x

Luter

Iklan

Elis Susilawati

Mahasiswi UIN Jakarta
Bergabung Sejak: 23 Desember 2021

Rabu, 11 Mei 2022 13:47 WIB

Analisis Feodalisme dalam Novel Awal dan Mira Karya Utuy Tatang Sontani

Artikel ini membahas feodalisme yang ditemukan dalam novel "Awal dan Mira" karya Utuy Tatang Sontani

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Feodalisme adalah sistem sosial atau politik yang memberikan kekuasaan yang besar kepada golongan bangsawan. Pada masa kolonial, pemerintahan di Indonesia dikuasai oleh golongan bangsawan dalam maupun asing. Selain kekuasaan, feodalisme juga menuntut bangsa Indonesia untuk hormat dan patuh terhadap golongan bangsawan. Setelah Indonesia merdeka, sistem pemerintahan dibentuk dan mulai terstruktur. Akibatnya, pada pasca kolonial, feodalisme itu runtuh karena pemerintahan Indonesia memiliki visi yang kuat serta program kerja yang unggul untuk memajukan negara Indonesia.

Novel Awal dan Mira

Awal dan Mira merupakan drama satu babak karya Utuy Tatang Sontani. Drama ini pertama kali terbit dalam majalah Indonesia, Nomor 8, Tahun II, Agustus 1951 dan Nomor 9, Tahun II, September 1951. Drama Awal dan Mira kemudian terbit dalam bentuk buku pada tahun 1957 oleh penerbit Balai Pustaka. Novel Awal dan Mira membahas peristiwa yang terjadi setelah kemerdekaan, antara lain, dampak, propaganda, kedudukan sosial, percintaan, dan sebagainya. Drama ini berhasil mendapatkan hadiah dari BMKN sebagai drama terbaik pada tahun 1952. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Analisis Feodalisme dalam Novel Awal dan Mira

Novel Awal dan Mira muncul pada pasca kolonial. Terdapat keruntuhan feodalisme yang ditemukan dalam novel ini akibat dari merdekanya negara Indonesia. Runtuhnya sistem sosial dan politik golongan bangsawan memberikan celah kepada masyarakat Indonesia masa itu untuk bertindak lebih maju dengan tujuan yang sama, yakni memerdekakan Indonesia. Hancurnya feodalisme saat itu membuat Utuy Tatang Sontani memberikan julukan badut terhadap manusia yang tidak memiliki pondasi hidup sendiri akibat dari runtuhnya sistem politik dan sosial golongan bangsawan dalam novel Awal dan Mira. Perhatikan kutipan berikut!

“Omongan badut. Hh, berjuang berdampingan-tanah air yang indah dan molek! Enak saja bicara. Dia sendiri tidak akan tahu apa yang dikatakannya. Asal saja berbunyi.” (halaman 6)

Awal merupakan sosok laki-laki yang terkena dampak dari runtuhnya feodalisme. Ia adalah orang dari golongan menak (bangsawan Sunda) yang hidup sendirian setelah terjadi peperangan. Pada kutipan di atas dapat kita ketahui bahwa Awal tidak menyetujui ucapan perempuan yang bersumber dari radio. Ia menganggap bahwa perempuan tersebut hanya menggunakan suatu pondasi untuk memengaruhi bangsa lain agar ikut membangun negara Indonesia. Awal berlainan paham karena pada masa sebelum peperangan, golongannya memiliki kekuasaan yang besar tanpa perlu bekerja dengan keras. Hal tersebut sejalan dengan kutipan berikut.

“Apa arti golongan atas di zaman edan seperti sekarang ini? Sangka Ibu perempuan yang tadi berpidato di radio itu dari golongan atas? Perempuan bicara asal berbunyi? Orang-orang semacam itulah yang menguasai masyarakat kita sekarang-orang-orang yang maunya mengatasi orang lain dengan bicara terus bicara, tidak tahu jiwanya sendiri kering dangkal, dunianya sendiri sempit. Lebih sempit dari ini kedai kopi.” (halaman 8)

Kutipan di atas memberikan pernyataan dengan tersurat bahwa pada pasca kolonial, Indonesia dikuasai oleh orang yang bukan berasal dari golongan kelas atas. Runtuhnya feodalisme terbukti dari ucapan Awal yang menyebutkan golongan atas sudah tidak memiliki tempat untuk menguasai Indonesia. Hal tersebut terjadi karena Indonesia perlu bersaing di ranah internasional dengan menunjukan kualitas dirinya dengan memiliki kinerja yang baik. Sebelum adanya peperangan, Indonesia hanya dikuasai oleh golongan bangsawan dalam ataupun luar negeri. Mereka memiliki tempat yang tinggi bukan didasarkan oleh unggulnya hasil kerja, melainkan dengan adanya pembagian kelas sosial dan politik. Runtuhnya sistem sosial dan politik golongan bangsawan pasca peperangan memunculkan dampak, seperti dalam kutipan berikut.

“Yang nyata kelihatannya seperti orang tidak waras otak. Tetapi, ya, di zaman sekarang memang tidak sedikit orang yang tidak waras otak. Dia tentu berasal dari golongan menak, ya, Bu?” (halaman 10)

Dari kutipan di atas dapat diketahui bahwa merosotnya sistem sosial dan politik pada golongan bangsawan berhasil menimbulkan keberanian golongan tengah dan bawah masa itu untuk mencibir golongan atas. Mereka merasa bahwa golongan atas yang sudah tidak lagi memiliki kekuasaan masih berharap dirinya mendapatkan hormat serta penghargaan. Akan tetapi, karena hal tersebut tidak terjadi, maka muncul kekesalan golongan atas terhadap masyarakat bawah yang hanya ikut-ikutan dalam menopang pilar dan merebut kekuasaan dari golongan bangsawan. Runtuhnya feodalisme juga memengaruhi pemikiran bangsawan golongan atas yang terkena imbasnya, seperti dalam kutipan berikut.

“Zaman kebesaran nabi Muhammad! Hh, enak saja bicara, seperti pernah hidup di zaman itu. Justru perkataan semacam itulah yang menunjukkan Bapak seorang badut, yang berarti tidak ada gunanya bicara dengan saya!” (halaman 34)

Dari kutipan di atas dapat kita ketahui bahwa Awal menyebut seorang Bapak dengan istilah badut. Hal tersebut didasari oleh pemikiran Awal yang menganggap bahwa seseorang yang hanya mengikuti ucapan seseorang dinilai sebagai orang yang tidak memiliki pendirian, kepercayaan, atau pondasi. Awal terus menjuluki orang-orang yang ia temui dengan istilah badut. Jika ditelusuri lebih dalam, pengaruh dari runtuhnya feodalisme ini memengaruhi psikologis Awal. Ia tidak percaya dengan setiap manusia yang ia jumpai. Awal menganggap bahwa orang-orang yang ditemui merupakan manusia golongan tengah ke bawah yang hanya mengucap omong kosong belaka, tidak memiliki prinsip hidup dan kepercayaan sendiri. Prinsip pasca peperangan adalah setiap orang, baik perempuan maupun laki-laki harus saling bahu membahu dalam membangun Indonesia yang lebih maju. Akan tetapi, penyeruan kepercayaan untuk damai itu diiringi dengan saling mempersenjatai diri. Perhatikan kutipan berikut!

“Mas, apa yang kau lakukan selama ini di hadapanku bagiku lebih membadut daripada kelakuan orang-orang yang kau sendiri namakan badut. Kau mencela jiwa orang lain, tetapi kau sendiri merangkak-rangkak di bawah kaki mereka. Kau badut besar, kau sudah kehilangan pegangan, kehilangan kepercayaan pada diri sendiri. Padahal di zaman sekarang, bagi kita tidak ada yang mesti dipercaya selain diri sendiri.” (halaman 48)

Pada kutipan di atas, Mira, satu-satunya orang yang Awal percaya, menyerukan bahwa sikap Awal selama ini lebih rendah daripada orang-orang yang disebutnya dengan istilah badut. Awal dinilai tidak memiliki pondasi dan kepercayaan diri. Ia merasa bahwa dirinya bergantung pada Mira. Ia ingin hidup bersama Mira selama-lamanya. Dalam novel ini, banyak tokoh yang mengejek Awal sebagai manusia yang tidak waras. Akan tetapi, Mira dan ibunya memahami Awal yang kehilangan percaya setelah peperangan terjadi serta kedudukan sosial dan politik yang tergantikan dari golongan bangsawan.

Berdasarkan pembahasan di atas, dapat kita ketahui bahwa runtuhnya sistem sosial dan politik pada golongan bangsawan ditemukan dalam novel Awal dan Mira. Hal tersebut didasari oleh suasana pasca peperangan, dimana golongan bangsawan tidak lagi memiliki kekuasaan yang besar seperti sebelumnya. Utuy Tatang Sontani menggunakan istilah badut untuk orang-orang yang hanya ikut-ikutan prinsip atau kepercayaan orang lain. Awal menyebut orang-orang yang ia temui sebagai badut, kecuali Mira dan Ibu Mira, meskipun ditemukan juga bahwa Awal juga pantas disebut badut karena dia tidak dapat percaya dengan dirinya sendiri. Runtuhnya feodalisme dipengaruhi oleh sistem sosial, politik, dan ekonomi masa itu yang memengaruhi psikis seseorang yang terkena dampaknya.

Objek Kajian

Sontani, Utuy Tatang. Awal dan Mira. Jakarta: PT Balai Pustaka (Persero). 2011.

Daftar Pustaka

Ensiklopedia Sastra Indonesia Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Awal dan Mira (1955) diakses pada 9 Mei 2022 pukul 21.35 WIB.

Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi V. Feodalisme diakses pada 9 Mei 2022 pukul 21.27 WIB.

Ikuti tulisan menarik Elis Susilawati lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler