x

image: erabaru

Iklan

Slamet Samsoerizal

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 30 Maret 2022

Rabu, 25 Mei 2022 07:09 WIB

Berkatarsis di Media Sosial

Katarsis diartikan sebagai penyaluran emosi. Saat jiwa bahagia atau sedih, terlampiaskan melalui ucap dan laku tindak sesuai suasana hatinya. Perilaku katarsis, ternyata positif jika dilakukan secara tepat.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Salah satu aktivitas Mas Nakurat warganet republik ini yang kerap dilakukan adalah membaca status teman-temannya. Maaf, yang dimaksud adalah status lewat akun media sosial seperti WhatsApp dan Facebook. Sekali-kali, berlagak dengan membuka Instagram dan cuitan Twitter.

Ada temuan melalui status, story atau cuitan itu yang membuatnya: kagum, sedih, haru, bahkan seringnya tergelak. Apa pasal? Isinya memang membuat Mas Nakurat bersikap begitu. Kagum, karena sahabatnya ada yang mengunggah sedang berada di cafe sebuah bandara internasional. Kemarinnya, dia menghadiri undangan pernikahan anak sahabatnya di Jepang. Sedih sekaligus haru, karena kebetulan membaca keluhan: “Duh, begini amat ya hidup?”  Tergelak, lantaran yang diunggah adalah video lucu: kutipan stand up comedy komika Bintang Emon.

Plongkah Mas Nakurat? Ya! Maka, tak kalah dia. Dia tulis status melalui Facebook dengan karmina -pantun kilat:

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

suka sarung lau? Yuk menepi!

kamu galau? Yuk ngopi!

Komentar pun bertaburan. Dengan jumlah teman 3.600 di akun Facebook-nya, setidaknya walaupun  cuma 5 yang kasih ikon jempol alias suka dan 1 yang berkomentar: “Mas, kalau galau boleh naik pohon toge” (lagi-lagi sambil kasih emoticon, ekspresi terbahak-bahak sampai menangis).

 

Menyucikan

Ulah teman-teman dan Mas Nakurat, disebut katarsis. Istilah tersebut dalam Bahasa Yunani yaitu kathoros yang berarti ‘menyucikan’ atau ‘untuk membersihkan.’ Istilah ini mengemuka pada tahun 1960 dalam Journal if abnormal social psychology yang berjudul “The Stimulating versus Chatartic Effect of a Vicarious Aggressive Activity”.

Konsep teori katarsis diinspirasi dari teori psikoanalisis Sigmund Freud, yang menyatakan bahwa emosi yang tertahan atau dipendam bisa mengakibatkan ledakan emosi yang berlebihan. Oleh sebab itu, diperlukan adanya penyaluran emosi yang dipendam tersebut. Teori katarsis juga menyebutkan bahwa penyaluran emosi dengan katarsis memberikan individu yang cenderung keras menyalurkan emosinya dengan cara yang tidak merugikan dan tendensi melakukan serangan terhadap orang lain.

Pada dasarnya katarsis adalah penyaluran emosi yang dipendam menggunakan berbagai cara yang tidak merugikan. Dalam praktiknya, katarsis memiliki tujuan untuk memecahkan masalah yang ada, dapat menemukan proses menjadi diri sendiri atau individuasi, makna hidup yang dicari, dan altered state of consciousness adalah kesadaran yang berubah atau berbeda dengan kesadaran orang dalam keadaan normal.

Katarsis bermanfaat untuk menghilangkan atau mengubah kebiasaan, menghilangkan kepercayaan negatif, mengurangi rasa sakit, memasukkan sugesti positif, mengurangi stress pasca trauma, dan membuat jiwa menjadi tenang. Hakikat Katarsis adalah mengeluarkan energi emosional yang menganggu dan membersihkan tubuh serta jiwa dengan cara mengangkat sebab yang terpendam dan kemudian mencari cara mengekspresikan dorongan yang terpendam, sehingga dapat mengembangkan pandangan hidup yang menyeluruh.

