x

Source: pinterst\xd Kunang-kunang adalah salah satu jenis serangga yang memiliki kemampuan menerbangkan diri dengan sayapnya. Istimewanya, mereka dapat memberikan cahaya indah dari tubuhnya. Dari mana cahaya itu berasal? bukan dari listrik, tapi adanya kandungan oksigen, kalsium, Adonesine Triphosphate (ATP), dan luciferase yang menghasilkan cahaya boiluminescence. Mereka bisa ditemukan di rawa atau di hutan.

Iklan

Tea

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 3 Desember 2021

Rabu, 8 Desember 2021 21:26 WIB

Cerpen: Gelap Malam

Aku adalah cewe yang percaya dengan hantu. Aku tahu bentuk mereka tidak sedap dipandang. Hari ini, salah satu sosok mereka menampakkan dirinya padaku.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Gelap Malam

Aku adalah cewe yang percaya dengan hantu. Aku tahu bentuk mereka tidak sedap dipandang. Tidak estetik. Namun keberadaan mereka benar adanya, bahkan mereka menjalani kehidupan yang sama seperti kita manusia. Kalau ditanya apa aku pernah melihat hantu? Tentu saja pernah. Di film horror. Iya, aku mengerti bagaimana bentuk mereka, suara, dan gambaran tentang mereka sebagian besar dari film horror yang sering aku tonton. Sebagiannya lagi aku hanya searching saja di google, memuaskan rasa ke kepo-an ku di kala waktu senggang.

Hari ini di liburan kenaikan kelas, aku diajak oleh Paman ke rumahnya yang berada di desa yang jaraknya lumayan jauh dari perkotaan dimana aku tinggal. Kurang lebih memakan waktu 4-5 jam dengan mobil. Yah, untuk mengisi liburanku yang kegiatannya cuman rebahan di kasur, membolak-balik buku komik Crayon Shinchan yang sudah ku baca berulang kali hingga aku hafal tiap percakapannya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Siang hari kami sampai di rumah Paman, kami bertiga: aku, Paman, dan Istrinya menurunkan muatan dari mobil dan menatanya di teras lalu membawa barang bawaan masing-masing ke kamar yang tersedia. Rumah Paman cukup besar, namun terlalu banyak perabotan sehingga terasa sempit.

Aku memilih untuk tidur di kamar yang berada di lantai dua. Kamarnya luas, pencahayaannya pun sangat bagus karena ada dua jendela besar di sisi kanan dan kiri kasur yang akan ku tiduri nanti. Namun terdapat plafon yang bolong disana. Tepat di atas kasur. Saat aku tanyakan pada Paman, Paman berkata bahwa aku tidak perlu khawatir, air hujan tidak akan tembus dari atap. Aku cukup lega mendengarnya. Karena kelelahan, aku tertidur siang itu.

Langit mulai kemerahan, tandanya sebentar lagi akan menjadi gelap. Aku baru sadar, tidak ada lampu di rumah ini. Aku buru-buru menuju ke lantai satu untuk bertemu siapapun agar bisa ku mintai penerangan seperti lilin atau semacamnya. Tapi tidak ada siapa-siapa. Kemana perginya Paman? Aku agak kesal karena ditinggal tanpa diberitahu keadaan rumah yang tidak ada penerangan seperti ini. Akhirnya aku memutuskan untuk kembali ke kamar dibantu cahaya ponsel yang sebentar lagi juga akan lowbat.

Grskk.. grskk

‘Suara apa itu?’

Jiwa Paranoid ku muncul seketika. ‘Darimana asalnya suara itu? Apa itu tikus? Atau binatang buas pemakan daging?’ Aku Menerangi sekelilingku untuk mengetahui letak sumber suara berasal.

 “Hai,” Sapa seseorang dari kegelapan, namun sapaan itu terdengar lebih seperti bisikan.

Aku yang hobi nonton horror, seharusnya tidak takut dengan kejadian misterius seperti ini, tapi naluri ku berkata lain. Aku ketakutan setengah mati.

“Siapa itu?,” Tanyaku setengah berteriak. Suaraku seperti terjepit sesuatu. Mungkin terjepit nyali ku sendiri.

Leganya, sisi kanan dan kiri kasur yang aku duduki sekarang telah diterangi cahaya bulan yang tembus lewat jendela. Sehingga sisi tersebut cukup terang. Namun buruknya sisi tengahnya gelap gulita. Ku toleh kepalaku ke kanan dan ke kiri. Nihil. Ku beranikan diri untuk mendongak ke atas. Ya, tepat di plafon bolong itu. Benar saja, ada kepala manusia yang muncul dari sana. Mau berteriak pun aku tak mampu.

Dalam kegelapan, dapat kulihat iris matanya berwarna cokelat, kulit pucat, rambut hitam layaknya manusia. Ternyata hantu tidak se seram seperti yang ku bayangkan. Kali ini cukup estetik, dan sedap dipandang mata, emm.. lumayan memanjakan mata. Ia mengulurkan tangannya. ‘Oh ngajak kenalan’ pikirku.

Aku membenarkan dudukanku agar bisa menggapai uluran tangannya. Kami bersalaman. Tangannya dingin seperti aku sedang memegang makanan beku.

“Namaku Bem, kamu?” ucapnya memperkenalkan diri. “Aku Rani,”

Setelah perkenalan itu, Bem mengambil sesuatu dari loteng.

“Ini, kamu taruh di kamar kamu supaya ngga kegelapan lagi,” Kata Bem sambil menyodorkan toples berisi kunang-kunang indah dengan cahaya menyala-nyala.

Aku baru pertama kali melihat kunang-kunang secara langsung. Ternyata lebih cantik daripada yang ku lihat di internet.

“Wah, cantiknya. Makasih,” Rasa senang membuatku lupa akan rasa takut yang sebelumnya menyelimuti “Kunang-kunang ini kamu tangkep sendiri?” Tanyaku penasaran.

“Tentu saja. Mau ikut berburu kunang-kunang?” Tawarnya. Tanpa ragu aku menganggukkan kepala. Kami keluar menuju pekarangan sambil membawa kunang-kunang dalam toples sebagai penerangan.

---

Kehadiran Bem membuat liburanku di desa Paman jadi menyenangkan. Walau kami berdua hanya bisa bermain bersama di malam hari, karena Bem muncul selalu saat hari sudah gelap. Tapi tak apa, setidaknya, aku tidak menghabiskan malam gelap gulita di dalam kamar. Aku diajak Bem untuk mengunjungi tempat-tempat estetik di desa ini. Akupun jadi banyak tahu. Paman? Paman dan istrinya sedang sibuk dengan urusannya. Terlebih, tetangga kami dengar-dengar sedang sakit keras. Padahal ia yang dijanjikan Paman akan menemaniku berkeliling saat aku di desa ini.

Aku dan Bem saling bertukar cerita. Bem bercerita tentang kehidupannya semasa ia masih menjadi manusia dan aku bercerita tentang kehidupanku di bisingnya perkotaan. Bem juga mengajariku dansa berpasangan. Dansa seperti yang dilakukan orang-orang di ballroom. Katanya, kakek neneknya sering berdansa seperti ini sampai-sampai Bem hafal gerakannya.

Kami berdansa di pinggiran sungai. Tidak ada musik, hanya hembusan angin, terangnya cahaya bulan yang terpantul oleh air sungai, dan kunang-kunang yang seakan telah bersahabat dengan kami. Mengelilingi kami selama Bem mengajariku berdansa.

“Suasananya romantis banget ya,” kata ku, “Aku kayaknya terbawa suasana romantis,” kata ku lagi di sela-sela gerakan dansa kami.

“maksudnya?” Tanya Bem sambil masih mengayunkan lenganku agar mengikuti gerakannya.

“kayaknya.. aku mulai suka sama kamu deh,” pengakuanku malam itu.

Bem menyambut pengakuanku dengan senyum manisnya, “Dengan hantu?” Tanya nya meyakinkan, “Apa masalahnya?” Jawabku seolah tak peduli bahwa kami berbeda dimensi.

Bem tidak menanggapi lagi tentang pengakuanku. Tapi dengan mengutarakannya saja aku sudah lega, tidak ada hutang perasaan di hati.

Suatu hari, Bem datang mengajakku berjalan-jalan tengah malam, melewati beberapa rumah warga. Aku sempat bercerita tentang tetanggaku yang sakit keras, aku meminta Bem untuk ikut berdoa atas kesembuhan tetanggaku itu.

Di akhir perjalanan, Bem memberikanku sebuah gelang. Gelang imut dengan manik-manik berbentuk kupu-kupu menggantung di sisi-sisi gelang. Katanya, sebagai kenang-kenangan darinya. Ia sebut dirinya sendiri Bem si sahabat hantu Rani. Setelah memakaikan gelang tersebut, Bem tiba-tiba saja mengecup dahi ku. Perasaanku? Senang bukan main.

Semenjak itu, Bem tidak pernah muncul lagi di gelapnya malam. Padahal aku sangat menunggu kehadirannya.  Satu hari, dua hari, tiga hari…

Kunang-kunang sudah berganti dengan lampu minyak yang diberikan Paman beberapa hari lalu. Kuhabiskan malam tanpa kehadiran Bem dengan menatap ke luar jendela, melawan hembusan angin yang masuk ke kamar. Berharap ada yang memanggilku dari belakang. Tentu saja Bem, bukan makhluk astral lainnya.

Pagi ini, Paman mengajakku mengunjungi tetangga yang katanya telah sembuh dari sakit kerasnya.

---

Kini kami: aku dan Paman berada di depan pintu rumah tetangga kami. Paman mengetuk pintu dengan beberapa jarinya. Lalu seorang wanita tua membukakan pintu. Badannya bungkuk, sehingga untuk melihat aku dan Paman, beliau perlu mendongakkan kepala.

“Eh, Nak Burhan, silahkan masuk,” Ajak wanita tua itu pada Paman yang kemudian perbincangan antara Paman dan wanita tua itu berlanjut.

Sekian lama mengobrol, Aku dan Paman diajak untuk menengok cucu nya yang sedang sakit keras kapan hari. Iya, dia yang seharusnya menemani ku selama berada di desa ini. Namun sehari sebelum kedatanganku, ia mengalami kecelakaan.

Kecelakaan tersebut cukup berat hingga menyebabkan terjadi cedera serius di kepalanya. ia tak sadarkan diri untuk waktu yang cukup lama. Hingga beberapa hari yang lalu, ia sadar namun masih belum bisa banyak bergerak.

Ruang kamar yang ukuran cukup luas bercatkan warna putih, banyak jendela di setiap sisi membuat kamar itu tampak terang. Kami mulai mendekati seseorang yang sedang terbaring lemah di kasur. Ia sedang memandangi pemandangan luar melalui jendela.

Deg

“Bem?”

Orang itu menoleh. Mengalihkan pandangannya dari jendela, lalu menatapku.

“Iya?” jawabnya dengan senyuman ramah yang sudah pernah ku lihat sebelumnya.

“Loh, loh, kalian udah saling kenal, toh? Padahal Paman belum kenalin kalian satu sama lain lho,” Tanya Paman pada kami heran.

“Ini ponakannya Pak Burhan?” Tanya laki-laki itu dari tempat tidurnya.

“iya Bem. Ini yang namanya Rani. Sudah kenal ya kalian?”

“Saya baru lihat ponakannya Pak Burhan sekarang ini. Cantik ya Pak ponakannya,” Pujian disertai senyuman ramah itu kembali dilemparkan padaku. Aku masih nggak ngerti.

Ingin sekali rasanya aku bertanya ‘lalu siapa yang tiap malem dateng ke kamar? Jadi kamu belum mati? Kamu nyata, bukan hantu? Tapi kenapa datengnya lewat loteng?’ pertanyaan-pertanyaan bodoh yang akan membuat orang tersinggung mendengarnya.

“Lalu Rani, kamu kok sudah kenal Bem?”, “jangan-jangan kamu stalking dia sebelum kemari ya?” Dugaan Paman yang semakin mengada-ada membuatku ingin segera mengoreksinya.

“Enggak. Cuma tebak nama aja. Kebetulan bener.” Jawabku asal yang sebenarnya makin mengada-ada.

---- 

Paman dan nenek keluar dari kamar Bem, untuk memperbincangkan sesuatu. Kelihatannya sangat serius. Hingga tinggal aku dan Bem di kamar ini. Aku menatap Bem dalam-dalam, Bem balas menatapku dengan tatapan teduh yang semakin membuatku luluh lagi dan lagi.

“Bem, kamu bener-bener ngga inget kita pernah ketemu?” tanyaku dengan nada menuntut.

“Inget kok.” Jawaban singkat Bem yang membuatku terkejut

“terus kenapa tadi bilang ke Paman Burhan kita ngga pernah ketemu?”

“Iya.. Tapi siapa yang bakal percaya kita ketemu dalam bentuk yang beda? Maksudku, aku nya. Kamu ngerti kan maksudku?” Terangnya. Lalu tangannya mengelus rambutku yang tergerai, seakan mau memberikan kenyamanan padaku. Aku mendekatkan diri pada Bem. Kini aku sudah paham. Lega hati ini mendengarnya.

“Lihat deh, aku masih pakai gelang yang kamu kasih,” ku angkat tanganku tinggi-tinggi agar Bem bisa melihatnya. Bem hanya bereaksi dengan senyum bahagianya. Aku tahu dia masih belum boleh banyak gerak. Cukup melihat mimik wajah tampannya saja rasanya sudah cukup.

Lagi-lagi kami jadi bercengkrama sampai lupa waktu. Sama seperti yang kami lakukan biasanya saat malam hari. Bedanya, kini kami ditemani hangatnya sinar matahari, bukan lagi dinginnya angin malam. Lalu aku teringat tentang pernyataanku waktu itu. Hanya penasaran, bagaimana perasaannya padaku?

.

Seperti yang kuharapkan, ia juga menyukaiku. Sore itu, bibir kami saling bertaut, menyatukan perasaan bahagia kami. Aku senang, ia benar-benar hidup. Bukan hantu gentayangan yang hanya hadir di gelapnya malam. Namun kini kami bisa bertemu baik di bawah silaunya sinar matahari maupun terangnya sinar rembulan.

Ikuti tulisan menarik Tea lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu