Tuhan musim panen hendak tiba
tetapi lihatlah—“padi tak menunduk ke tanah
jagung berdiri tanpa sehelai rambut
kacang, singkong dan sabahat lainnya
menghadap matahari tanpa nyawa”.
Tubuh hujan mungkin sudah lelah
—tak lagi bergairah memangku bumi
dan perlahan menyerahkan nyawanya pada terik
untuk menjatuhkan segalanya yang bernapas.
Kepada tetesan keringat ayah—“aku mendaraskan napas kehidupan
dengan kedua telapak tangan tengadah dan basah oleh air mata
yang tak kunjung mengering, sebab padamu perutku tak lagi lapar dan haus”.
Oh, ibu—“setiap gerak jarimu merajut cinta, sehalus sutra sebening air
dengan setetes diam sabdamu kepada Tuhan, perutku tak lagi lapar dan haus”.
Kepada tanah, air dan karang-karang hitam di telaga
adakah esok segala cinta masih terbaca dalam ayat-ayat perjalanan?
atau hanya mengunjungi rumah-rumah sebagian orang
yang suka bercanda dalam dosa—untuk menyalibkan kasih
yang dimuliakan dari kelahiran bumi
sehingga berkat yang jatuh hanyalah sebuah dongeng semata.
Oh, Tuhanku: berapa lama lagi?
Atambua, 23 Februari 2022
Ikuti tulisan menarik Silivester Kiik lainnya di sini.