Sebagai penyaluran emosi, sebaiknya kita dapat menyalurkan melalui saluran yang pas. Jangan karena emosi memuncak, lantas memukul tembok yang berbatu, menggebrak meja saat dan berkelahi saat berdebat di gedung wakil rakyat, atau gahar saat blusukan lalu memaki tak terpuji sebagai aparatur. 

Ada kisah yang bebrapa minggu lalu sempat viral. Seorang pria mengungkapkan cintanya pada sang kekasih melalui pesan teks di Instagram. Dalam video yang diunggah akun @parodireceh.id tampak si pria tengah memegang ponsel miliknya dan terlihat tengah membalas sebuah pesan.

 

Pria ini membuat tulisan romantis dalam chat tersebut menggunakan emoticon biasanya tersedia beragam macam di aplikasi tersebut. dengan jarijemarinya yang cekatan, ia membentuk tulisan I Love You dengan menjajarkan emoticon berbentuk hati dan jatuh cinta.

Si Pria dalam video tersebut, demikian cermat hingga menghitung letak dan berapa jumlah emoticon yang harus disematkan untuk membuat tulisan tersebut. Disampingnya terlihat coretan dan hitungan emoticon yang ia buat sendiri.  Unggahan si pria tersebut membuat warganet iri dan ingin memiliki kekasih yang so sweet.

 Katarsis melalui media sosial seperti itu keren juga. Bagaimana dengan Anda? Anda dapat mengungkapkan katarsis melalui media sosial juga, lho. Namun, seperti ungkapan bijak yang menyatakan ”Saring terlebih dahulu, sebelum sharing.”  Sebagai warganet +621 yang cerdas, kita hendaknya tetap melampaui protokol bermedia sosial.

Tak salah pula bila kita mempertimbangkan saran Pepih Nugraha pegiat media jurnalisme warga, yang merumuskan gagasan jika akan mengungkapkan katarsis kita lewat media sosial, sebagai berikut.

  1. Ingatlah keberadaan orang lain;
  2. Taat kepada standar perilaku online yang sama kita jalani dalam kehidupan nyata;
  3. Ketahuilah di mana kita berada di ruang cyber;
  4. Hormati waktu dan bandwith orang lain;
  5. Buatlah diri kita kelihatan baik ber-online;
  6. Bagilah ilmu dan keahlian;
  7. Menolong agar api peperangan tetap terkontrol;
  8. Hormati privasi orang lain;
  9. Jangan menyalahgunakan kekuasaan;
  10. Maafkanlah jika orang lain berbuat kesalahan. 

    Kecerdasan Emosional

    Penelitian Goleman (2000)  menunjukkan  bahwa  keberhasilan   yang   dicapai   oleh   mereka yang   sukses lebih    banyak  ditentukan  oleh  kecerdasan  emosional   yang   yakni   sekitar   80%, daripada    kecerdasan    intelektual    yakni    hanya berperan 20%. Dalam  menghadapi  peristiwa-peristiwa   yang menekan,  individu  membutuhkan  dukungan  sosial. Individu  yang  memperoleh  dukungan  sosial yang  tinggi  tidak  hanya  mengalami  stres  yang rendah,  tetapi  juga  dapat  mengatasi  stres  secara lebih   berhasil   dibanding   dengan   mereka   yang kurang   memperoleh   dukungan   sosial.

    Dalam  mencapai  keberhasilan  pekerjaan,  faktor   kecerdasan  tidak   cukup   berperanan, sehingga  para  ahli  kemudian  beralih ke  konsep kecerdasan  emosional.  Kecerdasan  emosional  dianggap  lebih  penting  dibanding  kecerdasan  kognitif  dalam  menentukan  keberhasilan  kerja  seseorang.

    Selain  faktor  dari  dalam  diri  individu,  faktor lingkungan  juga penting untuk mengatasi tekanan beban  pekerjaan  yang  tinggi.  Faktor  lingkungan tersebut   bisa   berbentuk   dukungan   sosial   yang meliputi  penilaian  positif,  dukungan   informasi, dukungan   emosi   dan   dukungan   instrumental. Dengan adanya dukungan sosial yang tinggi maka individu  dapat  lebih  baik  dalam  menyelesaikan tekanan  pekerjaan.

Ikuti tulisan menarik Slamet Samsoerizal lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler