembawa buku catatan tetap diam ditempatnya, tengah bersiap mencatat dengan pena bulu angsanya.
“Rasyid, istighfar Rasyid!Bertobatlah sekarang sebelum terlambat!” Cahya berlinang air mata.
---------------------------------------------------------

Penulis Indonesiana
0 Pengikut

Suara Malaikat
Senin, 6 Desember 2021 06:38 WIB
Jatuh Tempo
Selasa, 30 November 2021 13:30 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler