x

Iklan

Mohammad Imam Farisi

Dosen FKIP Universitas Terbuka
Bergabung Sejak: 17 Februari 2022

Jumat, 27 Mei 2022 09:27 WIB

Euforia Penggunaan Gelar Berjejer yang Unik dan Mengundang Polemik

Menempuh pendidikan dan meraih gelar hingga jenjang tertinggi dan sebanyak-banyaknya adalah hak asasi setiap manusia.Manusia adalah homo sapiens dan homo educandum. Adalah hak juga jika seseorang menggunakan semua gelar yang diperoleh menghiasi namanya. Hanya saja, bagi masyarakat awam, simfoni antara nama, gelar, dan non gelar tersebut mungkin unik, sulit dan membingungkan. Mana yang gelar, dan mana pula yang bukan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Gelar akademik, serta tata cara penulisan dan penggunaannya pertama kali diatur di dalam Kepmendikbud 036/U/1993 tentang “Gelar dan Sebutan Lulusan Perguruan Tinggi”, yang merupakan pelaksanaan ketentuan PP 30/1990 tentang Pendidikan Tinggi. Dalam keputusan tersebut, gelar akademik dibedakan dari sebutan profesional, dan sebutan profesi.

Gelar akademik hanya terdiri atas Sarjana, Magister, dan Doktor, yang diberikan kepada lulusan  perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan akademik (Sekolah Tinggi, Institut atau Universitas). Gelar akademik yang bukan karena lulusan dari perguruan tinggi hanya untuk Doktor Kehormatan (Doctor Honoris Causa, ditulis Dr. (HC)). Gelar ini dapat diberikan kepada seseorang yang telah berjasa luar biasa bagi ilmu pengetahuan, teknologi, kebudayaan, kemasyarakatan dan/atau kemanusiaan.

Namun, sejak pemberlakuan Permenristekdikti 63/2016 tidak ada lagi dibedakan antara gelar akademik, sebutan profesional, dan sebutan profesi. Istilah “Gelar Akademik” pun hanya disebut “Gelar” dengan pendefinisian yang lebih luas, mencakup semua jenis pendidikan (akademik, vokasi, profesi, dan spesialis). Sejak saat itu, tidak ada lagi istilah sebutan professional atau sebutan profesi. Semuanya menggunakan istilah “gelar”.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Gelar akademik (atau Gelar) kadang disebut pula dengan istilah dalam bahasa Belanda yaitu titel (dari bahasa Latin titulus). Gelar akademik tersebut merupakan sebutan dan penanda kualifikasi/jenjang pendidikan dan bidang penguasaan/keahlian yang dimiliki oleh yang bersangkutan (akademik, vokasi, profesi, dan/atau spesialis).

Penggunaan gelar akademik tersebut, baik yang ditulis atau ditambahkan di depan atau di akhir nama seseorang hanya dibenarkan dalam bentuk sebagaimana tertulis/tercantum di dalam ijazah; memakai pola dan cara pemakaian yang berlaku di negara asal yang bersangkutan; tidak dibenarkan untuk disesuaikan/diterjemahkan dalam bentuk apapun; serta tidak dapat dicabut atau ditiadakan oleh siapapun.

Selain gelar yang diperoleh dari jenis dan jenjang pendidikan tersebut (akademik, vokasi, profesi, dan/atau spesialis), publik juga mengenal dan ‘mengakui’ adanya sejumlah “gelar non-akademik” yang tidak dikenal dalam komunitas dan tradisi universiter.

Pertama, gelar bangsawan yang disandangkan oleh pemerintahan Belanda kepada keturunan raja/bangsawan, seperti: Raden Ajeng (R.A.), Datuk, Sutan Rajo, K.R.M.T. (Kanjeng Raden Mas Tumenggung), La, Daeng, dan Andi, dlsb.

Kedua, gelar yang disandangkan oleh masyarakat kepada seorang tokoh keagamaan dan tokoh masyarakat, seperti: Ki, Kiai, Gus, Lora, dlsb.

Ketiga, gelar yang disandangkan oleh masyarakat kepada seorang yang sudah menunaikan ibadah keagamaan, seperti Haji (H).

Fenomena teranyar dalam tradisi pemberian gelar non-akademik adalah “gelar” yang disandangkan lembaga tertentu kepada seorang yang sudah lulus dari program pelatihan/workshop kompetensi kerja tertentu. Gelar jenis keempat ini diterbitkan oleh Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) yang menyediakan jenis-jenis pelatihan bersertifikasi untuk kompetensi kerja profesi tertentu (UU 20/2003; UU 13/2003) seperti marak terjadi belakangan ini. Gelar non-akademik yang dimaksudkan seperti: CMC (Certified Master of Ceremony), CEFT (Certified Emotional Freedom Technique), CPBMC (Certified Professional Business Model Canvas), CIRR (Certified International Research Reviewer), CIQaR (Certified International Qualitative Researcher), CIQnR (Certified International Quantitative Researcher), CIIQA (Certified International of Internal Audit Quality Audit), dll. (gelarnonakademik.id).

Berdasarkan data Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) sebanyak 1.934 LSP di Indonesia telah terdaftar di sistem. Mereka menyelenggarakan berbagai jenis diklat untuk kompetensi kerja bersertifikasi (nasional dan/atau internasional) dalam berbagai bidang keahlian profesi. Diantaranya juga terkait dengan kompetensi kerja untuk profesi dosen/peneliti, yang banyak diikuti oleh peserta dari kalangan kampus.

Peserta pelatihan yang dinyatakan lulus hanya mendapatkan “Sertifikat Kompetensi” sesuai dengan bidang keahlian kerja profesi yang diikuti dan diujikan. Sertifikat kompetensi tersebut merupakan pengakuan (rekognisi) terhadap kompetensi kerja lulusan sesuai dengan keahlian dalam cabang ilmunya. Pengakuan ini merupakan bentuk pengakuan lain di luar pengakuan yang peroleh melalui pendidikan akademik jenjang pendidikan tinggi (akademik, vokasi, profesi atau spesialis).

Sejauh yang bisa penulis telusuri, tidak ditemukan satupun peraturan perundang-undangan yang mengatur tata cara penulisan dan penggunaan “gelar” yang diperoleh seseorang dari kesertaannya dalam pelatihan yang diselenggarakan oleh LSP tertentu. Peraturan terkini terkait dengan hal ini pun hanya mengatur tentang tata cara penulisan dan penggunaan Gelar untuk lulusan pendidikan akademik (pasal 29 & 30 PermendikbudRistek 6/2022).

Yang unik dan menarik, “gelar-gelar non-akademik” model LSP tersebut ditulis dan digunakan berbarengan dan berjejer bersama dengan “gelar-gelar akademik”. Tidak dapat dipungkiri, penulisan beragam gelar tersebut, dengan memadukan antara gelar yang diperoleh secara formal, informal, dan non-formal tersebut, kerap membingungkan dan menimbulkan tanda tanya. Apalagi, diantara gelar-gelar (atau yang dipersepsi sebagai gelar) tersebut tidak memiliki referensi yang jelas pada ketentuan yang ada. Melainkan karena “suka-suka” atau “kelatahan” yang bersangkutan untuk menambah nilai prestasi dan prestise personal di mata kolega dan publik. Walaupun hal itu sah-sah saja dilakukan. Setidaknya, karena untuk memperolehnya yang bersangkutan sudah banyak mengorbankan tenaga, pikiran, biaya, dll.

Bisa dibayangkan, jika seorang keturunan bangsawan, tokoh mayarakat/agama, sudah menunaikan ibadah haji, serta lulusan dari beragam pendidikan tinggi, dan pelatihan kompetensi kerja profesi tertentu, menuliskan semua gelar tersebut untuk melengkapi namanya. Sangat mungkin, penulisan gelarnya akan “lebih panjang” dari namanya. (Misalnya: Prof. Dr. dr. K.H. K.R.M.T. Nama Saya, A.Md. Kep., S.Pd., S.H., M.Hum., MBA., Sp.B., Ph.D., CIRR., CIQaR., CIQnR., CIIQA., dst…….).

Pada seseorang bernama “Nama Saya” tersebut, tertulis sejumlah gelar. Prof. (Profesor, Guru Besar) bukan gelar, melainkan “jabatan akademik” tertinggi bagi seorang dosen/peneliti. Dr., dr., S.Pd., S.H., M.Hum., MBA., Ph.D. adalah gelar akademik yang diperoleh dari pendidikan akademik jenjang S1—S3. K.H. dan K.R.M.T. adalah gelar non-akademik seorang kiai, haji, keturunan bangsawan. A.Md. Kep., adalah gelar yang diperoleh dari pendidikan vokasi. Sp.B., Sp.KK, Apt., adalah gelar yang diperoleh dari pendidikan profesi/spesialis. Akhirnya, CIRR., CIQaR., CIQnR., CIIQA., adalah bidang kompetensi kerja (BUKAN gelar) yang diterbitkan oleh LSP dan diakui oleh BNSP.

Dari telusuran berbantuan mbah Google (sindonews.com), setidaknya terlacak lima orang Indonesia yang memiliki gelar akademik terbanyak. Bahkan diantara mereka sudah memiliki 32 gelar akademik dan tercatat di Musium Rekor Indonesia (MURI) (Wikipedia). Apakah semua gelar akademik tersebut boleh ditulis dan digunakan dalam nama yang bersangkutan? Apakah hanya gelar akademik tertinggi yang ditulis, atau bagaimana? Sulit untuk menjawabnya, karena hingga saat ini tidak ada aturan terkait penulisan gelar mana dari semua gelar yang ada boleh ditulis secara “resmi” pada nama seseorang.

Sebagian kalangan akademisi ada yang memandang bahwa menuliskan nama dengan gelar berderet-baris mengindikasikan fenomena sebuah masyarakat akademik yang tidak sehat dan kurang etis (tribuntimur.com). Ataukah fenomena ini mengindikasikan adanya pergeseran paradigma pendidikan yang lebih berorientasi pada pemenuhan dunia kerja daripada kepentingan ilmu itu sendiri. Fenomena arus balik ini, setidaknya bisa dicermati ketika pengakuan dan penghargaan mulai bergeser dari kompetensi general yang bersifat generik (produk pendidikan universiter) ke kompetensi-kompetensi parsial yang lebih spesifik (produk pelatihan partikuler).

“Saat ini, Indonesia sedang memasuki era di mana gelar akademik tidak menjamin kompetensi. Kita memasuki era di mana kelulusan tidak menjamin kesiapan seseorang dalam bekerja dan berkarya, akreditasi tidak menjamin mutu, kita memasuki era dimana masuk kelas tidak menjamin belajar”. Demikian dinyatakan oleh MendikbudRistek, Mas Nadiem dalam sambutannya pada acara serah terima Rektor Universitas Indonesia di Depok (4/12/2019).

 

Wallahu alam.

Tangsel, 26 Mei 2022

Ikuti tulisan menarik Mohammad Imam Farisi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB