x

paintings by Justin

Iklan

Qurrota A'yun

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 28 November 2021

Jumat, 10 Desember 2021 13:07 WIB

Balak Nasi Tumpeng


Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Awan gelap menyelimuti Desa Karangkletak siang itu. Suara gemuruh guntur mengejutkan Yuk Darmi yang kala itu sedang menelusuri pekarangan  di dekat Sungai Kulon mencari kayu bakar. Sudah menjadi kebiasaan Yuk Darmi untuk mencari kayu bakar di pekarangan dekat sungai. Meskipun LPG sudah populer digunakan masyarakat, Yuk Darmi tetap memakai kayu bakar untuk memasak agar hemat.

Sambil berhati-hati Yuk Darmi mengadahkan kepalanya ke atas langit yang kelabu sembari berkata, “Gusti Allah...Belum dapat sebatang kayu sudah mendung aja.” Meskipun begitu, Yuk Darmi bertekad tetap menelusuri pekarangan agar mendapat kayu bakar. Ketika Yuk Darmi sampai di depan pohon bambu yang besar, terdengar suara orang sedang berbisik-bisik dibaliknya. Yuk Darmi yang penasaran pun segera menghampiri sumber suara itu.

“Hei!!! Ngapain kamu ada di situ? Ojok ganggu semediku!,” tegur pria paruh baya yang memakai baju serba hitam. Pria paruh baya itu adalah Mbah Atmojo yang merupakan penunggu Sungai Kulon.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

“I..i...i-ya Mbah Jo,” jawab Yuk Darmi segera. Dengan cepat Yuk Darmi membalikkan badan hendak pergi meninggalkan tempat persemedian Mbah Atmojo. Tiba-tiba langkah Yuk Darmi berhenti setelah melihat sebuah sesajen di atas batu terbesar di samping Mbah Jo. Bukan main, sesajen itu layaknya makanan manusia.

“Ini sesajen apa tumpengan ya? Kok isinya banyak sekali. Ada nasi kuning lengkap dengan lauk ayam bumbu bali, perkedel, buah pisang, apel, jeruk, dan jajanan pasar” gumam Yuk Darmi dalam hati.

 “Hey, Kenapa masih di situ? Ngapain lihat-lihat sesajenku? Itu sesajen ada yang makan!” teriak Mbah Jo seolah-olah tahu apa yang ada dalam pikiran Yuk Darmi.

“Paling yang makan ya hewan nyambik,” ucap Yuk Darmi dalam hati.

“I-i-i-ya Mbah, aku nggak ngambil kok Mbah Cuma lihat aja, maaf Mbah,” jawab Yuk Darmi terbata-bata.

“Sudah pergi sana, jangan sampai penunggu di sini marah lihat kamu,” ucap Mbah Jo pada Yuk Darmi dengan ekspresi wajah yang memerah padam. Tanpa basa-basi lagi, Yuk Darmi segera pergi meninggalkan pekarangan.

Selama perjalanan pulang ke rumah Yuk Darmi mengingat sesuatu yang seharusnya tidak boleh dilakukan hari ini. “Walah aku lupa kalau sekarang hari Kamis. Makanya ada Mbah Jo lagi semedi. Tahu gitu aku nggak ke sana,” gerutu Yuk Darmi dalam hati.

Mbah Jo merupakan sesepuh desa yang konon katanya memiliki kekuatan sakti bisa berteman dengan makhluk halus. Mbah Jo memang sering bersemedi di tempat-tempat yang menurutnya ada penunggunya. Sudah menjadi kebiasaan Mbah Jo setiap hari Kamis sore untuk bersemedi di pekarangan sungai Kulon dengan membawa nasi tumpeng komplit disertai jajanan pasar sebagai sesajen.

***

“Loh Buk, mana kayu bakarnya?” tanya Pak Umar suami Yuk Darmi.

“Aku tadi habis di marahi Mbah Jo di pekarangan. Yawis, aku terus pulang,” jawab Yuk Darni dengan kesal.

“Oh iyaa Buk, pasti sampean di marahi gara-gara nganggu Mbah Jo semedi ya?,” tanya Pak Umar sambil tertawa kecil.

“Iya, padahal aku cuma mau cari kayu saja. Oh iya Pak, sampean tahu Mbah Jo ke sana bawa nasi tumpeng loh. Nasi tumpengnya lengkap ada lauknya, ada buah, ada jajanan pasar”

“Wah, enak sekali Buk. Tapi kan itu buat sesajen Buk,” ucap Pak Umar mengingatkan Yuk Darmi

“Iya sih Pak. Mubadzir loh sesajennya kalo dibiarkan. Paling ya di makan nyambik”

Mendengar perkataan istrinya, Pak Umar hanya bisa tertawa dan menganggu-angguk kan kepalanya.

***

Keesokan harinya, semua warga di desa Karangkletak berkumpul di balai pertemuan desa. Mereka hendak membahas persiapan acara 17 Agustus. Acara 17 Agustusan setiap tahun diperingati dengan mengadakan acara barikan dan perlombaan. Acara barikan merupakan tradisi turun temurun warga desa Karang Kletak yang digelar dengan acara do’a dan makan-makan bersama.

“Bapak-bapak dan Ibu-ibu acara 17 Agustus akan digelar minggu depan. Seperti biasanya, kita akan memperingatinya dengan menggelar acara barikan dan perlombaan tradisional. Untuk acara barikan ibu-ibu diharapkan membawa makanan dari rumah secukupnya saja,” tutur Pak Rofi selaku Ketua RT di desa Karangkletak.

“Siap Pak RT!,” ucap para warga dengan semangat.

***

Di dalam rumah, Yuk Darmi memikirkan masakan apa yang harus di buat untuk acara barikan 17 Agustus nanti.

“Hmm...Enaknya masak apa ya buat acara barikan nanti,” gumam Yuk Darmi dalam hati. Kemudian, Pak Umar datang menghampiri Yuk Darmi yang masih melamun memikirkan masakan untuk acara barikan nanti.

“Onok opo Buk? Kok ngelamun aja. Aku tadi manggil-manggil sampean loh”

“Oh...Iya ta Pak? Hehehe aku ngga kedengaran. Begini loh Pak, aku bingung mau masak apa buat acara barikan nanti. Enaknya masak nasi kuning apa nasi janganan ya Pak?”

“Walah ternyata bingung masakan toh. Yawis seperti biasane saja Buk. Tapi, sepertinya nasi janganan sama lauk sate komoh enak Buk, hehehe,” ujar Pak Umar dengan terkekeh.

“Ribet Pak masaknya. Tapi enak juga Pak ya kalo dimakan sambil keroyokan sama warga lain”

“Nah betul itu Buk,” ujar Pak Umar membenarkan. Tiba-tiba Yuk Darmi teringat sesuatu dan langsung memberitahukannya kepada suaminya, Pak Umar.

“Pak aku ingat sesuatu. Sampean masih ingat kan waktu aku ke pekarangan sungai Kulon terus ketemu Mbah Jo,” tanya Yuk Darmi dengan cepat.

“Iya ingat lah Buk. Sampean ngga dapat kayu bakar gara-gara Mbah Jo lagi semedi sama bawa nasi tumpengan”

“Nah sip Pak! Aku punya ide bagus Pak. Bagaimana kalau acara barikan nanti kita bawa nasi tumpeng dari sesajen nya Mbah Jo? Kan acara barikan 17 Agustus nya juga hari Kamis. Mbah Jo semedinya tiap hari Kamis juga.”

“Ngawur sampean Buk! Sama saja kita mencuri sesajen nya Mbah Jo,” ujar Pak Umar tidak menyetejui ide Yuk Darmi.

“Coba sampean pikirkan lagi, sesajen nya itu isinya nasi janganan ada urap-urapnya, ada pentol kelapa, dan yang terpenting ada sate komoh. Mubazir Pak kalo nggak ada yang makan dibiarkan saja. Ini bukan mencuri Pak tapi ini menyelamatkan makanan biar nggak mubadzir. Mending di makan bareng-bareng sama warga desa. Bener kan Pak?” ujar Yuk Darmi meyakinkan Pak Umar agar menyetujui idenya.

“Iya sih Buk betul juga apa kata sampean. Tapi kita minta sesajen nya harus izin dulu Buk sama Mbah Jo.”

“Ngga usah Pak. Kalo kita minta izin yang ada kita dimarahi. Langsung ambil saja.”

“Gimana Pak? Demi makanan biar ngga mubadzir.” lanjut Yuk Darmi meyakinkan Pak Umar.

“Yasudah Buk terserah sampean wis.” Jawab Pak Umar menyetujui ide Yuk Darmi.

***

Tanggal 17 Agustus pun telah tiba. Pagi-pagi sekali setelah subuh, ibu-ibu di desa Karang Kletak ramai mendatangi warung kelontong Mbak Solikha untuk berbelanja sayur dan ikan yang akan dimasak untuk acara barikan nanti. Warung kelontong Mbak Solikha menyediakan berbagai macam ikan dan sayuran lengkap seperti di pasar. Ibu-ibu selalu mengandalkan warung kelontong Mbak Solikha setiap harinya untuk belanja bahan masakan setiap hari. Tidak heran saat ini warung Mbak Solikha ramai pembeli apalagi akan diadakan acara barikan.

“Ibu-ibu, mau masak apa buat acara nanti?” tanya Bu RT kepada ibu-ibu lainnya yang sibuk memilih sayuran dan ikan.

“Seperti biasa Bu Rete saya mau masak nasi kuning sama bali ayam”

“Kalau saya mau masak ayam kentucky hehehe”

“Saya mau masak nasi janganan saja”

Tak lama kemudian, Yuk Darmi datang ke warung untuk berbelanja. Di sana Yuk Darmi hanya membeli sayur timun dan tomat saja. Bu RT yang penasaran dengan belanjaan Yuk Darmi yang sedikit akhirnya memberanikan diri menyeletuk bertanya.

“Loh, sampean mau masak apa Yuk kok belanjanya cuman sayur aja,” tanya Bu RT dengan ekspresi wajah penasaran.

“Oh anu Bu, saya pesan nasi cateringan. Biar ngga repot-repot Bu Rete hehehe,” jawab Yuk Darmi santai.

Ibu-ibu lain yang memperhatikan hanya menganggukan kepala saja mendengar jawaban Yuk Darmi. Memesan masakan pada cateringan merupakan hal biasa jika mereka tidak ingin repot-repot memasak.

Setelah pulang dari warung Mbak Solikha, Yuk Darmi bergegas menemui suaminya. “Pak, nanti jadi kan ya rencana kita?”

“Beres Bu, siap,” jawab Pak Umar dengan mengacungkan jempolnya.

 

***

Pada saat sore hari menjelang maghrib, Yuk Darmi dan Pak Umar berbegas menuju pekarangan untuk mengeksekusi rencananya, mengambil sesajen nasi tumpeng Mbah Jo.

“Pak, aman kan? Ngga ada orang?” tanya Yuk Darmi sedikit panik jika ada seseorang yang melihat aksinya.

“Ngga ada Buk tenang saja. Mana ada orang keluar waktu surup begini apalagi ini hari kamis. Sudah kita ambil saja Buk dengan cepat,” jawab Pak Umar.

Yuk Darmi dan Pak Umar pun bergegas mengambil sesajen nasi tumpeng Mbah Jo dengan cepat dan membawanya ke rumah mereka tanpa ada orang yang tahu.

Sesampainya di rumah, Yuk Darmi menata nasi tumpeng yang dia ambil ke dalam kotak sterefom agar tidak ada warga yang curiga bahwa masakan tersebut adalah nasi tumpeng sesajen Mbah Jo.

“Wah masih ada sisahnya, aku makan saja lah,” gumam Yuk Darmi dalam hati dan mulai menyantap sisa nasi tumpeng yang ada di depannya.

***

Acara barikan di gelar pada malam hari di balai pertemuan desa. Semua warga desa Karangkletak berjalan bersama menuju balai pertemuan. Ibu-ibu terlihat menenteng makanan dari rumah yang akan dikumpulkan.

“Yuk Darmi, sampean senyum-senyum aja dari tadi ngapain toh?” tanya Bu RT yang penasaran melihat Yuk Darmi senyum-senyum sendiri.

“Walah aku cuma seneng aja Bu RT bisa kumpul-kumpul sama warga terus makan bareng-bareng.” Jawab Yuk Darmi dengan santai. Padahal Yuk Darmi senang karena tidak perlu repot membuat masakan untuk acara barikan seperti ibu-ibu lainnya.

Semua warga telah berkumpul di balai pertemua, acara barikan segera dimulai dengan do’a bersama dan sambutan dari Ketua RT, Pak Rofi.

“Alhamdulillah bapak dan ibu semuanya, kita dapat berkumpul pada acara barikan yang ditujukan untuk merayakan hari jadi negara kita. Semoga kita selalu diberi perlindungan dan keberkahan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Aamiin”

Setelah acara doa dan sambutan dari ketua RT, semua warga desa menikmati makanan yang telah dibawa oleh ibu-ibu. Semua masakan dijadikan satu dengan alas daun pisang dan dimakan bersama-sama.

***

Keesokan harinya, semua warga desa Karangkletak mengeluh karena sakit perut yang mereka rasakan. Mereka kebingungan dan heran karena seluruh warga desa mengalami sakit perut yang hebat. Begitu juga dengan Yuk Darmi dan Pak Umar yang juga terkena sakit perut.

“Pak perutku sakit banget. Rasanya kayak di tusuk-tusuk,” kata Yuk Darmi dengan memegang perutnya.

“Aku juga Buk. Rasanya sakit banget. Mendingan habis ini kita ke mantri aja. Kita ke rumahnya Pak Agus”

Sesampaianya di rumah Pak Agus, Yuk Darmi dan Pak Umar sangat tekejut karena banyak warga yang mengantri di sana.

“Loh kok rame banget. Ada apa ini?” tanya Yuk Darmi.

“Seluruh desa terkena penyakit sakit perut Bu. Ndak tahu kok bisa seperti ini”

Melihat antrian yang panjang, Pak Agus dan isterinya yang juga seorang mantri desa segera memerikan para warga. Anehnya Pak Agus dan isterinya tidak melihat gejala sakit perut. Menurut mereka kondisi perut para warga desa baik-baik saja. Hal ini sontak membuat para warga sangat terkejut.

“Loh Pak, perut saya ini sakit sekali rasanya seperti di tusuk-tusuk. Para warga juga merasakan seperti itu kok” protes Yuk Darmi.

“Iya Bu, tapi beneran perut ibu dan bapak ibu semuanya ini baik-baik saja. Saya juga heran,” jelas Pak Agus dengan tenang.

Yuk Darmi pun tersadar dan menduga bahwa sakit perut ini disebabkan oleh nasi tumpeng yang dia ambil kemarin. Segera saja Yuk Darmi dan Pak Umar menuju rumah Mbah Jo dan menceritakan semua yang dia lakukan dengan sesajen Mbah Jo waktu itu.

“Maaf Mbah, saya tidak tahu kalau jadinya seperti ini”

“Lah ini, gara-gara sampean wani ngambil sesajen itu jadinya seluruh desa terkena balaknya. Sudah tahu itu sesajen buat persembahan penunggu sungai kok malah diambil!”

“Iya Mbah saya minta maaf,” jawab Yuk Darmi dengan menyeseal.

“Yasudah biar aku yang ngurus. Kamu bilang sama warga desa supaya membawa jajanan pasar saja sebagai ganti sesajen ke sungai.”

Dengan rasa menyesal, Yuk Darmi menceritakan semua kejadian dan pesan mbah Jo ke semua warga yang berkumpul.

“Oalah Yuk..Pantesan saja seluruh warga sakit perut. Ini semua ulah sampean toh!” ucap Pak RT dengan nada kesal.

“Yasudah, sekarang kita turuti saja apa kata Mbah Jo. Yang penting kita sembuh dulu,” usul salah satu warga dengan memegangi perutnya yang masih sakit.

Tanpa basa-basi lagi para warga segera membawa jajanan pasar ke pekarangan dan meletakkannya di depan pohon bambu besar. Meskipun begitu, para warga tetap berdo’a hanya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa untuk kesembuhan.

Setelah kejadian itu, para warga tidak ada yang berani pergi ke sungai Kulon pada hari kamis karena akan ada Mbah Jo bersemedi di sana. Yuk Darmi pun juga tidak pernah lagi pergi ke pekarangan untuk mencari kayu bakar dan mengikuti acara desa karena malu dan menyesal. Mereka menyadari bahwa manusia tidak boleh serakah dan harus menghormati tradisi yang ada sejak lama.

 

 

 

 

Ikuti tulisan menarik Qurrota A'yun lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB