x

Ilustrasi Pelestarian Lingkungan.

Iklan

Vincent KWP

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 8 Desember 2021

Rabu, 8 Desember 2021 23:59 WIB

Bobot Kenyataan


Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

BOBOT KENYATAAN

Oleh Vincentius Khresna W. P

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Brusss…

Suara air menciprat terdengar keras di bawah teriknya siang. Dua orang anak tampak sedang bermain di sebuah kolam renang -- yang satu baru saja lompat dari papan lompat dan membuat sebuah gelombang besar, membasahi luar kolam. Setelah itu yang satunya mencoba naik dan melakukan hal yang sama.

“Andai saja itu aku…” gumamku sambil memandang. Mataku terus mengikuti mereka sambil membayangkan diriku di posisi itu. Pastinya aku bahagia kan? Siapa yang tidak ingin bisa bersenang-senang tanpa memikirkan resiko? 

“Mas Ben, baksonya!” Tiba-tiba kudengar dari kiriku.

“Oh ya Pak…”

Tukang bakso kemudian meletakkan semangkuk penuh bola-bola daging dan mie bermandikan kuah. Uapnya yang panas sangatlah menggugah di siang hari. Kuangkat sendoknya dan hendak menyantapnya, tapi perhatianku tiba-tiba teralihkan oleh suara cipratan air yang terjadi di kolam.

“Eh, udah!“ Sahut si tukang bakso,  “Makan dulu Pak! Kerjaan pikir nanti aja!” sahutnya..

“Bukan itu Mas. Rasanya kok… kok enak ya kalo isa hidup kek mereka? Rasanya kek ga ada beban gitu hidupnya…”

“Ya memang hidupnya mereka kek gitu kan Pak? Mau diapain aja ya pasti enak!!”

Mulutku terdiam mendengarnya. Aku kembali menghadap baksoku ingin menikmatinya, tapi sekali lagi aku dipanggil oleh cipratan air dan suara haha-hihi kedua anak tersebut. Kedua anak itu melempar-lempar bola dan menendang-nendang air. 

“Lha ga pingin kek gitu ta Mas?”

“Ya, pingin sih Pak. Tapi sementara bersyukur dulu aja deh! Orang bilang hidup susah kalau ga bisa bersyukur!” Balasnya dengan semangat.

Tin tin… tiba-tiba terdengar suara mobil. Aku menoleh karena penasaran dan melihat mobil berwarna hitam mendekat. Mobil itu kemudian berhenti di sebelah gerobak bakso dan parkir. Tak lama lalu keluarlah siapa yang mengendarai mobil itu, dan ternyata kukenali dia -- namanya adalah pak Yohan, majikanku di tempatku sekarang bekerja. Dia adalah yang punya kolam di sebelahku ini, sekaligus rumah di sebelahnya. Setiap pagi aku adalah yang menyiapkan bekal, membersihkan rumah, menjaga taman, serta membersihkan kolam kalau paginya anak-anak bermain.

“Pak! Bakso satu mangkok!” Sahutnya lesu ke tukang bakso.

“Siap, Pak Yoh!”

Segera si tukang bakso menggerakkan tangannya untuk meracik semangkuk bakso, sambil pak Yoh duduk di sebelahku.  Aku geser sedikit supaya dia tidak duduk menengah jalan.

“Lho, Pak Yoh…” Sahutku, “Tumben Pak ga makan di kantor?”

“Ga apa-apa Pak Ben. Saya cuma capek aja makan di kantor -- mending saya keluar cari makan daripada saya stress di sana...”

“Lho, emang ada masalah di kantor ta, Pak?”

“Ya, saya stress aja Pak hadapi karyawan.” balasnya. Dia menghela napas panjang lalu berkata,  “Karyawan di gudang lagi ga becus -- Ribut terus aja. Saya mutusin keluar cari makan aja supaya ga sumpek!”

“Oooh…” Sahutku sambil kembali makan, “Lha terus habis gini mau balik kantor ta Pak?”

“Ya balik lah, Mas Ben! Kerjaan kan masih banyak di kantor Pak!”

“Lha isa gitu pak?”

“Bisa lah!” sahutnya, “Saya kan Bossnya!”

Pak Yoh membusungkan dadanya dan dengan membanggakan statusnya sebagai boss. Senang sekali dia bisa memamerkan kekuasaannya? Senang sekali dia bisa memamerkan kalau bisa seenaknya? Aku juga ingin bisa pulang kalau capek. Kenapa hanya dia yang bebas, sedangkan aku terkurung di sini? Kenapa dia tidak terkurung juga sepertiku?

Bruss… tiba-tiba kudengar kembali suara dari arah kolam. Aku sebisa mungkin berusaha tidak menoleh dan terus makan. Tapi tiba-tiba terdengar lagi suara itu, membuatku secara tak sadar menoleh sedikit.

“Wiih… seru sekali anak-anak itu!” Sahut pak Yohan.

“Wiih…iya.”

Bruss... terus menerus suara itu keluar sampai aku tak bisa menikmati rasanya makananku. Kembali aku memandang dan terpikir sesuatu -- Andai aku juga punya kolam, mungkin aku juga akan senang seperti mereka. Aku akan bisa melompat sana, melompat sini. Aku akan bisa melakukan apapun yang aku mau tanpa peduli apapun. Mungkin aku akan bisa mempunyai kolam itu kalau sudah menjadi seperti pak Yoh. Aku menoleh ke pak Yoh membayangkan diriku mengenakan pakaiannya -- Ingin sekali rasanya kaya raya.

Otot pipiku tertarik kencang, dan aku senyum-senyum sendiri membayangkannya. Tiba-tiba terdengar suara mangkuk diletakkan, membangunkanku dari mimpi. Aku kembali ke realita melihat pak Yoh dengan lahapnya makan bakso. Mengikutinya, aku juga mulai makan baksoku. Tapi sebelum sampai melakukannya, ekor mataku melihat sesuatu. Aku menoleh ke depan dan melihat mobil pak Yoh yang ternyata lecet.

“Mobilnya kenapa kok kegores Pak?” Tanyaku tiba-tiba sadar kalau mobil Pak Yoh tergores. Pak Yoh menoleh kebelakang untuk melihatnya.

“Oh ya, kok kegores ya?”

Aku melanjutkan makanku sambil pak Yohan menelusuri mobilnya itu. Nampak sekali penasarannya akan lecet tersebut. Tapi selang sekian detik raut penasarannya mulai hilang -- pandangannya itu akhirnya berubah menjadi pandangan kecewa yang diikuti keluhannya.

“Wah… kalau seperti gini kelihatannya besok aku ga bisa pake mobil ini. Pak Ben, saya titip mobil ini ya Pak?”

“Lha, ga balik kantor pak?”

“Nggak deh. Bapak mau beli mobil baru.”

Aku terpelongo mendengar itu. Apa aku tak salah dengar? Dia baru saja membatalkan kerjanya hanya karena mobilnya tergores. Hatiku memanas karena semakin tak paham aku dengan pola pikir orang yang kaya -- mereka seakan-akan tak peduli dengan betapa berharganya uang itu.

“Hahahaha!” Tiba-tiba tawa si tukang bakso, “Daripada beli mobil, buat beli bakso aja Pak! Saya jamin dapat banyak!”

Pak Yoh tertawa mendengarnya dan melanjut guyonnya, “Tapi besok naik apa Pak? Masak naik odong-odong?”

“Ya, tapi kalau mobil mana bisa dimakan Pak? Yakin ga bakso aja?”

Mereka berdua tertawa sambil meneruskan lawakan mereka. Sambil itu aku sebisa mungkin menutup telingaku dari semua ini -- baksoku aku lanjut makan sambil terdengar lagi suara air di kolam. Sungguh, hati ini panas rasanya. Ingin  sekali aku memberontak.

“Masak bakso level sih? Mobil dong baru level!” tiba-tiba sahut pak Yoh.

Hatiku yang sudah panas akhirnya meletus dan mulutku bergerak sendiri, “Iya, Pak... Apalagi kalau kegores lagi.”

Pipiku kemudian tertarik mendengar kata-kataku. Aku tersenyum beberapa detik sampai akhirnya aku sadar dengan kata-kataku sendiri. Pak Yoh terutama kaget mendengarnya -- mukanya sedikit menekuk mendengar kata kataku itu

“Mas, apa barusan maksudmu?” Tanya pak Yohan serius

“Gak Pak, maksudku-”

Melihat raut pak Yohan kata-kataku menghilang. Setiap detik seakan-akan mukanya semakin menekuk -- ingin sekali aku menjelaskannya, tapi aku tak yakin semuanya akan baik-baik saja setelah kujelaskan. Akhirnya aku hanya diam.

“Maaf, Pak Yoh…” sahutku setelah sebentar. 

Mendengar itu raut mukanya masih tidak berubah. Satu-satunya yang berubah hanyalah ia memalingkan pandangannya dariku. Akhirnya ia fokus ke baksonya, dan melanjutkan makan. Setelah keheningan yang terasa lama, akhirnya pak Yoh mengembalikan mangkoknya dan membayar.

“Lho Pak… ga tambah?” tanya si tukang bakso.

Pak Yoh hanya menggeleng kepalanya dan pergi dari gerobak. Mataku mengikutinya sampai akhirnya menghilang. Hatiku mengencang mengetahui kesalahanku tadi. Andai saja tadi aku tidak bicara sembarangan.

“Mas… ati-ati PHK lho!”Sahut si tukang bakso, “Nanti kalo PHK ga isa makan sini!” 

Ia kemudian tertawa, membuatku semakin murung menghadapi situasiku. Aku menghadap ke mangkok bakso yang kini tinggal sedikit isinya -- ingin aku menghabiskannya, tetapi rasanya sudah tak enak lagi hati ini.

“Sudah lah mas… Santai aja! Pak Yoh orangnya baik kok. Santai...”

“Oh ya ta Pak?”

“Iya! Asalkan kamu minta maaf aja!”

Jangankan meminta maaf, aku tak yakin aku bisa bertatapan muka dengan pak Yoh kalau dia pulang. Bagaimana bisa aku minta maaf kalau menatapnya saja sekarang tak bisa? Masih malu aku terhadap kata-kataku yang tadi.

Tapi daripada berkata-kata, tiba-tiba aku disodorkan semangkuk lagi bakso. Ia meletakkannya agak jauh dariku membuatku ragu mengambilnya.

“Saya makan dulu ya, Mas?” lalu sahutnya. Ia kemudian menarik kursi yang lain dan duduk. Selang beberapa detik dia akhirnya memulai sebuah pembicaraan

“Yah...Saya dulu juga pernah seperti Masnya!”

“Pernah seperti apa Pak?”

Ia tersenyum tipis dan menjawab, “Dulu saya juga iri sama pak Yoh. Dia tuh udah kaya, seneng pamer lagi! Siapa sih yang ga iri sama orang kayak gitu?“ tanyanya. 

Kembali aku tak bisa menjawab, dan aku menghadap ke mangkokku. Ia menenggolku dan mengkode-kodeku tentang bakso di mangkok.

“Dah lah! Habisin!” suruhnya.

Aku lalu mengangkat sendok dan mengambil beberapa sendok terakhir bakso di mangkok -- aku menelannya tanpa peduli rasa. Sambil itu lalu terdengar suara air di kolam diikuti haha hihi anak kecil.

“Pak, boleh tanya ga pak?” tanyaku, “Bapak kan tadi bilang kalau dulu pernah iri? Cara bapak supaya tidak iri gimana ya?”

“Ya… berusaha aja bersyukur. Bapak kalau ga salah kan tadi sudah bilang?”

“Lha ya, tapi gimana Pak caranya bersyukur?”

Ia hening sejenak berpikir. Sambil itu ia mengambil mangkokku, mangkok pakYoh, dan mangkoknya dan menaruhnya di sebuah ember di bawah gerobak. Sambil menambahkan sabun cuci, tiba-tiba ia menjawabku.

“Kamu emangnya bersyukur alasanmu apa sekarang Mas?”

“Alasanku?” Aku berpikir sejenak sebelum akhirnya menjawab, “Aku cuma pingin bisa ga stress aja sih pak. Aku ga pengen stress gara-gara lihat orang lain sukses!”

Tiba-tiba ia tertawa -- memangnya ada sesuatu yang lucu? Apa aku baru saja mengatakan hal yang aneh? Apakah yang sekiranya ditertawakannya?

“Mas Mas, aslinya mas udah tahu lho caranya! Gitu kok tanya?”

Aku menjadi semakin bingung dan ingin bertanya. Tapi tiba-tiba sebelum bisa bertanya, aku mendengar suara keras dari kolam. Daripada suara air, suara yang aku dengar adalah suara teriakan seorang anak. Aku segera menoleh dan melihat salah satu anak tadi memegang lututnya di pinggir kolam. Instingku mencoba menggerakkanku ke sana, tetapi pikiranku menahanku -- aku masih ingin bertanya-tanya di sini.

“Sana pergi dulu!” tiba-tiba aku disuruh, “Tolong dulu Mas adiknya -- nanti aja bahas ini lagi!”

“Lha, tapi kan-”

Tanpa mendengar omonganku, ia lalu mendorongku dan mengusirku dari gerobak -- aku didorongnya supaya masuk ke gerbang. Tanpa ada orang lain untuk membantu anak kecil itu, dan dengan dorongan  dari tukang bakso aku terpaksa turun tangan.

Aku mendatangi anak itu dan melihat kalau kakinya terluka. Aku juga melihat ada bekas luka di lantai, mengindikasikan kalau ia hanya terpeleset. Aku segera menuju kotak obat dan mengambil obat luka. Setelah kembali dari kotak obat aku mendeprok dan meminta anak itu untuk melepas tangannya dari lututnya.

“Sebentar-sebentar!” sahutku, “Tahan dikit -- ini bakal sakit.’

Aku lalu menuangkan obat itu dan tak butuh waktu lama untuk tangisannya menjadi lebih keras. “Tahan dulu! Tahan!” sahutku. Tapi anak itu tidak mendengarkannya dan menangis lebih keras -- hampir saja  kaca-kaca di rumah pecah, tapi untungnya telingaku lebih kuat.

“Nah udah!” sahutku. Aku kemudian menutup obat itu dan mengulurkan tanganku untuk membantunya berdiri. Ia lalu mengambilnya, dan aku mengantarkannya masuk.

“Makasih ya Mas…” sahut anak itu sambil matanya masih berkaca-kaca.

“Ya… hati-hati ya lain kali?”

Ia lalu mengangguk, dan segera masuk rumahnya. Mengikuti itu aku keluar dari rumah dan menuju gerobak.

“Gimana?” Tanya si tukang bakso, “Iri nggak?”

“Ya gak Pak! Ngapain iri sama anak kecil?”

“Lha, tapi bukannya tadi iri? Kok isa ga iri sekarang?”

Aku hanya diam dan berpikir sambil aku mengambil kursi dan duduk. Kalau dipikir-pikir benar juga yang dikatakannya -- kalau sekarang iri, kenapa kok tadi aku iri? Apakah yang membuatku iri seperti itu tadi?

“Apa mungkin karena ga ada yang  dibuat iri gitu kah pak?” tanyaku random.

“Lha, sekarang paham gitu!” sahutnya.

“Lalu kalau sama orang kayak pak Yoh gimana Pak? Mana isa ga  dibuat iri?”

Sebelum mendapatkan jawaban itu, tiba-tiba terlihat sosok pak Yoh dari kejauhan berjalan menuju ke rumahnya. Aku menelan ludahku masih bingung bagaimana menatapnya, tapi tiba tiba si  tukang bakso berkata, “Coba aja sendiri! Itu tuh orang nya dateng!”

“Yakin Pak?”

“Iya! Coba-coba aja Mas!”

Beliau kembali mendorongku dan mengusirku dari  gerobak. Sekali lagi aku menjauhi gerobak itu dengan terpaksa -- kali ini rasanya perjalanan semakin jauh, dan hati  berdetak semakin kencang. Sekujur badanku sampai berkeringat memikirkannya.

“Lho…” Tiba-tiba sahut pak Yoh.

Untuk sejenak aku jadi kaku melihat pandangannya yang tak enak itu. Aku segera mencoba mengalihkan perhatianku dengan melihat apa yang bisa aku bantu -- kebetulan sekali aku menyadari kalau bawaannya cukup banyak.

“Mau saya bantu bawa pak?”

Tanpa menunggu aba-abanya aku segera mengambil salah satu kantung bawaan yang ia bawa. Aku lalu lanjut bertanya, “Ini dari mana Pak? Kok banyak bawaannya?”

“Ini dari toko Mas. Saya baru saja selesai makan, lihat toko kok kelihatannya ada barang bagus ya? Saya akhirnya memutuskan beli aja”

“Barang apa pak itu?”

Ia kemudian mengeluarkan mainan mobil-mobilan yang ada di salah satu kantung, “Ini harusnya anakku senang kan? Aku jarang di rumah sih, jadi ga tahu dia senangnya apa.”

Tanpa peduli jumlah barang, aku akhirnya bisa berkata dengan leluasa, “Ya, harusnya suka sih pak! Omong-omong saya minta maaf masalah tadi ya Pak! Tadi ga sengaja”

Dia tersenyum, diikuti oleh diriku tersenyum. Dan aku akhirnya paham makna bersyukur.

Ikuti tulisan menarik Vincent KWP lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu