x

Suasana pabrik tahu tempe di sentra produksi yang berlokasi di Semanan, Kalideres, Jakarta Barat, pada Kamis, 7 Januari 2021. Tempo/Fajar Pebrianto

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Kamis, 24 Februari 2022 13:28 WIB

Solidaritas Sosial di Balik Harga Baru Tahu

Menaikkan harga dan memperkecil ukuran tahu dan tempe merupakan contoh konkret bagaimana rakyat banyak saling memahami kesukaran masing-masing. Di dalam kenaikan harga dan pengecilan ukuran tahu itu tersimpan semangat solidaritas sesama rakyat.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Pagi ini, penjual tahu keliling sudah berputar lagi di sekeliling kampung. Setelah dua-tiga hari puasa makan tahu, makanan favorit keluarga Indonesia ini tersedia kembali. Tempe—makanan khas kita yang sudah mendunia, dan di beberapa negara disebut tempeh [pakai abjad h]—juga sudah ada.

Memulai pagi dengan tahu dan tempe goreng memang pas, walaupun harganya naik dibanding sebelum krisis kedelai. Untuk 10 potong tahu, harganya naik seribu rupiah dari harga semula Rp 6 ribu. Mudah-mudahan tidak memberatkan mayoritas rumah tangga, sebab semua orang berusaha memahami bahwa produsen tahu serta penjual keliling tak sanggup jika harus berhenti berproduksi dan berhenti menjual tahu lebih lama. Dapur rumah mereka juga harus ngebul.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Krisis kedelai ini sebenarnya juga terjadi pada tahun lalu. Para produsen tahu, yang umumnya dari kategori UKM, menyiasati kenaikan harga bahan baku ini dengan memperkecil ukuran tahu. Ibu dan bapak rumah tangga yang menggemari tahu niscaya mengetahui perubahan ukuran ini. Tapi mereka memaklumi, sebab pengecilan ukuran itu hanya sedikit.

Dua respons produsen dan penjual keliling itu, terpaksa menaikkan harga dan memperkecil ukuran tahu dan tempe, merupakan contoh konkret bagaimana rakyat banyak saling memahami kesukaran masing-masing. Di dalam kenaikan harga yang seribu rupiah maupun pengecilan ukuran tahu itu tersimpan memori solidaritas sesama rakyat.

Begitulah cara rakyat banyak bertahan hidup dari gelombang tekanan yang setiap hari datang. Bagi rakyat banyak, tahu dan tempe bukan sekedar lauk teman nasi, tapi menjadi sumber protein nabati yang terjangkau dengan rasa yang enak. Daging sapi, domba, ayam, maupun ikan memang sumber protein yang sangat kaya, tapi kebanyakan rakyat tidak mudah menjangkaunya.

Apakah para elite kita memahami realitas hidup di tingkat akar rumput ini, lantaran setiap hari mereka berada di gedung dan rumah yang pelayannya siap menyajikan hidangan apapun yang mereka inginkan. Bahkan ketika mereka bersantap bersama di kedai-kedai favorit, lalu diliput jurnalis dan ditayangkan di media massa, mereka juga tidak tahu berapa harga makanan di kedai itu.

Mayoritas ketua partai politik, umpamanya, mungkin tidak tahu harga tahu, tempe, ayam, kangkung, maupun bawang daun, sebab tidak pernah mengunjungi pasar tradisional. Mereka niscaya tidak tahu bahwa uang dua ribu rupiah masih berarti di lapak-lapak pasar ini untuk mendapatkan sejumlah tertentu toge atau beberapa batang serai.

Karena itu, kenaikan harga tahu dan tempe itu cukup berarti bila kemudian diakumulasi dalam satu bulan dengan asumsi setiap kelurga menyediakan 10 potong tahu di meja makan setiap hari. Tapi, demi solidaritas sesama rakyat banyak, kenaikan seribu rupiah per 10 potong tahu itu sama-sama dipahami dan diikhlasi.

Sebab itu pula, rakyat menjerit manakala harga minyak goreng melambung, sedangkan pemerintah hanya mampu mengeluarkan jurus-jurus klasik yang tidak ampuh, seperti operasi pasar, inspeksi dadakan, subsidi, penetapan harga eceran tertinggi, namun terbukti tidak berfungsi efektif di pasar. Lagi pula, jurus-jurus instan itu tidak bisa dilakukan terus-menerus.

Persoalan pokok ekonomi kita tidak tersentuh sama sekali, dan terlihatlah betapa swasta raksasa terlihat lebih digdaya ketimbang pemerintah dalam mengatur jalannya perekonomian. Ketika pemerintah tidak siap mengatasi persoalan harga kedelai, yang sebenarnya berulang kali terjadi, rakyat telah menemukan jalan keluarnya sendiri. Inilah wujud konkret solidaritas sosial rakyat banyak tanpa perlu berkoar-koar. >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler