x

ilustr: thegypsythread.org

Iklan

Frank Jiib

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 11 November 2021

Senin, 6 Mei 2024 13:06 WIB

Cinta yang Tak Sampai

Kali ini perasaanku mulai campur aduk antara senang dan takut karena akan bertemu dengan kedua orang tua Namira untuk pertama kalinya. Aku menarik napas panjang beberapa kali untuk sedikit meredakan ketegangan yang mulai aku rasakan, kemudian aku memencet bel yang ada di samping pintu.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kata orang perjalanan hidup ini penuh dengan kejutan yang tidak pernah kita duga sebelumnya. Banyak kejadian atau peristiwa yang terjadi di sekitar kita merupakan suatu kebetulan yang tidak disengaja, termasuk dengan munculnya benih-benih cinta yang bisa terjadi pada siapa saja dan di mana saja. Siang itu Stasiun Pasar Senen Jakarta terlihat sangat ramai dengan para calon penumpang yang akan melakukan perjalanan dengan menggunakan kereta api ke berbagai kota tujuan yang ada di Pulau Jawa. Pada saat itu aku baru saja turun dari bus kota tepat di depan Stasiun Pasar Senen, lalu segera berjalan santai menuju ke dalam area stasiun sambil melewati tempat parkir yang terlihat padat dengan deretan mobil yang tengah terparkir. Setibanya aku di lobi stasiun yang tampak megah dan modern ini, aku segera berjalan menuju ke barisan calon penumpang yang sedang antri untuk bisa masuk ke ruang tunggu keberangkatan yang berada di area dalam stasiun.

   Setelah melalui pemeriksaan tiket oleh petugas, akhirnya aku dipersilakan masuk ke dalam area ruang tunggu keberangkatan. Setelah berada di dalam area ruang tunggu keberangkatan, aku segera mengambil tempat duduk di salah satu deretan kursi yang tersedia. Kurang dari dua puluh menit, terdengar pengumuman dari pengeras suara yang memberi tahu bahwa kereta api Matarmaja telah tersedia di peron jalur nomor satu. Aku segera bangkit dari tempat dudukku, mengenakan tas bahu, lalu berjalan menuju ke tempat kereta api tengah berhenti di peron jalur satu. Dalam tiket yang aku pegang, di situ tertulis nomor kursi tempat aku duduk yang berada di gerbong kereta nomor sembilan. Segera aku menuju ke gerbong kereta nomor sembilan yang berada di urutan paling belakang sebelum kereta pembangkit. Setelah aku berada di dalam gerbong kereta dan duduk santai di kursi, tiba-tiba seorang wanita cantik berdiri di sampingku sambil berkata:

   “Mohon maaf sebelumnya, saya mau meletakkan koper di bagasi atas tempat duduk Anda,” katanya dengan tersenyum.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

   Aku segera bangkit berdiri dan dengan sigap membantu wanita itu meletakkan kopernya di bagasi atas tempat duduk. Kemudian ia mengucapkan terima kasih banyak sambil menunjuk kursi kosong yang berada di sampingku yang ternyata adalah tempat duduknya. Aku mempersilakannya untuk duduk lebih dulu dan kemudian aku kembali duduk di kursiku. Sungguh ini adalah sebuah kejutan yang tidak pernah aku duga sebelumnya. Selama perjalanan panjang nanti, aku akan ditemani dengan seorang wanita cantik yang terlihat bagaikan seorang bidadari yang turun dari kayangan.

   Tepat pada waktunya, akhirnya kereta api Matarmaja mulai berjalan perlahan meninggalkan Stasiun Pasar Senen menuju ke tujuan akhir yang berada di kota Malang, Jawa Timur. Selama di perjalanan, wanita cantik yang tengah duduk di sampingku terlihat selalu memandang ke luar jendela, seakan pemandangan hijaunya lahan persawahan begitu menarik perhatiannya. Tidak terasa malam pun tiba dan suasana di luar kereta begitu gelap sehingga tidak ada yang dapat dilihat kecuali siluet cahaya yang berkelebat dengan cepat. Untuk mengusir rasa bosan dan juga rasa penasaran terhadap wanita cantik yang tengah duduk di sampingku, akhirnya aku memberanikan diri membuka percakapan dengannya:

   “Mohon maaf sebelumnya, kalau boleh tahu nama Mbak siapa?” tanyaku dengan sopan.

   Wanita cantik itu segera berpaling menghadapku dengan senyum manisnya dan berkata, “Nama saya Namira. Kalau saya juga boleh tahu, nama Mas siapa?”

   “Nama saya Fauzan. Senang berkenalan denganmu Namira,” ujarku dengan wajah berseri-seri.

   “Sama-sama,” balasnya dengan senyum cantiknya. Kini, giliran ia yang bertanya kepadaku, “Kalau boleh tahu, Mas Fauzan nanti turun di stasiun mana?”

   “Saya nanti turun di Stasiun Kediri. Kalau Namira sendiri, nanti turun di stasiun mana?” tanyaku penuh selidik.

   “Sama, aku juga turun di Stasiun Kediri. Berarti perjalanan panjang kali ini akan kita lalui bersama,” ujar Namira dengan senyum yang terlihat sangat cantik dan hatiku seakan meleleh dibuatnya.

   Malam itu adalah malam terindah yang pernah aku lalui dalam perjalanan hidupku. Selama sisa perjalanan, aku dan Namira berbicara mengenai berbagai topik dan seakan kami adalah teman akrab yang sudah lama tak berjumpa. Malam itu aku jatuh tertidur di kursiku dengan perasaan cinta yang mulai mengembang di dalam hatiku. Itulah kejuatan terindah dalam hidupku, tetapi ada satu kejutan lainnya yang akan aku alami dalam perjalanan hidupku.

&&&

Sebelas bulan telah berlalu semenjak pertemuan pertamaku dengan Namira yang terjadi secara tidak sengaja dalam sebuah perjalanan dengan menggunakan kereta api. Sejak saat itu telah banyak hal yang aku lalui bersama Namira wanita yang begitu aku cintai. Pada suatu sore yang cerah ketika aku dan Namira sedang menghabiskan waktu bersama dengan menyusuri jalanan desa yang masih asri, lalu berhenti sejenak di atas sebuah jembatan yang di bawahnya mengalir air sungai yang berasal dari puncak gunung yang berdiri kokoh di belakang kami. Bisa dikatakan sore itu adalah momen terindah yang aku lalui bersama Namira. Ketika aku dan Namira tengah duduk berdua sambil melihat hijaunya lahan persawahan dengan berlatar langit biru sejauh mata memandang, tiba-tiba Namira berkata kepadaku:

   “Mas Fauzan, kapan Mas mau datang ke rumah untuk bertemu dengan kedua orang tuaku?”

   Mendengar pertanyaan Namira, aku langsung menoleh kepadanya dan memandang lurus tepat di matanya. “Namira, secepatnya aku akan datang ke rumah kamu untuk berjumpa dengan kedua orang tuamu,” jawabku dengan seulas senyum.

   “Sungguh! Mas Fauzan akan datang ke rumah Namira? Karena kedua orang tua Namira selalu bertanya mengenai Mas ‘Kapan dia mau datang ke rumah?’. Aku jadi tidak enak sendiri kalau setiap hari selalu ditanya soal kedatangan Mas Fauzan,” ujar Namira mencurahkan isi hatinya kepadaku.

   “Aku pasti datang ke rumah kamu Namira. Bagaimana kalau hari Sabtu depan?” tanyaku dengan perasaan senang di dalam hati.

   “Boleh Mas. Hari Sabtu depan aku tunggu kedatangan Mas ke rumah, supaya bisa berjumpa dengan kedua orang tua Namira,” jawabnya dengan senyum cantik di wajah.

   Sore itu perasaanku begitu berbunga-bunga karena sebentar lagi aku akan berjumpa dengan kedua orang tua Namira, dan semoga saja hubungan ini mendapatkan restu dari kedua orang tua Namira. Pada malam hari saat aku tengah duduk berdua dengan ibuku, aku menceritakan permintaan Namira kepadaku untuk datang berkunjung ke rumahnya agar kedua orang tuanya bisa berjumpa denganku. Mendengar berita baik yang baru saja aku sampaikan, wajah ibuku seketika nampak berseri-seri dan ada aura kebahagiaan yang terpancar jelas di wajahnya. Karena ibuku mengetahui, jika Namira adalah anak dari seorang yang terpandang dan bisa dibilang Namira adalah gadis tercantik yang ada di desa kami.

   “Alhamdulillah anakku,” kata ibuku, “semoga ini adalah langkah awal untuk kamu dan Namira bisa menjadi sepasang suami-istri.”

   “Terima kasih ibu. Aku juga berharap seperti itu, semoga pertemuan ini bisa membawa kebahagiaan untukku juga ibu. Karena selama ini ibu selalu mendorong aku untuk segera mencari pendamping hidup,” kataku sambil tersenyum memandang wajah ibuku.

   “Ibu sudah tidak sabar ingin segera melihat kamu duduk bersanding di pelaminan dengan Namira dan setelah itu, ibu akan memiliki serta menimang seorang cucu.” Wajah ibuku terlihat begitu bahagia ketika mengatakan ‘duduk bersanding di pelaminan dan memiliki seorang cucu’.

   “Aku begitu mencintai Namira ibu. Dan rasanya aku ingin bisa menjadi suami yang baik bagi Namira,” ujarku kepada ibuku.

   “Kamu jangan pernah meninggalkan shalat serta berdoa anakku. Semoga saja Namira ini adalah jodohmu, sehingga kalian berdua akan bertemu dan bersatu dalam sebuah ikatan suci,” ucap ibuku sambil memberi nasehat kepadaku.

   “Aku akan selalu ingat nasehat dari ibu, karena aku bagitu menyayangi ibu.” Aku langsung memeluk ibuku karena hanya inilah harta terindah yang aku meliki saat ini. Aku juga ibuku bukan datang dari keluarga kaya dan pekerjaanku hanyalah seorang karyawan toko dengan gaji bulanan. Sedangkan keseharian ibuku hanya di rumah saja, dan saat ini ibuku sudah tidak bekerja lagi karena faktor usia dan tidak sepatutnya ibuku bekerja banting tulang mencari nafkah. Tugasku saat ini yang harus bekerja keras banting tulang agar dapat membahagiakan ibuku di kemudian hari.

&&&

Pada hari Sabtu malam aku akhirnya menepati janjiku datang untuk dapat bertemu dengan kedua orang tua Namira yang sudah begitu penasaran denganku. Selepas shalat magrib, aku mengendarai sepeda motor bututku menuju ke rumah Namira yang terletak di desa sebelah. Kurang dari lima belas menit perjalanan, aku telah tiba di desa tempat Namira tinggal yang hanya dipisahkan oleh sebuah sungai sebagai batas antara dua desa. Dengan perlahan aku menyusuri jalan desa yang terlihat begitu ramai pada hari sabtu malam. Tidak jauh dari persimpangan jalan, aku melihat sebuah rumah dua lantai dengan dinding luar yang tersusun dari batu bata setinggi dua meter dan tepat di tengahnya terdapat sepasang pintu gerbang dari kayu. Dengar perlahan aku melajukan motorku menuju ke rumah Namira yang terlihat sangat besar dan mewah dengan bermandikan cahaya lampu.

   Setelah sampai di depan pintu gerbang dari kayu, aku segera berhenti dan turun dari motorku. Kemudian aku berjalan mencari tombol bel pintu lalu menekannya. Tidak berapa lama seorang penjaga rumah membuka sedikit pintu gerbang dan bertanya kepadaku:

   “Selamat malam Mas, ada yang bisa saya bantu?” tanyanya dengan sopan.

   “Saya mau bertemu dengan kedua orang tua Namira, karena saya sudah berjanji untuk datang ke rumahnya pada hari sabtu malam ini,” jawabku apa adanya kepada penjaga rumah yang sedang bertugas.

   “Kalau begitu Mas tunggu sebentar di sini. Kalau boleh tahu, nama Mas siapa?” tanya petugas itu kembali.

   “Nama saya Fauzan,” ujarku dengan senyum.

   “Baiklah, saya akan segera kembali,” jawabnya, lalu menghilang di balik pintu.

   Kurang dari dua menit akhirnya pintu gerbang kayu itu terbuka dan aku segera dipersilakan masuk oleh penjaga tadi. Aku segera mendorong motorku masuk ke halaman rumah Namira yang nampak begitu indah. Di sebelah kanan terdapat sebuah taman dengan rumput hijau yang terpotong rapi. Tidak ketinggalan terlihat beberapa lampu taman dengan cahaya lampu berwarna kuning. Sedangkan di sebelah kiri, terdapat beberapa pot bunga serta tanaman anggrek yang ditempel di dinding. Aku terus mendorong motorku hingga tiba di depan teras rumah yang bermandikan dengan cahaya lampu. Aku segera memarkir motorku lalu berjalan ke teras rumah hingga aku berhenti di depan sebuah pintu yang terbuat dari kayu jati yang mengkilat dan terlihat sangat kokoh.

   Kali ini perasaanku mulai campur aduk antara senang dan takut karena akan bertemu dengan kedua orang tua Namira untuk pertama kalinya. Aku menarik napas panjang beberapa kali untuk sedikit meredakan ketegangan yang mulai aku rasakan, kemudian aku memencet bel yang ada di samping pintu. Dengan sabar aku menunggu hingga terdengar suara kunci diputar dan sesaat kemudian akhirnya pintu terbuka. Alangkah terkejutnya aku ketika mengetahui Namira tengah berdiri di balik pintu kayu sambil memandangku dengan wajah cantiknya. Perasaan cinta yang ada di dalam hatiku rasanya sudah tak tertahankan lagi. Sungguh, ingin sekali rasanya aku bisa memeluknya dengan erat dan tidak akan pernah kulepaskan lagi.

   “Selamat malam Mas Fauzan,” kata Namira kepadaku yang langsung membuyarkan lamunan yang ada di kepalaku.

   “Selamat malam juga Namira,” balasku dengan senyum bahagia di wajahku.

   “Aku ucapkan terima kasih, Mas Fauzan akhirnya berkunjung ke rumahku untuk bertemu dengan kedua orang tuaku,” ujar Namira yang terlihat begitu bahagia dengan kedatanganku.

   “Sama-sama Namira. Aku juga merasa senang. Akhirnya malam ini aku bisa berjumpa dengan kedua orang tua kamu,” balasku.

   Setelah basa-basi singkat, akhirnya Namira mempersilakan aku untuk masuk ke ruang tamu dan duduk di kursi yang tersedia. Aku segera masuk ke dalam ruang tamu rumah Namira dan segera duduk di kursi berlengan yang terbuat dari kulit. Namira segera masuk kembali ke dalam rumah untuk memanggil kedua orang tuanya. Tidak berapa lama ayah beserta ibu Namira akhirnya datang menemuiku di ruang tamu. Aku segera bangkit untuk bersalaman dengan kedua orang tua Namira dan kembali duduk.

   Itulah saat pertama kali aku bertemu dengan kedua orang tua Namira yang terlihat begitu berwibawa. Malam itu aku dan kedua orang tua Namira saling berbincang santai, ditengah-tengah obrolan Namira kembali ke ruang tamu dengan membawa beberapa hidangan yang ia letakkan di atas meja dan segera kembali masuk ke dalam. Akhirnya, aku memberanikan diri untuk menyampaikan maksud serta keinginanku kepada kedua orang tua Namira.

   “Bapak dan ibu, maksud kedatangan saya ke sini malam ini adalah untuk meminta izin. Bolehkah saya menikah dengan Namira?” kataku dengan perasaan campur aduk.

   Kedua orang tua Namira tidak langsung menjawab setelah mendengar permintaan yang baru saja aku sampaikan. Terjadi keheningan di ruang tamu rumah Namira yang sepertinya akan berlangsung lama. Namun, keheningan itu dipecahkan oleh suara ayah Namira.

   “Mas Fauzan,” kata ayah Namira, “sebelum saya menjawab permintaan kamu tadi, saya mau bertanya terlebih dahulu.”

   “Silakan kalau bapak mau bertanya kepada saya,” kataku dengan suara pelan.

   “Mas Fauzan, kalau boleh saya tahu Mas kerja di mana?”

   “Saya saat ini bekerja sebagai karyawan di sebuah toko,” jawabku dengan jujur.

   Mendengar jawaban yang keluar dari mulutku, seketika wajah kedua orang tua Namira berubah dan seakan tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.

   “Jadi, Mas Fauzan ini pekerjaannya hanyalah seorang karyawan toko?” tanya ibu Namira dengan suara yang terkesan merendahkan.

   “Benar ibu, saya hanya seorang karyawan toko.”

   “Begini Mas Fauzan. Mengenai permintaan kamu yang tadi, saya sebagai orang tua Namira tidak setuju dan tidak memberi izin. Jadi Mas Fauzan, kamu tidak akan pernah bisa menikah dengan anak saya Namira,” jawab ayah Namira dengan tegas dan tanpa kompromi.

   Mendengar keinginanku ditolak saat itu juga sontak membuatku terkejut. “Kenapa permintaanku langsung ditolak? Apakah ada yang salah dengan diriku juga pekerjaanku saat ini?” tanyaku dengan getir.

   “Alasannya sederhana,” ujarnya dengan santai sambil menatapku seolah aku orang yang tidak tahu malu, “karena pekerjaan kamu hanyalah seorang karyawan toko. Apakah mungkin dari gaji bulanan seorang karyawan toko bisa untuk menghidupi kebutuhan keluarga kamu? Harusnya kamu itu ngaca terlebih dahulu sebelum berbicara.”

   Kata-kata yang baru saja aku dengar seakan menghancurkan impianku saat itu juga. Aku tidak pernah menyangka, jika pekerjaan sebagai seorang karyawan toko ternyata dipandang sebelah mata bahkan sangat rendah dan hina. “Aku akan berusaha sekuat tenaga untuk bisa membahagiakan Namira, karena semua bisa berubah seiring dengan berjalannya waktu.”

   “Aku tetap tidak akan setuju jika Namira menikah denganmu, dan bisa-bisa Namira akan menderita hidupnya ketika telah bersama denganmu,” ujarnya dengan tatapan menghina serta merendahkan. “Dengar baik-baik! Aku sendiri yang akan pilihkan calon suami yang paling cocok buat Namira, supaya anakku bisa hidup bahagia setelah menikah tapi itu bukan dengan kamu pastinya.”

   “Aku menyadari jika aku memang berasal dari keluarga miskin, tapi aku sangat mencintai Namira dan ingin bisa menikah dengannya,” kataku berusaha memperjuangkan cintaku yang hampir kandas dihantam oleh kenyataan pahit bahwa cintaku ditolak.

   “Baguslah kalau kamu menyadari posisi kamu yang tidak sepadan dengan keluarga kami yang terpandang. Jadi saran saya, carilah wanita lain di luar sana dan aku yakin pasti ada wanita yang akan mau menerima dirimu dan cintamu dengan tulus serta apa adanya.”

   Mendengar ucapan yang terkesan menghina membuat telingaku menjadi panas dan emosi di dalam diriku mulai meningkat. Ternyata jalanku untuk bisa hidup dengan Namira akhirnya pupus sudah untuk selamanya. Aku tidak akan pernah bisa untuk selalu berada di sampingnya. Hanya ada secuil kenangan indah saat pertama kali aku bertemu dengan Namira dalam sebuah perjalanan dengan menggunakan kereta api yang akan selalu membekas di dalam ingatan serta hatiku.

   “Mas Fauzan, jika kamu sudah selesai dengan semua ini silakan pulang,” kata ayah Namira dengan nada memerintah seakan keberadaanku di tempat ini bagai kotoran yang harus segera dibuang.

   Semakin lama aku duduk di sini semakin aku merasa jengkel dan muak dengan kesombongan ayah Namira yang begitu membanggakan akan status sosial yang dimilikinya.

   “Baiklah. Bapak juga ibu saya pamit dulu dan tolong sampaikan salam saya kepada Namira,” pintaku sambil bangkit dari tempat dudukku.

   “Pasti akan saya sampaikan salam Mas Fauzan kepada Namira,” balasnya singkat tanpa ada senyuman di wajahnya.

   Setelah berpamitan dengan kedua orang tua Namira, aku segera pergi meninggalkan rumah mewah itu yang telah menjadi mimpi buruk yang tidak pernah aku duga sebelumnya. Dalam perjalanan pulang ke rumah, aku menyempatkan untuk berhenti di tempat aku biasa bertemu serta menghabiskan waktu bersama dengan Namira. Malam itu aku tak kuasa menahan air mataku saat memikirkan nasib cintaku yang tulus ternyata tidak direstui oleh kedua orang tua Namira. Akan tetapi, ada satu hal yang membuatku merasa sakit hati manakala kedua orang tua Namira beranggapan jika seorang karyawan toko tidak bisa membahagiakan istrinya ketika telah menikah. Apakah semuanya harus diukur dengan harta benda dan materi? Bukankah cinta itu adanya di dalam hati dan hanya bisa dirasakan oleh dua insan yang menjalaninya? Hatiku begitu hancur malam itu, seakan dunia yang aku tempati terbelah dan akhirnya pecah berkeping-keping beserta potongan-potongan kenangan indahku bersama Namira wanita yang begitu aku cintai.

   Aku hanya bisa duduk termenung seorang diri sambil memandang gelapnya malam yang ada di hadapanku tanpa tahu akan ke mana hidupku setelah semua kejadian ini. Hanya tuhan yang tahu akan seperti apa jalan hidup yang akan aku lalui ke depan dan itu semua masih menjadi misteri.

_Tamat_

Ikuti tulisan menarik Frank Jiib lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler