x

Iklan

Shanti Cahyanti Dewi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 7 Desember 2021

Rabu, 8 Desember 2021 10:23 WIB

Maantar Jujuran

Cerpen berjudul Maantar Jujuran ( mengantar mahar) berkisah tentang seorang dokter muda bernama Himawan yang memiliki saudara kembar perempuan dengan autisme. Harapannya untuk dapat menikah dengan gadis pujaannya diuji dengan pilihan dua kenyataan. Apakah calon istrinya Akan menerima keadaan Himawan yang memiliki saudara kembar autisme, atau justru sebaliknya, seperti yang dialami Himawan dengan dua kekasih sebelumnya. Cerita ini berlatar kebiasaan jelang pernikahan masyarakat Banjar, Kalimantan Selatan

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Diantara potongan senja kami bersemuka. Menyelesaikan topik pembicaraan yang tertunda. Tidak seperti di awal pertemuan kami yang begitu mulus terasa. Tertarik pada pandangan pertama. Aku langsung meminta nomor hp seorang gadis yang rela mengejarku di bawah matahari yang bersinar terik siang itu.

“ Kak.. tunggu…kak !,  ini kartunya…!”

Aku yang sudah beringsut dengan motorku meninggalkan anjungan tunai mandiri yang terletak di sebuah SPBU di utara kota Bandung, segera mematikan mesin motor, saat mendengar teriakan dari arah belakangku dan melihat seorang gadis berkucir kuda berkacamata yang mengejarku dengan nafas ngos-ngosan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

“ Ini tadi tertinggal di mesin ATM. Lupa ya kak…”

Akupun langsung mengucapkan berkali-kali kalimat terima kasih padanya. Dan bagaimana hingga akhirnya aku bisa dengan cepat mendapatkan nomor telepon genggamnya nya? Karena takdir Allah yang menghendaki tali sepatunya putus akibat terlalu heboh mengejarku. Dan sebagai tindakan balas budi sekaligus empati, aku membelikannya sepasang sandal jepit merek ternama dari minimarket yang terletak tak terlalu jauh dari lokasi pertemuan kami saat itu.

Sebelum bercerita tentang gadis berkacamata berkucir kuda yang menurutku sangat manis itu, aku terlebih dulu akan menceritakan jatidiriku. Namaku Himawan, seorang dokter muda yang sudah lebih dari tiga tahun mengabdi di sebuah rumah sakit daerah di kota kembang, sambil melanjutkan menuntut ilmu di program studi psikiatri di sebuah perguruan tinggi negeri di Bandung, kota tempat tinggalku saat ini.

Aku berkenalan dengan gadis yang se-suku denganku justru di tempat nun jauh dari kota kelahiranku Martapura. Aku dan Meylita, sama-sama memiliki darah Banjar. Ayah ibuku memang asli suku Banjar, sedangkan ayah Meylita merupakan pemuda asli Banjar yang saat itu merantau ke Bandung, dan berjodoh dengan ibunda Meylita, seorang mojang priangan asli dari kota yang berjuluk Paris Van Java ini.

Tak butuh waktu lama, kisah pertemuan tak sengaja di ATM SPBU setahun yang lalu itu berkembang menjadi kisah cinta antara seorang dosen ilmu politik dan seorang dokter muda. Saling pengertian sudah berhasil kami jalinkan. Komitmen pun sudah semakin aku jelaskan. Pada Meylita aku tetapkan, bahwa aku serius ingin menjadi pendampingnya.

Seminggu yang lalu, tradisi adat Banjar Badatang pun sudah keluargaku jalankan. Dalam tradisi masyarakat Banjar, Badatang merupakan prosesi mengenalkan keluargaku dan keluarga gadis pujaanku. Mamakku yang sudah ditinggal wafat oleh Abah lima tahun yang lalu, jauh-jauh datang dari Martapura ke Bandung, khusus untuk Badatang kepada keluarga Meylita.

Semua berjalan begitu mulus, hingga akhirnya, ganjalan semakin berat kurasakan, dan mau tak mau harus berhasil kusingkirkan apapun itu caranya,  ketika harus menjalankan tradisi berikutnya yaitu Maantar Jujuran yang merupakan tradisi pertemuan keluarga setelah Badatang, dimana pertemuan itu bertujuan untuk membahas tentang jumlah jujuran (mahar) dan biaya pernikahan yang akan diserahkan calon suami kepada calon istri.

“Percayalah kak…aku dan keluargaku tak akan mempermasalahkan berapapun jumlah jujuran (mahar) yang akan kakak dan keluarga berikan. Karena junjunganku Baginda Rasulullah juga menyabdakan agar pernikahan itu hendaknya tidak dipersulit dengan mahalnya harga mahar. Apalagi sebaik-baik perempuan adalah yang paling tidak memberatkan maharnya pada calon suaminya…”

Gadis berkacamata kesayanganku ini terlihat duduk disampingku sambil sibuk merapikan anak rambut yang tersembul dari balik kerudungnya. Meylita ku terlihat berlipat kali kemanisannya setelah bulan lalu memutuskan untuk berhijab. Pintu pengertian dari calon istriku telah terbuka, dia memahami kondisi ekonomi calon suaminya yang belum terlalu mapan. Meylita memang putri tunggal dari orangtua yang sangat berkecukupan. Wajar bila aku sangat khawatir tentang jumlah permintaan Jujuran dari orangtuanya.

***

“Jadi, kapan aku bisa bertemu dik Herlina…? Bagaimanapun itu adik kembarmu kak. Aku tak bersedia untuk melaksanakan Maantar Jujuran bila belum bertemu dengannya”

Lagi-lagi itu yang menjadi permintaannya sejak beberapa bulan yang lalu. Dan alasanku tetap sama, adik kembarku belum bisa kukenalkan padanya, masih belum sempat, sakit, dan alasan klise lainnya, sehingga aku semakin sulit untuk berkelit,. Yang pasti, perbincangan kami kali ini lagi-lagi masih sama seperti hari kemarin. Mentah, ibarat telur ayam yang baru tiga hari dierami induknya.

Sisa gerimis masih terasa dari rerumputan yang tumbuh subur di halaman depan rumah kontrakanku. Didalam bingkai senja saat itu, kulihat pula Mamak yang sedang duduk termnenung di teras, bertemankan secangkir teh daun mint kesukaannya, beserta kudapan manis kue ranggai, oleh-oleh beliau dari kampung halaman.

Aku berusaha menemani Mamak dalam satu bingkai senja  hari ini.

“Kapan Meylita akan kita ajak ke Martapura ?” tanya Mamak pelan, “Herlina harus dikenalkan pada Meylita sebelum acara Maantar Jujuran bulan depan”

“Belum tahu Mak, aku masih sibuk di rumah sakit sampai akhir bulan” jawabku

“Sebegitu sulitkah menyisakan waktu Him…, sedikit saja sisa dari waktu sibukmu. Ongkos pesawat juga Mamak sudah siapkan untukmu”

“Him mengerti Mamak, tapi memang benar-benar padat kesibukan Him saat ini…”

“Jangan mengatakan cukup dengan video call lagi Him… kamu sendiri tahu jawabannya”

Belum sempat aku meneruskan bicara, Mamak seolah mampu menerka kalimat apa yang akan keluar dari mulutku berikutnya, dan langsung memotongnya.

Setelah itu mamak segera bangkit dari kursinya, dan masuk kedalam rumah. Meninggalkanku yang tak sanggup menemukan kunci mulutku. Selalu itu yang terjadi padaku bila mamak sedang tak terima. Dan aku setengah mati takut dibuatnya.

***

 

“Insyaa Allah besok kita berangkat dengan penerbangan paling pagi ya…”

Meylita mengangguk dengan semangat. Senyumnya mengembang dengan semarak.

“Aku sudah bawakan oleh-oleh untuk dik Herlina, ini… cookies buatan mama, lumayan buat dia ngemil sambil kita nanti jalan-jalan ke sungai Barito atau belanja di pasar apung ya kak…“ ucapnya riang.

Pagi harinya kami sudah berada di bandara. Wajah kedua perempuan tercintaku sumringah luar biasa. Calon istriku selalu berada disisi mamak, bahagia  terpancar dari seri wajahnya. Mamakku pun sungguh berbahagia dengan keputusanku, meski tak tahu apa yang akan terjadi setelah ini.

“Yang penting Meylita bertemu dengan Herlina…” ucap Mamak padaku tadi malam.

Penerbangan dua jam lebih terasa begitu singkat bagiku. Namun sejujurnya, meskipun teramat rindu akan ketenangan kota santri yang terkenal juga sebagai penghasil intan terbaik seantero negeri ini, kecemasan terus mengusik hatiku.

Di bandara, Abin sepupuku telah menunggu kami. Tak ada istilah ngaret baginya. Dia sudah menunggu kami sejak satu jam yang lalu. Dengan sigap semua barang bawaan kami diangkutnya menuju mobil.

“Alhamdulillah…Abin memang selalu bisa Ua andalkan, bagaimana dengan Herlina dan istrimu Bin…”

“Alhamdulillah kami baik-baik Ua. Hanya saja kemarin Herlina sempat ngambek seharian dan ngga mau makan”

“Oh…mungkin karena sudah rindu Mamaknya…” Mamak menjawab santai

Aku yang duduk disamping kursi supir, tak hendak menerka bagaimana ekspresi wajah Meylita setelah mendengar jawaban Abin atas pertanyaan mamak tadi. Calon istriku duduk dibelakangku di samping Mamak.

Kami mengantar Meylita dulu ke penginapan kecil milik Amangku, adik lelaki mamak yang berlokasi di dekat Masjid Agung Al Karomah yang menjadi ikon masjid besar di Kalimantan Selatan.

“Kenapa dik Herlina suka mengambek kak…, bukankah dia seusia kak Him ?” tanya Meylita padaku saat aku mengantarnya menuju lobby penginapan.

“Nanti saja jawabnya. Sekarang kamu istirahat dulu, nanti malam setelah sholat magrib kujemput ya “

Sebelum Meylita berbicara lagi, aku buru-buru pamit pada Amang dan bergegas kembali ke mobil. Apapun yang terjadi-terjadilah. Bahkan aku sudah menyiapkan hatiku jauh sebelum bertemu dengan calon istriku. Masuk dalam barisan patah hati sejak bertahun lalu, membuatku sudah terbiasa ditinggal kekasih, sekaligus terbiasa patah hati.

 

***

 

Aku dan Meylita tak banyak berbincang didalam mobil. Jarak antara penginapan Amang dan rumahku juga cukup dekat, tak sampai 15 menit, kami sudah sampai di rumah. Mamak sudah menunggu kami di teras. Rencananya, kami akan makan malam bersama. Mamak dibantu Ratna istri Abin sudah memasak menu spesial, ikan patin baubar yang lezat, khusus untuk menyambut Meylita.

“Ayo kita masuk, malam ini menunya istimewa, patin baubar kesukaan Himawan dan sate bumbu habang…menu enak khas Banjar ini” ajak mamak meminta kami untuk bersegera mengikutinya menuju meja makan.

“Maaf mamak, dik Herlina tidak diajak…” protes Meylita pada mamaku

“Nanti nak Mey, sekarang kita makan duluan, mumpung masih hangat ya…”

Tak berani membantah mamak, Meylita pun menuruti permintaan beliau. Sepanjang kami makan, aku dan calon istriku tak banyak berbicara, hanya sesekali saja kami menyahuti obrolan diantara kami bertiga. Aku sebagai anak mamak, sangat tahu suasana hati beliau. Namun karena sudah berkali-kali mengalami hal serupa, sepertinya mental mamak kini sudah sekuat baja, terbiasa menghadapi alotnya diriku untuk mendapatkan jodoh.

“Alhamdulillah…masakan mamak mantap nian…” ujar Meylita berusaha mencairkan suasana.

“Terima kasih untuk pujiannya sayang…” untuk pertama kalinya mamak memanggil kekasihku dengan panggilan sayang.

“Sekarang kita ketemu Herlina yaa…” ajak Mamak sejurus kemudian

Setelah Mamak dan gadis kacamataku selesai membereskan meja makan, kami beranjak menuju paviliun yang berada di belakang rumah. Paviliun asri yang sengaja dibuat Abah di halaman belakang rumah kami yang cukup luas, tepat di usia adik kembarku yang ke 20 tahun. Herlina sangat senang melipat kertas, dan entah bagaimana kewalahannya Abin dan Ratna merapikan kertas-kertas lipat yang bertumpuk disana. Beruntung aku memiliki sepupu sebaik Abin bersama istrinya Ratna. Karena meskipun biaya hidup keluarga kecil mereka seluruhnya ditanggung Mamak, ketulusan mereka berdua membantu Mamak mengurus Herlina sungguh luar biasa.

“Assalamu’alaikum…Ratna..ini Ua…” suara Mamak terdengar setelah ketukan pintu.

Tak lama Ratna membuka pintu. Didalam terlihat Herlina sedang asyik melipat kertas warna dengan berbagai bentuk. Terakhir kertas yang dilipatnya membentuk kipas kecil sederhana.

“Her…sini Mamak kenalkan dengan calon kakakmu…”

Herlina tak peduli, tak didengarnya panggilan mamak. Dia tetap asyik dengan kertas-kertas lipatnya. Memang begitulah kebiasaan adik kembarku setiap hari. Herlina memang didiagnosa Autisme berat sejak berumur 3 tahun.

Di sampingku Meylita hanya mampu membisu, sepertinya dia tidak siap dengan kenyataan yang terjadi di hadapannya malam ini.

“Kemari nak Mey…sini duduk dekat dik Herlina…”

“Saya Meylita dik….” Meylita mengulurkan tangannya, dan Herlina hanya mampu menatap gadis cantik yang menyapanya itu dengan senyuman. Sepi itu sepertinya tak pernah terbayangkan oleh calon istriku ketika bertemu dengan calon adik iparnya, bahkan beberapa detik sebelum dirinya bertemu dengan adik kembar kekasihnya. Sepi semakin dingin menyeruak, karena Herlina memang ditakdirkan Allah kehilangan kemampuan bicaranya sejak berusia 4 tahun.

 

***

 

Sudah dua minggu berlalu sejak pertemuan pertama Meylita dengan adik kembarku Herlina. Dan semua yang tak kuharapkan namun sudah kuduga terjadi sudah. Seperti dua hubungan asmaraku sebelumnya yang juga kandas setelah kuperkenalkan mereka dengan adik kembarku. Alasan mereka meninggalkankupun beragam. Tak siap bila suatu saat harus mengurus adikku, atau  ketakutan nmereka bila keturunan kami kelak menderita austisme. Seolah bila menikah denganku, sebagai seorang istri mereka akan mengalami mimpi buruk setiap hari. Dan sekarang, jangankan melaksanakan Maantar Jujuran, untuk berbicara dengan Meylita saja kini sepertinya tidak mungkin.

Meskipun Meylita tak pernah memutuskan hubungan denganku, namun dengan halus dia meminta agar kami tidak berhubungan dulu, baik bertemu langsung maupun menghubungi via gawai.

“Mudah-mudahan tak lama kak…aku butuh waktu untuk berpikir…”ujar Meylita keesokan hari setelah perjalanan kami berdua pulang kembali ke Bandung.

***

Kedatangan mang Deden membuyarkan lamunanku. Seperti biasa office boy favoritku ini membawakan kudapan sore jatah seluruh paramedis di klinik umum.

“Ini dok, hari ini jadwalnya arem-arem mie…” ujarnya jenaka, “Sekaligus ini ada titipan dari neng cantiknya dokter…” Mang Deden menyodorkan sepucuk surat didalam amplop coklat.

“Maksudnya Meylita mang…”

Mang Deden mengangguk dengan penuh semangat “Surat cinta…” godanya lagi

Tak sabar kubuka surat beramplop coklat yang sepintas mirip amplop gaji itu.

 

Assalamu’alaikum

Semoga Kak Him, mamak dan dik Herlina selalu sehat dan berada dalam lindungan Allah

Kak…entah apa yang terjadi pada diriku setelah pertemuanku dengan dik Herlina.

Badanku terasa gontai setiap hari. Pikiranku melayang. Hatiku terus mengalami pertempuran antara meninggalkanmu atau tetap mewujudkan harapan dan rencana kita membangun keluarga seperti yang kita impikan.

Tapi anehnya, ketakutanku semakin hari justru berbeda. Aku yang sempat takut  akan masa depanku bila bersuamikan yang memiliki saudara kembar dengan autis, berubah drastis.  

Sekarang aku sunguh-sungguh takut. Aku sangat takut bila tak bisa mewujudkan harapan indah kita. Dan berlaku bodoh meninggalkan laki-laki sebaik dirimu…

Beruntungnya aku memilik mama papa yang menyerahkan seluruh keputusan hidupku sepenuhnya pada diriku. Pesan mereka sangat sederhana. Apabila datang seorang laki-laki baik sepertimu, jangan pernah gegabah untuk menolaknya. Karena bisa jadi laki-laki yang datang berikutnya tak sebaik dirimu …

Dan siapa pula yang mampu menolak cinta setiap hari…aku jatuh cinta padamu setiap hari kak

Bahkan hingga detik ini siksaan rindu tak bertemu dua minggu denganmu sungguh menyiksa…ehm

Note : Jadi…kapan MaantarJujuran kita laksanakan ?

Wassalamu’alaikum

Meylita

 

Entah apa yang kurasakan sedetik setelah membaca surat beramplop gaji itu. Tapi yang pasti aku merasa melayang, sangat bahagia, karena sudah dikeluarkan dari barisan patah hati. In Syaa Allah, kedepannya aku akan membiasakan diri untuk setiap hari jatuh hati.

Ikuti tulisan menarik Shanti Cahyanti Dewi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB