x

Iklan

Muhamad Patli

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 9 November 2021

Rabu, 8 Desember 2021 07:51 WIB

Selamat Tinggal Tuhan, Aku Perempuan Merdeka!

Selamat Tinggal Tuhan, Aku Perempuan Merdeka !, adalah kisah nyata dari seorang perempuan yang berjuang untuk menulis ceritanya. yang berjuang melawan adat istiadat yang mengekang, serta ketidakdilan terhadap perempuan. “Berhentilah menangis yati, dinegeri ini takdirmu tidak dapat ditukar dengan air mata. Masalah mu tidak kemudian selesai saat kamu menangis. Selamanya air mata kita sebagai perempuan tidak punya harga.” Tegas Puan syarifah

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pulau Midai, Desember 1967

Hidup dan tumbuh diperbatasan membuat banyak perempuan harus terkurung dalam tempurung budaya yang membatasi ruang gerak perempuan sehingga tak sebebas kaum laki - laki. Meski perkembangan zaman terus menyetarakan kedudukan perempuan dan laki – laki tapi ada banyak luka dari masa lalu yang terus membekas. Rudiyati Pang Khailani, Perempuan kelahiran 1960 ini, dilahirkan di sebuah pulau terpencil di ujung utara Indonesia, Pulau Tujuh atau sekarang di kenal dengan nama Natuna. Kebudayaan leluhur telah membunuh mimpi gadis yang kerap disapa Yati tersebut. Luka pertamanya harus ia rasakan bahkan saat hari pertama ia lahir kedunia, suara  tangis pertamanya bukan hanya menjadi tanda kehidupannya dimulai, tapi sekaligus sebagai salam perpisahaan karena ibunya berpulang kehadapan Allah untuk selamanya.

Hidup dengan orang tua tunggal yang sangat keras dan disiplin membuat yati tumbuh menjadi perempuan yang sangat tangguh, meskipun kehidupan selalu tidak berpihak padanya. Tapi yati tidak pernah memutuskan untuk menyerah, sejak usianya tujuh tahun yati sudah memahami lahir sebagai perempuan adalah kesulitan terbesar dalam hidupnya. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

“ Engku (panggilan untuk seorang ayah), tahun depan yati sudah 7 tahun yati hendak sekolah seperti teman teman” ucap yati ketika ayahnya baru sampai di bibir pantai setelah menjaring ikan.


“ Yati, anak perempuan tidak perlu sekolah. Kalian hanya perlu belajar agama dan mengerjakan pekerjaan dapur” balas Ayahnya ketus sambil mengangkat ember yang berisi ikan penuh.


“Tapi yati ingin sekolah engku, yati hendak menjadi guru” desak yati meyakinkan ayahnya.
“Kalau Engku bilang tidak, artinya tidak” bentak ayahnya.

Yati hanya bisa terdiam, ada banyak kalimat tanya yang belum selesai didalam benaknya. Sesederhana kenapa kedudukan perempuan harus dibedakan, lalu mengapa perempuan harus menjadi tokoh lemah dalam kehidupan manusia. Sejak kecil yati sudah memikirkannya akankah dimasa depan kesetaraan dapat terwujud, akankah kebebasan perempuan dalam memilih hidupnya dengan rasa bebas dapat menjadi kenyataan. 

“Yati, apa yang sedang yati lakukan disini ?, Kenapa yati menangis” Sapa Seorang prempuan muda yang menggunakan selenda putih.


“Puan Syarifah, tidak apa apa puan. Yati hanya sedih dimarahi ayah” Balas yati sambil mengusap airmatanya. Syarifah adalah satu satunya guru perempuan di desa tersebut. (Puan adalah panggilan untuk seorang perempuan muda atau kakak).


“Kenapa Yati bersedih, mari sini cerita ke puan” Ucap Syarifah sambil memeluk yati dan mengajak yati duduk dipangkuannya.


“Puan Syarifah, mengapa perempuan tidak boleh bersekolah. Yati hendak bersekolah supaya bisa menjadi guru seperti Puan Syarifah” tanya yati.


“Yati dalam hidup kita tidak sendiri, kita akan selalu terbentur dengan orang lain, adat istiadat yang diwarisi leluhur kita ribuan tahun lalu bahkan kadang kita terbentur dengan diri kita sendiri” Jawab Puan Syarifah dengan lembut.


“Apakah sesulit itu menjadi wanita di negeri ini” tanya yati putus asa.
“Yati dalam hidup ada batas yang memang seharusnya tidak dilanggar, batas batas yang harus di hormati. Tapi jika yati ingin melampai batas itu hati mu harus sekokoh baja. Bahkan untuk sampai pada titik ini puan sendiri telah melalui hal yang tidak mudah” cerita Puan Syarifah menyemangati Yati


“ Jadi Yati boleh menjadi Guru seperti puan Syarifah ?” sambut Yati dengan semangat.


“ Menjadi apapun Yati nanti, pilihlah jalan hidup Yati dengan rasa bebas karena Allah” balas puan syarifah memberikan pelukan hangat kepada yati.

Sejak hari itu yati semangat belajar meski tidak di izinkan sekolah oleh ayahnya, saat ayahnya pergi melaut Yati diam diam ke sekolah untuk belajar bersama Puan syarifah. Tapi mimpi Yati harus padam terkibas asa, karena Yati ketahuan oleh ayahnya dan tidak diperbolehkan pergi sekolah ataupun memenui puan syarifah secara diam diam. Sekuat apapun Yati melawan, keputusan sang Ayah harus di jalani. Namun Yati tidak memilih untuk menyesali takdirnya karena terlahir sebagai perempuan, ia tetap belajar ilmu agama disurau dekat rumah serta belajar memasak dengan sang nenek. Yati percaya pasti ada alasan mengapa Allah menciptakan beliau di dunia ini. 

Waktu terus bergerak menuju kemajuan peradaban manusia, yati kini tumbuh menjadi gadis remaja. Usianya 14 tahun saat itu, ia berfikir semakin dewasa dia akan berhak memilih dan menentukan jalan hidupnya sendiri, tapi yati salah kehidupan yati seutuhnya ada ditangan ayahnya. Termasuk ketika yati dipaksa menikah di usia 14 tahun oleh ayahnya.

“ Yati tidak akan menikah Engku” tangis  yati pecah sambil berlari kearah kamar.
“ Kamu mau jadi anak durhaka ?” teriak ayah yati sambil menampar yati
“Dalam hidup yati tidak sekalipun menentang dan menolak permintaan engku, yati patuh dan tunduk pada setiap perintah. Tapi kali ini saja, bolehkah yati diberikan kebebas untuk memilih bahagia yati sendiri. Bolehkah yati berjalan diatas kaki sendiri. Yati ingin hidup atas kemauan bukan dipilihkan”Jawab yati masih terisak bersimpuh di hadapan ayahnya.
“Tahu apa kamu soal kehidupan, yang pernah menentang kordatmu sebagai perempuan” jawab ayahnya dengan suara yang semakin meninggi.
“Sumpah demi Allah engkau bukan ayahku, seorang ayah tidak akan mengorbankan kebahagian anak perempuan hanya demi sebuah ego” jawab yati sambil berlari rumah.
“Yati mau kemana, yati kamu jadi anak durhaka” hardik ayah yati sambil membantik bakul nasi yang terletak di atas meja.

Tangis yati pecah di dipesisir pasir putih pantai pulau midai, lukanya tersayat irisan duka seiring angin utara yang membawa gulungan ombak besar ke bibir pantai. ia hanya tertunduk, harapanya padam terkibas asa. Ada banyak kalimat tanya yang tidak ia temukan jawabanya, termasuk sebatas inikah cerita serta alasan ia dilahirkan.

“ Harus berapa banyak air mata lagi yang jatuh yati” Sebuah suara memecah heningnya suasana senja itu.
“Puan Syarifah” Ucap yati sambil berlari memeluk puan Syarifah.

“Berhentilah menangis yati, dinegeri ini takdirmu tidak dapat ditukar dengan air mata. Masalah mu tidak kemudian selesai saat kamu menangis. Selamanya air mata kita sebagai perempuan tidak punya harga.” Tegas puan syarifah 
“Yati mau mati saja puan, yati sudah tidak kuat” jawab yati
“Tidak, kamu harus hidup !, jika pulau ini tidak memberimu kehidupan, maka pergilah dari pulau ini dan tuliskan ceritamu sendiri” jelas puan Syarifah.
“Kemana saya harus pergi puan, saya bahkan tidak tahu harus apa setelah ini” ucap yati putus asa.
“Nanti malam akan ada kapal tekong yang akan berangkat ke negeri seberang Malaysia, ikutlah dengan kapal terrsebut. Nanti sampai dipelabuhan tuan dollah akan menjemputmu. Mulailah hidupmu disana yati, ingat jika engkau ingin mengubah jalan cerita hatimu harus sekuat baja” ucap puan syarifah.

Matahari tenggelam diufuk barat, keputusan besar telah dibuat. Malam itu bersama kapal pompong yang belayar kenegeri seberang Malaysia,  yati berangkat dengan segala ketakutanya ia beranikan untuk mengubah jalan takdir. Dibawah bulan yang sedang penuh, airmatanya terus mengalir bersama hembusan angin membelai selendangnya. Ia bahkan tidak tahu harus memulainya darimana, usianya masih 14 tahun dan ia harus merantau menjadi TKW di Malaysia. Satu satunya yang ia yakini bahwa dia telah melewati sesuatu yang jauh lebih berat dari ini. Sesampainya dimalaysia Yati bekerja dengan sangat keras untuk mengubah hidupnya, meskipun tidak mudah namun tidak pernah yati menyerah. 

Tahun berganti, waktu tidak pernah menunggu, 10 tahun yati berjuang di negeri orang hingga kini ia tumbuh menjadi perempuan dewasa. Puluhan kali ia menulis surat untuk ayahnya, namun tidak pernah ia menerima balasan. Hingga suatu hari satu surat datang, tidak tergambarkan bahagianya yati setelah sepuluh tahun menunggu akhirnya ada satu surat yang datang padanya. Tapi bukan kabar bahagia yang datang, sebaliknya kabar duka bahwa ayahnya telah berpulang. Airmatanya terbendung diujung kelopak mata, harus berapa banyak kehilangan untuk mencapai kata bahagia. 


    Ditengah dukanya datanglah seorang lelaki yang melamarnya dan mengajaknya pulang ke Indonesia untuk memulai hidup baru. Yati akhirnya menikah, sesuatu yang tidak pernah ia bayangkan bahwa ia akan berkeluarga dan memiliki anak. Hidupnya kini bahagia yati di karunia 5 orang anak 4 lelaki dan 1 perempuan, yati hidup dengan sangat bahagia. Anak anaknya ia sekolahkan sampai kuliah dan memiliki pekerjaan yang bagus. Namun tampaknya sekenario Allah belum selesai, Yati tiba tiba diceraikan oleh suaminya karena suaminya menikah lagi dengan perempuan lain.

    Kali ini yati tidak menangis, perjalan hidup telah mengajarkan yati bahwa dunia tidak selalu berpihak kepada perempuan. Ia harus kuat dan berdiri di kakinya sendiri, ia tidak bisa memilih untuk menangisi takdir. Di usianya yang tidak lagi muda dan tidak memiliki pekerjaan yati tidak berhasil memenangkan hak asuh anaknya. Sehingga seluruh anaknya termasuk anak bungsu perempuanya harus ikut suaminya. Sejak hari itu yati kehilangan hidupnya, setiap harinya ia hanya duduk didepan pintu menunggu anaknya kembali, namun tidak pernah datang. Hingga sampai waktu terhenti, Yatipun abadi. Ia meninggal didepan pintu dalam keadaan menunggu anak anaknya kembali dengan sebuah tulisan di genggamannya “ Selamat Tinggal Tuhan, AKu Perempuan merdeka”. 

Ikuti tulisan menarik Muhamad Patli lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu