x

Santri adalah penggerak Masyarakat

Iklan

nf nf

mahasiswi
Bergabung Sejak: 13 Desember 2021

Senin, 13 Desember 2021 14:40 WIB

Santri

Tentang santri yang mondok bukan di pesantren melainkan di rumah karena pandemi ini.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

SANTRI

Oleh: Nida Fauzia


Lingkungan pesantren sepi lengang. Semenjak wabah covid muncul, banyak karyawan dan pegawai pesantren yang diberhentikan sementara. Jumlah penghasilan yang didapat pun otomatis berkurang. Keadaan yang sulit semakin sulit. Jikalau bukan karena iman yang kuat yang Allah anugerahkan kepada hamba-Nya, putus asa menjadi jalan keluar terburuk. Menjadi penghasil kejahatan yang terjadi di muka bumi. Kasus bunuh diri semakin banyak terjadi. Pencurian, perampokan, dan pelbagai kriminalitas ramai mewarnai.
Bu Siti mengisi waktu senggangnya dengan bekerja di pabrik dekat rumah. Berusaha menyambung hidup dengan pekerjaan yang ada, yang penting halal. Beliau merupakan salah satu karyawan pesantren di bagian kebersihan pesantren. Bulan Maret tahun 2019 adalah bulan pertama pemberhentian sementara itu. Pada bulan itu pula, Bu Siti melamar pekerjaan di pabrik tersebut dan mulai bekerja.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan


“Mak, Kholid pengen buah jeruk. Kholid lihat Yiko beli jeruk banyak banget kemaren, terus Kholid jadi pengen.” rengek bocah berumur umur empat tahun itu kepada ibunya.
“Iya, Kholid, besok Mamak belikan. Sekarang kamu mandi dulu, ya! Terus makan, terus siap-siap salat maghrib bareng Bapak.” Bu Siti berusaha mengalihkan keinginannya beli jeruk dengan aktivitas selanjutnya. Cerdas. Namun tak menunggu waktu lama, janji itu akan selalu ditagih.
Bu Siti jelas sedang dalam kebingungan. Ia memikirkan bagaimana caranya dapat membelikan jeruk kesukaan Kholid. Suaminya hanyalah guru honorer di SD swasta. Bayarannya hanyalah setengah dari penghasilan Bu Siti saat bekerja di pesantren. Gaji terakhir yang ia terima di bulan Maret sudah habis untuk pembiayaan kakak Kholid yang pada tahun ini, naik kelas lima SD. Banyak kebutuhan yang harus dibeli. Belum ketika bahan-bahan pokok di pasar naik. Berapapun yang Bu Siti pegang sekarang tak pernah ia kabarkan suaminya. Saat suaminya memberinya jatah nafkah pun, Bu Siti tak pernah mengeluh. Diterimanya nafkah itu dengan penuh senyuman tanda syukur kepada Sang Pemberi Rezeki kemudian kepada suaminya tercinta. Ia adalah istri yang menyejukkan hati suaminya bahkan ketika suaminya dalam keadaan susah.


“Mamak besok mau beli jeruknya pagi, siang apa sore, apa malem?”
Benar saja, Kholid menanyakan pertanyaan itu kembali saat malam ketika hendak tidur. Lampu posisi telah dimatikan, tiba-tiba terlontarlah pertanyaan yang telah bercokol di bawah alam sadar Kholid kepada ibunya di sampingnya.


“Sudah, ya, Nak, tidur dulu. Besok siang, pagi, sore atau malam itu terserah Allah ngasih kita kapan. Yang penting tidur dulu. Malam sudah menjadi pertanda akan badan dan pikiran yang butuh diistirahatkan.” jawab ibunya menenangkan, walau pasti di hatinya ada sedih serta rasa harap kepada Allah subhanahu wa taala, memikirkan permintaan anak bungsunya.
Pagi hari, bakda subuh, seperti biasa, Bu Siti segera meluncur ke pasar, mencari bahan masakan yang akan ia masak untuk keluarga tercinta. Proses memilah milah itu tak sampai sepuluh menit, lagi pula tak banyak yang dibeli. Bu Siti hanya membeli kangkung, tempe, tahu, dan beberapa rempah dan bahan. Setelah itu, Bu Siti berbalik arah, bergegas pulang. Di pintu keluar pasar, terdengar dari kejauhan di dalam pasar, ada yang memanggil Bu Siti,


"Bu Siti, tunggu, Bu! Bentar, Bu!"


Bu Siti menoleh ke belakang mencari sumber suara. Tampak dari sepuluh meter Bu Siti berdiri, ada ibu paruh baya yang melambaikan tangannya, memanggilnya. Rupanya itu Bu Simi, ibunya Yiko yang hendak memberikan sesuatu kepada Bu Siti.
"Bu Siti, maaf, ini ada sedikit rezeki." tawar Bu Simi dengan tersenyum tulus sambil memberikan satu plastik berisi jeruk.


"Subhanallah, nda perlu repot-repot, Bu Simi. Ini jeruknya buat dek Yiko saja." Bu Siti berusaha mengembalikan bungkusan plastik itu ke tangan Bu Simi.
"Syuuut. Terima, Bu Siti, saya malah sedih kalau Bu Siti menolak pemberian saya. Ini kebetulan pas Kholid salat di masjid kemarin bareng bapaknya, si Yiko jadi pengen salat di masjid bareng Kholid. Alhamdulillah, ada temennya. Ayahnya Yiko ya mau gak mau juga harus salat di masjid nemanin Yiko, anaknya sendiri kok ga ditemenin. Alhamdulillah, bapak dan anak jadi ada kawannya pergi ke masjid."


"Itu kan dah kewajiban kita untuk saling mengajak dalam kebaikan Bu Simi." jawab Bu Siti penuh rasa syukur sekaligus tersenyum malu.


"Harapannya bisa terbiasa dan istiqomah, ya, Bu Siti."


"Iya, Bu, Amin. Semoga Allah selalu memberikan kita semua keistiqomahan dalam ketaatan. Hmm, saya terima pemberian dari Bu Simi, kebetulan Kholid lagi pengen jeruk. Terimakasih banyak, Bu Simi. Jazakumullah khoiron." ucap Bu Siti senang sambil mengangkat pemberian itu.


"Amin. Waiyyaki." jawab Bu Simi mengakhiri percakapan.

<--more-->
Bu Simi tahu dari suaminya, bahwa Kholid menginginkan jeruk karena di masjid, Kholid mengatakan kepada Yiko kalau dia juga mau membeli jeruk sepertinya. Mendengar perkataan Kholid itu, Pak Zamzam, bapaknya Yiko menjadi sedih. Selaku tetangga dekat Kholid, pak Zamzam tahu, betapa sulitnya keadaan ekonomi keluarga Pak Sufyan ini. Pastilah Kholid ingin jeruk karena melihat Ibunya Yiko beli jeruk kemarin. Pelbagai cabang pikiran bergelayut di benak Pak Zamzam. Tetangga macam apakah yang mebiarkan tetangga yang lain hanya diam melihat, sedang keluarganya santai menikmati. Diceritakanlah kejadian ini kepada istrinya, Bu Simi, untuk kemudian memintanya agar membelikan jeruk untuk keluarga Kholid.


"Wah, Mamak bawa apa?" tanya Kholid dengan penuh antusias setelah melihat bungkusan plastik di tangan ibunya.


"Alhamdulillah, jeruk, Nak. Ayo kita buka bareng-bareng."


Pagi itu, keinginan Kholid makan jeruk kesukaannya terpenuhi atas izin Allah. Betapa hebat cara-Nya dalam menggerakkan hati hamba-Nya untuk menggenapkan rezeki seluruh makhluk.

Sudah hampir dua tahun, pesantren berjalan secara daring. Membiasakan santri hidup berdampingan dengan alat elektronik yang dihukumi haram jika dimainkan di lingkungan pesantren. Menggerus hakikat nama 'santri'. Mempersempit aksi dalam tholabul ilmi. Bu Siti pun begitu, ia sangat galau dengan kepergian santri dari pesantren ke rumah. Alasan utamanya adalah, 'guru' itu pergi dengan ilmunya. Ya, biasanya, Bu Siti meminta santriwati yang sedang tidak sibuk, untuk mengajarinya baca Alquran. Dengan penuh keramahan dan keikhlasan, santriwati yang dimintai tolong itu menyanggupinya. Sungguh menakjubkan cara berpikir santri. Bahwa cara mahir dalam mempelajari sesuatu adalah dengan mengajarkan. Apalagi ini adalah Alquran, pedoman hidup, yang sudah sepantasnya mendarah daging di kehidupan sehari-hari. Bukankah Rasul juga mengatakan bahwa sebaik-baik muslim adalah mereka yang mempelajari Alquran dan mengajarkannya. Sungguh mengenaskan kehidupan tanpa Alquran. Bagi Bu Siti ini adalah musibah besar yang menimpanya, ketika Alquran, sumber kebahagiaan ini jauh darinya. Sebagai ibu, yang merawat dan membimbing anak, ia bersedih, belum bisa memberikan hak agama berupa pengajaran Alquran kepada anaknya karena dirinya saja masih butuh ilmu untuk itu. Dua tahun, hei itu 365 hari+365 hari, teramat lama, bagi yang sangat haus ajaran agama. Dehidrasi akut, mungkin bisa disebut


Kabar gembira pun datang. Pembelajaran terbatas diperbolehkan. Bu Siti senang bukan kepalang. Ia akan diperbolehkan bekerja di pesantren lalu bertemu santriwati dan akan belajar membaca Alquran dari mereka. Bu Siti juga berencana untuk mendaftarkan kakak Kholid, Kholil di pesantren tersebut. Supaya hak anaknya untuk mendapatkan pembelajaran agama sudah ia dan suaminya tunaikan. Bu Siti pun memutuskan untuk mengundurkan diri dari pekerjaannya di pabrik.


Suasana pesantren adalah suasana surga. Amalan-amalan soleh bermunculan. Wajah-wajah berseri-seri tersebar di mana-mana. Pertengahan tahun 2021, pembelajaran tatap muka itu dimulai. Yang wajib masuk adalah pengurus perkumpulan santri dan santri-santri baru. Kholil dan teman-temannya bersiap memasuki tempat pembinaan spiritual itu. Mengasah kemampuan diri dengan lingkungan yang mendukung agar dapat menghilangkan kebodohan dalam diri khususnya. Kemudian agar ilmu itu bisa ia dakwahkan kepada masyarakat sekitar.

Sehari menjelang masuknya santri baru, Bu Siti dan anak pertamanya mengobrol sebentar untuk persiapan hati, mental, dan sebagainya.


"Kholil, Mamak senang kamu mau sekolah di pesantren. Semoga, kepergianmu adalah tunas yang akan dituai kampung. Mungkin sekali-kali Mamak bisa jengukin Kholil kalau ada jadwal penjengukan. Maaf nda bisa setiap hari, karena kan, jarak antara bangunan santri dan santriwati jauh, Lil. Mamak kerjanya di bangunan santriwati."
ucap Bu Siti di kamar Kholil.


"Kalau begitu, nanti Kholil saja yang setiap hari ke bangunan santriwati." canda Kholil kepada ibunya.


"Bisa, ya, kakaknya Kholid ini." timpal ibunya sambil mencubit pipi Kholil.

"Oh, iya, Kholil mau diberi uang jajan berapa sebulan?" tanya ibu cemas memastikan jika anaknya meminta jatah bulanan di atas kemampuannya.


Kholid membalas tenang, "Mamak yang cantik, Kholid mau ke pesantren, bukan plesir. Berapapun yang Mamak kasih ke Kholid, Kholid sudah sangat bersyukur. Kalaupun ndak dikasih, juga ndak apa, Mak. Kita harus percaya rezeki-Nya tak akan terlewat selama ajal masih ditangguhkan."


Ibunya tersenyum haru mendengar jawaban Kholil. Sungguh beruntungnya, ia memiliki anak yang patuh lagi berlapang dada, serta tahu kondisi keluarga.


Percakapan plus persiapan itu berlangsung kurang dari 60 menit. Kholid yang baru bangun dari tidur siangnya langsung menyusul ibu dan kakaknya, ke sumber suara.

Kala itu, Kholid kecil sengaja menganggu persiapan Kholil. Ia tahu, sebentar lagi kakaknya hendak meninggalkan rumah dan tak lagi bersamanya.


"Kholid, ini kan udah Kakak beresin. Kholid tidur lagi, ya?" tegur kakaknya lembut. Ini adalah detik-detik terakhir bersama, bagaimana bisa Khoilil marah kepada adik kecilnya ini?

Kholid berada di antara ibu dan kakaknya yang sedang beres-beres. Sedang Kholid ingin mendapatkan perhatian kakaknya.


"Ndak mau. Kholid udah gak ngantuk." kata Kholid sambil menggelengkan kepalanya.

"Oke, deh, Kholid. Kholid, Kholid, Kholid pasti mau maen sama Kakak, kan?"

Sang kakak langsung faham maksud perangai Kholid. Dengan cekatan, Kholil mengambil bola di samping lemari kemudian mengajak adiknya main di halaman rumah.

Jam demi jam berlalu tanpa terasa. Hingga perpisahan penuh haru pada hari itu terjadi. Keluarga Pak Zamzam dan beberapa tetangga lain juga turut serta memberi dukungan kepada Kholil, calon santri kebanggaan kampung. Ada yang menambah jatah uang bulanan Kholil, ada pula yang menambah bekal makanan, dan tentu yang paling penting adalah doa terbaik bagi Kholil selama tholabul ilmi yang akan ia jalani.


"Kasihannya, kamu, Kholid, mau ditinggal kakaknya." Yiko berusaha menggoda kawannya yang sama-sama suka jeruk.


"Nggak ditinggal, Yiko, kakakku cuma mau belajar. Apa salahnya?" balas Kholid tak terima.

Percakapan lucu dua anak kecil itu menutup kepergian Kholil dengan bapaknya. Motor supra keluaran tahun delapan puluhan itu sudah sedari tadi dipanaskan. Barang-barang milik Kholil ditaruh di motor bagian depan, dan tengah antara Pak Sufyan dan Kholil. Bersiap diiringi niat yang terbumbung tinggi.


Waktu satu bulan di pesantren, telah Kholil tempuh. Jam kunjung santri belum dibuka. Begitupun Bu Siti, telah mengenal beberapa santriwati baru. Bu Siti bingung, bagaimana caranya ia meminta santriwati untuk mengajarinya membaca Alquran? Di antara para ratusan santri, yang mana pula yang ia akan mintai pertama kali. Di dalam dirinya ada rasa segan. Bagaimana kalau santriwati itu super sibuk? Dua tahun berlalu, santriwati yang Bu Siti kenal dahulu, banyak yang sudah lulus dari pesantren. Kini tinggallah santriwati baru, dan pengurus santri yang memenuhi bangunan pesantren yang luas. Mereka begitu asing bagi Bu Siti. Di tengah gelapnya keputusasaan yang dirasakan, ia melihat cahaya dari seorang santriwati yang selalu menyapanya dengan senyum manisnya di pagi hari. Sesuai salat duha, sebelum melakukan pekerjaannya, Bu Siti sudah membukatkan tekad untuk menanyakan perihal ini kepada santriwati ini.


"Assalamualaikum warahmatullahi wa barakatuh, Ibu Siti."


"Waalaikumussalam warahmatullahi wa barakatuh, Neng."

Prediksi Bu Siti akan kehadiran santriwati baru yang ia maksud pagi ini benar. Seperti biasa, senyum sapanya sungguh mendinginkan hati dan pikiran.


Setalah menjawab salam, Bu Siti dengan mengajaknya berbicara dengan nada rendah dan intonasi pelan,


"Neng, Neng, kira-kira si Eneng bisa ngajari ibu ngaji baca Alquran ndak?"
Diam sesaat, kemudian santriwati itu menjawab dengan senyuman manis itu,

"Iya, Bu Siti? Boleh. Ibu maunya kapan?"


"Emang, Neng punya waktu luang, kapan?" tanya balik Bu Siti, segan.


"Pagi sebelum saya masuk kelas, bagaimana, Bu?"


"Oh, iya, deh kalau begitu. Insyaallah bisa. Oh, iya, Neng ini namanya Neng siapa?"


"Nama saya Zia, Bu Siti." jawab Zia, ramah, padahal Bu Siti pernah melontarkan pertanyaan yang sama.


"Oh, iya, Zia. Zia, Zia, Zia. Kemarin perasaan Ibu udah tanya. Lupa, Ibu."
Jawaban yang teramat melegakan hati Bu Siti. Rupanya sangat mudah kalau benar-benar diniati.


Bagi Zia, tawaran ini adalah kesempatan emas. Semenjak di pesantren, kegiatan mengajar TPA, dan ibu-ibu tak lagi bisa ia lakukan. Ya, Zia sudah pandai baca tulis alquran sejak dini. Ia belajar itu semua dari orangtuanya langsung. Ketika kelas 5 SD, ia mulai terjun membantu orangtuanya mengajarkan Alquran kepada warga masyarakat sekitar. Kini, di pesantren, tidak ada yang ia lakukan selain mencari bekal sebanyak-banyaknya. Dengan tawaran mengajar dari Bu Siti, pengamalan ilmu yang telah ia dapat, akan lebih terarah dan teraplikasi. Oleh karenanya, tanpa pikir panjang, dia langsung mengiyakan dan membuat kesepakatan,
"Ibu biasanya metodenya pakai apa?"


"Terserah, Eneng. Jujur, ini Ibu pengen banget ngaji, tapi bingung ngaji ke siapa. Udah banyak yang lupa huruf-huruf hijaiyah, sama cara pelafalannya."
"Kalau begitu, insyaallah besok pakai iqro dahulu ya, Bu. Kita kuatin dulu huruf hijaiyah dan makhorijul hurufnya. Kalau itu sudah mutqin, insyaallah bisa ke jilid selanjutnya. Yang penting kuncinya istiqomah, ya, Bu. Sehari dua tiga halaman ndak masalah, yang penting keistiqomahannya."


Usai, membuat kesepakatan, lagi-lagi Zia tersenyum lebih lebar, ia izin kepada Bu Siti untuk memasuki bangunan madrasah. Waktu telah menunjukkan pukul tujuh kurang beberapa menit. Bu Siti mempersilakannya dengan senyum yang paling lebar selebar ia bisa tersenyum. Ia berkata kepada dirinya sendiri: "Alhamdulillah, Ya, Allah, pagi ini Engkau berikan hamba nikmat yang begitu besar. Ada jalan untuk bisa mempelajari kitab Alquran. Alhamdulillahirabbil alamin."


Santriwati yang bernama Zia ini berbeda dari kebanyakan santriwati lainnya. Ia memiliki rasa optimis yang besar. Di pagi hari, selalu ia berikan suntikan afirmasi-afirmasi positif kepada jiwanya sendiri, bahwa apapun yang terjadi di hari itu adalah kesempatan baginya untuk menyiapkan matinya kelak. Kebaikan apapun yang telah Allah bukakan jalan, wajib ditempuh guna memanfaatkan seluruh raga, pikiran, dan jiwa untuk sesuatu yang sudah semestinya. Ia memiliki pandangan yang luas dalam melihat segala sesuatu. Musibah yang menimpanya ia rasakan sebagai nikmat yang luar biasa. Pelbagai nikmat yang Allah telah beri, berkali-kali ia ingat. Setiap kali bertemu dengan banyak orang, pastilah mereka langsung tahu karakter santriwati periang yang satu ini. Sabar, dan selalu bersemangat.

Enam tahun sudah Kholil lewati. Di tahun kelimanya, Kholil menjadi ketua pengurus santri sedang Zia menjadi ketua pengurus santriwati. Keduanya mengemban posisi yang sama. Namun begitu, keduanya tak saling kenal. Mereka berdua begitu berhati-hati dalam berinteraksi kepada nonmahram. Kala itu, Kholil membuat agenda aksi berupa khidmat kepada masyarakat dengan memperbolehkan masyarakat belajar di pesantren setiap hari Sabtu, dan Ahad. Sedang Zia, membuat agenda aksi yang hampir sama, namun khusus untuk karyawan dan pekerja putri di lingkungan pesantren. Mereka berhak mendapat pengajaran Alquran dan pembelajaran agama lainnya. Lihat, Bu Siti telah melewati enam jilid dalam waktu satu tahun. Di tahun-tahun berikutnya, beliau fokus ingin memiliki banyak waktu dengan alquran. Beliau bahkan kini bisa mengajarkan Kholid yang telah menginjak usia SD, membaca Alquran dengan baik dan benar. Di tahun kelima beliau belajar mengaji bersama Zia, beliau sudah khatam dua kali dan sudah menghafal juz 30 dan beberapa surat pilihan. Masya Allah.


Pak Kyai dan Bu Nyai di pesantren menginginkan agar Kholil dan Zia mengabdi di pesantren. Ikut membimbing adik-adik tingkat. Namun Pak Kyai dan Bu Nyai tak mau memaksa. Keduanya berencana menikahkan Kholil dan Zia jika mereka bersedia. Bahkan selama proses mengabdi, keduanya diperbolehkan mengikuti proses perkuliahan melanjutkan jenjang studi guna meraih gelar sarjana dengan dibiayai dari pihak pesantren. Seperti yang telah disangka, keduanya saling suka walau belum pernah saling bertemu. Selama ini, Kholil hanya sering mendengar nama Zia, begitupun denga. Zia yang sering mendengar nama Kholil. Akan tetapi untuk bertatap langsung, keduanya belum pernah sama sekali. Bu Siti adalah yang tidak pernah menduga, bahwa santriwati yang dulunya ia minta untuk mengajarkannya mengaji, kini menjadi calon menantunya. Pak Deri selaku wali Zia dalam pernikahan sangat menyentui pernikahan yang sebentar lagi akan diberlangsungkan di masjid pesantren. Secara, Kholil adalah laki-laki yang baik agamanya, bisa membimbing Zia. Bahkan, keluarga Zia tidak terlalu mementingkan sisi materi, tak menuntut banyak dan tak memperberat mahar. Subhanallah, pernikahan yang mudah serta insyaallah diberkahi. Subhanallah, kehendak-Mu, Ya Allah.

Ikuti tulisan menarik nf nf lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler