Lampung (Belum) Berjaya
Minggu, 2 Januari 2022 09:25 WIB
LAMPUNG (BELUM) BERJAYA
Tujuh minggu yang lalu dalam tulisan https://www.rmollampung.id/dua-tahun-memimpin-lampung-arinal-nunik-dinilai-gagal-penuhi-target, saya menyatakan Pemerintah Provinsi Lampung atau lebih tepatnya Gubernur dan Wakil Gubernur Lampung telah dua tahun berturut-turut gagal mencapai sasaran kinerja ekonomi dan sosial yang ditetapkan dalam Rencana Kerja Pemerintah Daerah Provinsi Lampung tahun 2020 dan tahun 2021. Penjelasan detil dan rujukan data yang saya gunakan dapat dibaca pada tulisan bersambung https://www.rmollampung.id/siapa-yang-mendalilkan-dia-harus-membuktikan-1 dan https://www.rmollampung.id/siapa-yang-mendalilkan-dia-harus-membuktikan-2
Lima hari yang lalu sama seperti tahun sebelumnya, Gubernur Arinal memaparkan “Refleksi Akhir Tahun”. Dalam 57 halaman dokumen yang beliau paparkan saya tidak menemukan satupun data yang dapat menjadi penyanggah pernyataan saya sebelumnya, dua tahun berturut-turut sasaran kinerja ekonomi dan sosial RKPD Provinsi Lampung gagal tercapai. Berikut tautan untuk mengunduh dokumen bahan paparan gubernur https://drive.google.com/file/d/1JWnPJXUFDIPy_eFkJH-E0Q0GmTjMowzy/view?usp=sharing
Mari kita maklumi saja ketidakmampuan Gubernur Lampung membantah kegagalan pencapaian target yang ditetapkan RKPD 2020 dan 2021 untuk pertumbuhan ekonomi (year on year), PDRB per kapita, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT), dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Selain sangat sulit, membantah sesuatu yang telah terjadi dan menjadi fakta memang bukan perbuatan yang terpuji. Karena itu dengan suka cita tulisan ini akan mengikuti sistematika dokumen yang dipaparkan Gubernur Arinal, membaginya ke dalam empat bagian yang beliau sebut dengan istilah Pilar Pembangunan.
Pilar Ekonomi
Kita mulai dengan halaman 8, saya senang Gubernur Arinal mengakui bahwa pertumbuhan ekonomi Lampung (yoy) selama beberapa tahun terakhir selalu berada di atas rata-rata nasional dan Sumatera. Sayangnya beliau tidak berani mengakui bahwa hampir dua tahun terakhir, semenjak kepemimpinannya pertumbuhan ekonomi Lampung selalu berada di bawah rata-rata pertumbuhan ekonomi Sumatera dan sempat berada di bawah rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional.
Alih-alih menyajikan infografis pertumbuhan ekonomi Lampung dibandingkan provinsi lain di Sumatera, Gubernur Arinal justru menampilkan infografis kontribusi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Benar bahwa Lampung berada pada posisi ke-4 dalam hal kontribusi PDRB di Sumatera, dan itu bukan berita baru karena sejak masa orde baru sudah begitu. Melalui infografis itu mestinya Gubernur Arinal menjelaskan mengapa dengan jumlah penduduk nomor dua paling banyak di Sumatera kok PDRB Lampung tidak sampai separuh PDRB Sumatera Utara dan PDRB Riau, Lampung berpenduduk lebih besar tetapi PDRB nya hanya tiga perempat PDRB Sumatera Selatan.
Pada halaman 10 Gubernur Arinal menyajikan infografis tentang Nilai Tukar Petani (NTP), menarik karena sampai merasa perlu memberi catatan bahwa NTP bukan alat ukur kesejahteraan petani. Padahal kita semua mafhum bahwa NTP adalah salah satu indikator untuk mengukur kesejahteraan petani. Kementerian Pertanian, BAPPENAS bahkan Presiden selalu menggunakan data NTP dari BPS sebagai indikator yang paling mendekati untuk memaparkan kondisi kesejahteraan petani Indonesia. Mungkin Gubernur Arinal menunggu angkanya sudah membaik seperti di masa Gubernur Ridho dan Gubernur Sjachroeddin dulu baru ia akan mengakui bahwa NTP adalah salah satu alat ukur kesejahteraan petani.
Gubernur Arinal (entah karena tidak mau atau tidak mampu) juga tidak menjelaskan sedikitpun penyebab buruknya angka NTP Lampung dua tahun terakhir, selalu berada di papan bawah dan beberapa kali di posisi juru kunci di antara provinsi lainnya di Sumatera. Padahal selama sekitar enam belas tahun sejak tahun 2003, NTP Lampung selalu berada di papan atas bahkan seringkali menjadi juara di Sumatera.
Saya kira tadinya karena beliau seorang insinyur pertanian maka tidak akan kesulitan memberi penjelasan mengapa kondisi buruk itu bisa terjadi selama dua tahun sementara program Kartu Petani Berjaya (KPB) yang menjadi andalan juga sudah belasan purnama dijalankan. Bisa jadi pernyataan beliau dua hari yang lalu yang meminta para bupati untuk ikut membantu menjalankan program KPB adalah bentuk pengakuan jujur bahwa program andalan itu masih belum berjalan sesuai harapan.
Melihat infografis halaman 11 yang menunjukkan penurunan produksi kopi sebesar 2,5% atau sekitar tiga ribu ton pada tahun 2021 dibandingkan tahun 2020, terus terang saja saya menjadi penasaran. Apakah dalam penjelasan lisannya Gubernur Arinal memaparkan penyebab penurunan produksi itu berikut strategi peningkatannya kembali? Karena keduanya tidak tertuang dalam bahan paparan tertulis yang dibagikan.
Infografis pada halaman 15 tentang produksi padi dan luasan panen seperti mengamini komentar saya beberapa minggu yang lalu terkait publikasi penghargaan Kategori Peningkatan Produksi Padi Tertinggi tahun 2020 yang diterima Gubernur Arinal. Ternyata peningkatan tahun 2020 itu belum mampu dipertahankan menjadi tren yang berkelanjutan karena baik jumlah produksi maupun luasan panen semuanya turun di tahun 2021. Jumlah produksi berkurang hampir 178 ribu ton dan luasan panen turun sebesar hampir 55 ribu hektar.
Kita belum lupa bahwa secara resmi program KPB baru dilaunching pada bulan Oktober tahun 2020, artinya peningkatan hasil produksi dan luasan panen tahun 2020 itu tidak begitu besar dipengaruhi oleh program KPB. Pada tahun 2021 program KPB sudah berjalan sepanjang tahun, tetapi mengapa hasil produksi dan luasan panennya malah menurun? Silogisme kondisi ini akan membuat kita senyum-senyum sendiri karena kesimpulannya akan menempatkan KPB dalam posisi yang kurang baik seakan-akan justru menjadi salah satu penyebab penurunan itu.
Foto-foto dan narasi pada halaman 17 cukup menarik, Lampung mendapat penghargaan lima provinsi terbaik dalam kategori kelahiran pedet (anak sapi) tertinggi tahun 2021. Capaian jumlah kelahiran sapi dan kerbau terbanyak ketiga nasional ini kita simpan sebagai catatan dan akan kita periksa kembali akhir tahun depan dan tahun berikutnya. Mengapa demikian? Karena dari data BPS, ternyata jumlah produksi daging sapi di Lampung cenderung stabil selama tujuh tahun terakhir, belum ada lonjakan besar walaupun jumlah ternak sapi tujuh tahun terakhir trennya naik terus dengan rata-rata penambahan sekitar 7% pertahun.
Data tentang kerbau lebih menyedihkan, hewan yang dijadikan simbol kebesaran dalam upacara adat di Lampung itu justru terus menurun populasi dan produksi dagingnya di Lampung. Produksi daging kerbau tahun 2009 masih di kisaran 550 ton, tahun 2020 anjlok hanya sekitar 110 ton saja. Populasinya pun mengalami hal yang sama, jika pada tahun 2009 masih tercatat 43 ribu ekor maka pada tahun 2020 hanya tinggal sekitar 19 ribu ekor. Karena itu capaian tingkat kelahiran tahun 2021 ini baru akan terlihat dan teruji keberhasilannya di tahun-tahun mendatang, apakah terjadi lonjakan produksi daging sapi dan kerbau atau tetap stabil atau malah menurun?
Setelah melihat angka-angka statistik terkait hewan ternak di Lampung, saya baru tahu bahwa produksi susu sapi, daging ayam dan telur di Lampung mengalami peningkatan luar biasa di kurun waktu lima tahun dari tahun 2014 sampai tahun 2019. Produksi susu sapi naik 8 kali lipat, produksi daging ayam naik 3 kali lipat, produksi telur naik 2,5 kali lipat selama lima tahun itu. Tahun 2020, hanya produksi telur yang relatif stabil sementara produksi susu dan daging sapi juga produksi daging ayam mulai menurun. Tim kerja Gubernur Arinal di bidang pertanian tampaknya tidak perlu malu untuk belajar dengan tim kerja bidang pertaniannya Gubernur Ridho agar di sisa masa jabatan Gubernur Arinal semua produksi itu bisa kembali meningkat.
Terlepas dari angka-angka statistik bidang pertanian yang belum menggembirakan, kita tetap harus memberi apresiasi terhadap program KPB karena telah memberikan beasiswa sekolah untuk anak-anak petani di Lampung walaupun dananya disinyalir masih bersumber dari APBD. Kementerian Pertanian dan BNI juga layak diberi apresiasi karena telah ikhlas mempersilakan KPB memanfaatkan layanan KUR Tani dengan data base dan sistem yang sudah lebih dulu mapan dan familiar di kalangan petani jauh sebelum ada KPB.
Bakauheni Harbour City (BHC) ditayangkan pada halaman 18. Melihat laporan tahunan (annual report) PT Hutama Karya (HK), PT Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan (ASDP) dan PT Indonesia Tourism Development Coporation (ITDC) tahun 2020 (semoga saya segera memperoleh annual report tahun 2021), saya menjadi tidak terlalu optimis dengan masa depan percepatan pengerjaan proyek mercu suar itu. Kondisi keuangan ketiga-tiganya cukup terpukul keras oleh pandemi, ITDC masih harus menyelesaikan pekerjaan utamanya terkait pengelolaan Nusa Dua Bali dan Mandalika Lombok yang hampir mati selama dua tahun terakhir sementara HK sendiri belum selesai menghentikan pendarahan hebat akibat pembangunan tol Trans Sumatera yang telah begitu besar menguras sumber daya mereka. ASDP kondisinya juga tidak terlalu baik, investasi pembangunan terminal eksekutif di Merak dan Bakauheni secara kasat mata tampak belum menghasilkan tambahan pendapatan sebagaimana yang diangankan.
Paparan gubernur tentang Lampung Kaya Festival sayangnya tidak dibarengi dengan sajian data terkait jumlah wisatawan, tidak diketahui seberapa besar efek domino dari penyelenggaraan festival-festival itu terhadap peningkatan jumlah wisatawan di Lampung. Begitu juga paparan tentang pengembangan ekonomi kreatif, UMKM dan koperasi, tidak ada data yang dapat dijadikan bukti bahwa telah berhasil memberi daya ungkit terhadap perekonomian Lampung. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Lampung yang justru naik ketika sembilan provinsi lainnya di Sumatera turun, jelas menjadi berbanding terbalik dengan klaim keberhasilan pengembangan pariwisata dan perekonomian kreatif, karena jika berbanding lurus maka angka pengangguran di Lampung juga turun.
Sajian data neraca perdagangan luar negeri tahun 2021 yang ditampilkan oleh Gubernur sangat terbatas informasinya, padahal banyak hal menarik yang dapat dikemukakan ke publik. Dari data rilis BPS per Oktober 2021 dapat diketahui ternyata sumbangsih sektor pertanian masih sangat kecil hanya sebesar 11,13%, jauh di bawah sektor pertambangan sebesar 24,47% apalagi jika dibandingkan dengan sektor industri pengolahan yang menyumbang 64,40% nilai ekspor Lampung. Industri pengolahan kita juga sudah relatif tumbuh dengan baik tetapi ketergantungan terhadap impor bahan baku atau bahan penolong masih terlalu tinggi, nilainya sebesar 94% dari total nilai impor.
Halaman 23 dan 22 bercerita tentang rencana industri pertahanan di Tanggamus dan pemberdayaan BUMD, bagi saya keduanya tidak menarik untuk dibahas. Cerita tentang industri pertahanan sebentar lagi akan menjadi hikayat saking sudah begitu lamanya masih tetap sekedar rencana. Sementara soal BUMD-BUMD milik Pemerintah Provinsi Lampung, sudah jadi pengetahuan umum seperti apa kondisinya. Alih-alih menjadi unit usaha produktif yang berkontribusi besar terhadap pendapatan daerah, mereka justru lebih sering menjadi beban karena terus menerus masih meminta pembiayaan dari APBD.
Ketika pemerintah pusat di tingkat nasional dan pemerintah provinsi lainnya sedang berjibaku berusaha melakukan penyederhanaan jumlah BUMN dan BUMD seraya meningkatkan efektivitas kinerja, Gubernur Lampung justru ingin menambah berlipat ganda jumlah BUMD nya. Padahal saya yakin publik lebih menantikan aksi nyata dan bukti perbaikan yang dikerjakan gubernur terhadap BUMD yang telah ada ketimbang mendengar keinginan mendirikan BUMD yang baru.
Pilar Sosial
Paparan pada pilar ini diawali dengan infografis tentang Indeks Pembangunan Manusia (IPM), sayangnya tidak disajikan data bagaimana laju peningkatan IPM di Lampung selama tujuh tahun terakhir. Tahun 2014 IPM Lampung di angka 66,42 selama lima tahun naik sebesar 3,15 menjadi 69,57 pada tahun 2019, rata-rata naik 0,63 setiap tahun. Tahun 2021 IPM Lampung sebesar 69,90 dan ini berarti hanya naik 0,33 selama dua tahun terakhir dengan rata-rata kenaikan hanya 0,17 per tahun. Pelambatan laju kenaikan ini menyebabkan IPM Lampung tertinggal menjadi yang paling rendah di Sumatera dan menjadi satu-satunya yang masih masuk kategori “sedang” sementara sembilan provinsi lainnya sudah masuk kategori “tinggi”.
Infografis pada halaman 27 tentang Angka Kemiskinan di Lampung. Saya tidak tahu capaian penurunan angka kemiskinan sebesar 1,5% yang mana yang diklaim sebagai keberhasilan dari kepemimpinan Gubernur Arinal. Dari tautan https://lampung.bps.go.id/pressrelease/2021/07/15/948/persentase-penduduk-miskin-lampung-maret-2021-turun-menjadi-12-62-persen-.html dapat dilihat bahwa selama lima tahun kepemimpinan gubernur sebelumnya telah berhasil menurunkan angka kemiskinan dari sebesar 10,96% menjadi sebesar 9,22%. Turun sebanyak 1,74% dengan rata-rata penurunan 0,35% per tahun.
Pandemi tentu menjadi penyebab tren itu terhenti dan mengubah penurunan menjadi peningkatan angka kemiskinan, tetapi menariknya dampak itu lebih keras terasa di Lampung jika dibandingkan dengan dampaknya secara nasional. Pada kurun waktu yang sama di tingkat nasional pandemi menyebabkan kenaikan angka kemiskinan paling besar hanya 0,46%, tetapi di Lampung pandemi mampu memaksa angka kemiskinan naik sampai setinggi 0,97%. Bahkan di Maret tahun 2020 ketika dampak pandemi belum terlalu meluas, angka kemiskinan di Lampung sudah naik 0,86% dibandingkan dengan kondisi September tahun 2019, sementara secara nasional hanya naik 0,04% saja. Bisa jadi angka kemiskinan di Lampung memang sudah bergerak turun dengan tajam sebelum pandemi datang.
Maka semua foto penerimaan penghargaan atas berbagai kategori pada halaman-halaman berikutnya menjadi terasa hambar, apalah artinya semua itu jika pada akhirnya statistik Angka Kemiskinan, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT), dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) malah menunjukkan kondisi yang masih jauh panggang dari api. Dalam sepakbola ini seperti kita menerima penghargaan atas operan terbanyak dan sundulan tertinggi tetapi skor pertandingannya menunjukkan kita kalah 0-3 dari lawan. Jika masih penasaran silakan berselancar di laman mesin pencari, niscaya kita masih tidak sulit menemukan berita tentang kekerasan terhadap perempuan dan anak maupun berita tentang konflik sosial sepanjang tahun 2021 di Lampung.
Soal penanganan pandemi COVID-19 saya kira publik juga sudah cukup tahu bagaimana mencekamnya situasi di sepanjang bulan Juni sampai Agustus kemarin, puncaknya tentu di bulan Juli ketika kita harus kehilangan hampir seribu orang saudara kita selama bulan itu. Cerita tentang kelangkaan oksigen, obat-obatan dan ruang perawatan menjadi percakapan umum dalam keseharian kita saat itu, di sisi lain vaksinasi bergerak sangat lambat sehingga Lampung sempat selama enam bulan menjadi juru kunci capaian persentase vaksinasinya secra nasional.
Dalam laporan Analisis data COVID-19 Indonesia per tanggal 26 Desember 2021 yang dipublikasi oleh Satgas COVID-19 Nasional https://covid19.go.id/p/berita/analisis-data-covid-19-indonesia-update-26-desember-2021 , Lampung masih menempati posisi tertinggi untuk persentase angka kematian dan posisi terendah untuk persentase angka kesembuhan. Dua posisi itu sejatinya paling representatif menggambar-kan seperti apa penanganan pandemi COVID-19 di Lampung. Alhamdulillah atas kegigihan Polri dan TNI saat ini capaian persentase vaksinasi di Lampung tidak lagi menjadi juru kunci nasional walaupun masih tetap berada di bawah rata-rata capaian nasional baik untuk dosis pertama maupun dosis kedua.
Tentu kita bergembira dengan prestasi para atlit dan pelatih pada PON XX di Papua, dengan jumlah perolehan medali yang sama seperti pada PON XIX di Jawa Barat hanya 36 medali, Lampung beruntung dapat kembali masuk 10 Besar. Kembalinya dominasi Lampung di cabang olahraga senam menjadi pembeda capaian antara kedua PON itu. Peringkatnya memang membaik, tetapi Lampung belum kembali ke masa-masa ketika mampu memperoleh medali setidaknya 64 medali seperti pada PON XVI di Palembang atau di masa Orde Baru ketika Lampung sering menempati posisi 5 Besar dan menjadi yang terbaik di luar Jawa. Kita juga prihatin dengan pemeriksaan terhadap penggunaan anggaran KONI Lampung yang masih terus berjalan di kejaksaan walaupun penyelenggaraan PON nya sudah lama selesai.
Pilar Hukum dan Pemerintahan
Dua tahun terakhir komposisi APBD Provinsi Lampung tidak begitu ideal karena besaran belanja pegawai relatif lebih banyak ketimbang belanja barang dan jasa. Merujuk pada Kajian Fiskal Regional tahun 2020 yang dipublikasi oleh Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Lampung, ruang fiskal yang dimiliki pemerintah provinsi juga sangat sempit, pada tahun 2020 hanya sebesar 7%. Kapasitas fiskal Pemprov Lampung juga masih termasuk kategori “sedang”, sama seperti Pemkab Lampung Selatan, Lampung Tengah dan Pringsewu. Tulang Bawang Barat dan Pesawaran adalah dua pemda yang kapasitas fiskalnya masuk kategori “sangat rendah”, sementara Lampung Timur masuk kategori “Tinggi” dan Bandar Lampung kategori “Sangat Tinggi”, sisanya yang lain masuk kategori “Rendah”.
Dari sisi Rasio Kemandirian (ketergantungan terhadap Dana Transfer dari APBN), Bandar Lampung menjadi yang paling baik karena ketergantungan terhadap Dana Transfer (DT) hanya sebesar 44,75%. Pemprov Lampung di posisi ke-2 dengan ketergantungan DT sebesar 58,27%. Tanggamus dan Metro di posisi ke-3 dan ke-4 dengan angka ketergantungan DT sebesar 61,99% dan 64,36%. Tulang Bawang Barat dan Lampung Barat menjadi dua daerah yang paling tinggi ketergantungannya terhadap DT, yaitu sebesar 74,02% dan 70,26%. Sepuluh daerah lainnya termasuk memiliki ketergantungan tinggi terhadap DT, berkisar di atas 65 % sampai 70%. Data ini menunjukkan bahwa hampir semua pemerintah daerah di Lampung masih sangat bergantung pada Dana Transfer dari APBN untuk membiayai jalannya pemerintahan di daerah.
Berita tentang pencekalan dan info penetapan tersangka terhadap mantan Dirjen Bina Keuangan Daerah menjadi berita yang sangat menarik diikuti. Ditengarai perilaku koruptif itu telah berlangsung sejak yang bersangkutan masih menjabat sebagai Direktur Fasilitasi Dana Perimbangan dan Pinjaman Daerah. Semoga KPK dapat segera mengungkap pemda mana saja yang selama bertahun-tahun ini bermain mata untuk memperoleh rekomendasi yang diperlukan dalam pengajuan pinjaman baik ke PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) maupun ikut program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).
Bukan bermaksud mengajari, para penyidik KPK tentu dapat menelusurinya dengan menggunakan data dari kajian fiskal Kementerian Keuangan. Daerah-daerah dengan kapasitas fiskal termasuk kategori tinggi atau sangat tinggi, juga memiliki tingkat kemandirian yang baik karena ketergantungannya terhadap DT relatif kecil, memang layak diberi rekomendasi untuk memperoleh pinjaman. Tetapi jika sebuah daerah kapasitas fiskalnya masuk kategori sangat rendah kemudian ketergantungannya terhadap DT juga tinggi masih mendapat rekomendasi pinjaman, patut diduga ada “upaya luar biasa” yang telah dilakukan untuk itu.
Teman-teman media bisa membantu kerja para penyidik KPK dengan mulai mempublikasi pemerintah daerah mana saja di Lampung yang selama lima tahun terakhir memperoleh pinjaman SMI dan atau PEN, kemudian ditabulasi menggunakan kriteria kapasitas fiskal dari Kementerian Keuangan. Pasti akan terlihat daerah-daerah mana saja yang sesungguhnya kurang layak diberi pinjaman tetapi tetap memperoleh pinjaman. Di dunia perbankan jika seorang calon debitur yang tidak layak diberi pinjaman masih diberi pinjaman, biasanya terjadi karena ada permufakatan jahat dengan pejabat bank yang berwenang.
Sebelum masuk ke pilar terakhir, saya ingin membahas tentang dua penghargaan yang dipajang gubernur pada halaman 45 dan 47. Sama seperti tahun lalu, Lampung kembali mendapat penghargaan dari Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) untuk kategori persaingan usaha dan kemitraan usaha. Dalam sebuah artikel Kepala Kantor Wilayah KPPU Provinsi Lampung menulis bahwa salah satu pertimbangan adalah meningkatnya jumlah produksi bidang pertanian sementara perekonomian Lampung memang didominasi oleh sektor pertanian. Menurut beliau hal itu menggambarkan kondisi persaingan usaha yang sehat karena semakin sehat akan semakin produktif.
Saya sependapat dengan pernyataan itu, tetapi sayangnya data peningkatan produksi yang digunakan malah data tahun 2020, bukan data tahun 2021 yang kembali turun. Kalau konsisten dengan premis dalam pernyataan itu maka penurunan produksi pertanian Lampung tahun 2021 dibandingkan tahun 2020 justru menggambarkan memburuknya kondisi persaingan usaha di Lampung pada sektor pertanian.
Untuk kategori kemitraan usaha saya kira mudah saja mengujinya, tanyakan saja kepada para petani dan pelaku usaha singkong di Lampung. Jika memang praktik oligopsoni sudah tidak lagi dirasakan oleh para petani singkong kita, berarti benar bahwa kemitraan dan persaingan usaha di Lampung telah membaik. Tetapi jika kondisinya masih sama saja seperti tahun-tahun sebelumnya, maka penghargaan yang diberikan menjadi kehilangan makna.
Saya ikut merasa bangga ketika membaca berita Lampung mendapat penghargaan masuk 10 Provinsi Terbaik Perencanaan Pembangunan Daerah (PPD) dari BAPPENAS. Keesokan harinya saya mendapat kiriman dokumen dari salah seorang teman yang bekerja di BAPPENAS, isinya tentang penghargaan itu. Dulu namanya lebih mentereng, Anugerah Pangripta Nusantara, diselenggarakan sejak tahun 2011. Selama sepuluh tahun sejak 2011 sampai 2019 pemberian penghargaan hanya diberikan kepada tiga pemenang terbaik, untuk kategori provinsi maupun kabupaten/kota. Entah menagapa di tahun 2021 ini penghargaan diberikan juga untuk daerah yang masuk 10 besar. Mungkin mengikuti jejak pemberian penghargaan yang diberikan oleh Kementerian Dalam Negeri yang juga diperbanyak sejak tahun lalu.
Selama sebelas tahun sudah ada 33 provinsi yang menjadi pemenang. Sumatera Selatan menjadi provinsi paling sukses di Sumatera, lima kali menang bahkan pernah sekali menjadi juara pertama. Bengkulu tahun lalu juara ke-2 dan tahun ini juara ke-3. Nanggroe Aceh Darussalam dan Jambi masing-masing pernah sekali menjadi juara ke-2. Tahun 2021 ini Sumatera Barat menyamai prestasi yang pernah diukir olehSumatera Selatan, menjadi juara pertama secara nasional. Membaca daftar para pemenang penghargaan itu rasa bangga saya mulai menciut, apalagi setelah teman saya juga mengatakan bahwa Lampung sudah pernah masuk dalam peringkat 10 besar pada tahun-tahun sebelumnya tetapi bedanya dulu tidak diumumkan apalagi diberi penghargaan.
Dalam literatur Strategic Management and Public Value yang banyak ditulis oleh Bryson, Moore, Bozeman, De Jong dan para pakar lainnya, dikenal beberapa indikator yang digunakan sebagai alat ukur terpenuhinya nilai publik (public value). Berkurangnya keluhan, meningkatnya kepuasan dan efektifitas pemecahan masalah (problem solver) menjadi tiga indikator yang paling relevan untuk mengukur nilai publik dari sebuah program atau kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah sebagai lembaga pelayan publik. Tampaknya indikator nilai publik belakangan sudah dianggap tidak begitu penting sehingga seringkali penghargaan yang diberikan seperti tidak mewakili kondisi yang dirasakan oleh masyarakat.
Pilar Lingkungan
Semangat saya untuk membahas pilar terakhir ini seketika menurun begitu membaca halaman ke-49 bahan paparan gubernur. Ada infografis tentang Indeks Resiko Bencana (IRB), mestinya narasi yang ditulis jangan terkesan membanggakan kenaikan indeks karena itu super konyol. IRB ini berbeda dengan IPM, jika IPM makin naik semakin baik maka IRB makin naik semakin buruk karena berarti resiko bencananya semakin besar. Mestinya staf penyusun bahan paparan ini menuliskan narasi bahwa IRB Lampung tahun 2020 walaupun belum dapat diturunkan tetapi setidaknya masih dapat dicegah kenaikannya, tidak seperti tahun 2019 yang naik tajam dibandingkan tahun sebelumnya.
Kita akan membahas tentang kerusakan lingkungan, illegal logging dan illegal mining beserta dampaknya pada tulisan yang lain, kali ini saya akan merujuk pada Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SK. 1370/MENLHK/ SETJEN/KUM.1/12/2021 tentang Hasil Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup Tahun 2020-2021 yang dapat diunduh di tautan https://proper.menlhk.go.id/proper/berita/detail/348. Kita akan lihat seperti apa pengelolaan lingkungan hidup perusahaan-perusahaan besar di Lampung karena itu juga cukup menggambarkan kemampuan dan keberpihakan pemerintah daerah pada sektor lingkungan.
Ada 47 perusahaan besar yang mendapat kategori terbaik yaitu kategori “emas”, PT Bukit Asam Unit Pelabuhan Tarahan menjadi satu-satunya perusahaan di Lampung yang memperoleh kategori ini. Sedangkan pada kategori “hijau” yang diberikan kepada 186 perusahaan besar, hanya ada dua perusahaan di Lampung yang mendapatkannya, PT Pertamina Geothermal Energy Ulu Belu dan PT Pertamina MOR II Pelabuhan Panjang. 80 perusahaan besar di Lampung lainnya termasuk Sungai Budi Group, Sugar Group Companies dan Great Giant Pinneaple hanya masuk kategori yang biasa-biasa saja, kategori “biru” yang hanya setingkat lebih baik daripada kategori “merah”. Ada 1.670 perusahaan besar secara nasional yang masuk kategori ini.
645 perusahaan masuk ke dalam kategori buruk berlabel “merah” dan ternyata ada empat perusahaan di Lampung yang masuk kategori memalukan ini. PT Sinar Pematang Mulia II pabrik tepung di Lampung Tengah, PT Fermentech Indonesia pabrik MSG di Lampung Timur, PT LDC Indonesia pabrik Olekimia Dasar di Bandar Lampung dan PT Huma Indah Mekar (HIM) pabrik dan perkebunan karet di Tulang Bawang Barat. PT HIM sendiri sedang menghadapi persoalan hukum terkait gugatan masyarakat adat terkait kepemilikan dan penggunaan lahannya.
Dengan hanya tiga perusahaan yang masuk kategori baik dan ketiganya BUMN kemudian masih ada empat perusahaan masuk kategori buruk, saya kira belum cukup terlihat upaya yang telah dilakukan pemerintah daerah di Lampung dalam mendorong dan memaksa perusahaan-perusahaan besar memperbaiki pengelolaan lingkungan hidup pada lingkup area usaha mereka.
Catatan Akhir
Sebuah harian cetak di Lampung pada tanggal 28 November 2021 kemarin memberi judul bombastis pada berita yang menjadi tajuk utamanya; “Investasi Lampung Melesat”. Saya kemudian melakukan tabayyun dengan membuka data pada laman NSWi (National Single Windows for investment) milik Kementerian Investasi Indonesia dan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) untuk mengetahui apakah benar berita tentang melesatnya investasi Lampung itu.
Dari data yang saya lihat di tautan https://nswi.bkpm.go.id/data_statistik, saya berusaha membandingkan besaran investasi di Lampung tahun 2021 ini dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya dan dengan provinsi lainnya di Sumatera agar lesatan yang dimaksud oleh harian cetak itu dapat saya fahami. Investasi yang saya cek kedua-duanya, baik Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) maupun Penanaman Modal Asing (PMA).
Dibandingkan tahun 2020, ternyata investasi di Lampung pada tahun 2021 justru menurun. Jika sebelum nya sebesar 14,27 triliun rupiah (7,12 triliun PMDN + 7,15 triliun PMA), maka di tahun 2021 menurun menjadi hanya sebesar 11,05 trilun (8,91 triliun PMDN + 2,14 triliun PMA). Tahun 2018 nilainya juga masih lebih besar dibandingkan dengan tahun 2021, sebesar 14,22 triliun (12,32 triliun PMDN + 1,9 triliun PMA). Sangat jelas bagi saya lesatan yang dimaksud dari perbandingan ini tidak terjadi.
Saya kemudian bandingkan dengan nilai realisasi investasi provinsi lainnya di Sumatera, ternyata tidak ada juga yang luar biasa. Lampung memang biasa berada di posisi ke-4 atau ke-5, hampir selalu berada di belakang Riau, Sumatera Utara dan Sumatera Selatan. Ketika dihitung seberapa besar persentase investasi yang masuk ke Lampung dari total investasi yang masuk ke Sumatera, delapan tahun terkahir relatif stabil di kisaran 6% dampai mendekati 8%. Tahun 2018 justru menorehkan catatan terbaik karena dari total nilai investasi yang masuk ke Sumatera, 11,17% nya menjadi realisasi investasi di Lampung. Dari perbandingan ini, saya meyakini lesatan yang dimaksud juga tidak terjadi.
Tentang bahayanya penyebaran informasi yang dilakukan secara massif, kita semua banyak yang pernah membaca sebuah kalimat populer dari seorang petinggi NAZI Paul Joseph Goebbels. Ia berkata “a lie told once remains a lie but a lie told a thousand times becomes the truth", terjemah bebasnya “kebohongan yang disampaikan sekali tetap hanya akan menjadi kebohongan, tetapi kebohongan yang disampaikan ribuan kali akan berubah diterima sebagai kebenaran”.
Saya sama sekali tidak bermaksud mengatakan ada praktek kebohongan atau kerja disinformasi yang tengah berlangsung. Saya hanya ingin mengatakan bahwa para cendekiawan khususnya akademisi di kampus dan teman-teman jurnalis di Lampung sejatinya memiliki tanggungjawab intelektual dan moral untuk memastikan setiap informasi yang dibagikan oleh lembaga negara termasuk pemerintah daerah dapat dipertanggungjawabkan kebenaran dan akurasinya sebelum disebarluaskan menjadi konsumsi publik. Keteguhan merawat rasionalitas dan menjaga sikap obyektif itu tentu menuntut pengorbanan, terutama secara mental di ruang perasaan. Hanya keihklasan yang dapat menjadi obat penawar paling baik untuk mengobatinya.
Selamat Tahun Baru, semoga di tahun 2022 Tuhan YME, Allah SWT senantiasa melimpahkan karunia kesehatan dan memudahkan segala urusan yang menjadi hajat hidup masyarakat Lampung.
---------------------------
Nizwar Affandi
Dewan Pakar Majelis Adat Kerajaan Nusantara

Penulis Indonesiana
0 Pengikut

Lampung (Belum) Berjaya
Minggu, 2 Januari 2022 09:25 WIB
Muktamar yang Kami Tunggu
Jumat, 24 Desember 2021 15:49 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler