x

Hati

Iklan

Supartono JW

Pengamat
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Selasa, 7 Juni 2022 07:55 WIB

Setengah Hati, Mengapa?

Contoh fakta dalam kehidupan nyata terkini di Indonesia, masyarakat dapat terus melihat aksi manusia-manusia yang tidak punya hati dan setengah hati, sebab yang dipikirkan hanya kehidupan duniawi, kepentingan dirinya, kelompoknya, golongannya, harta, kekuasaan, oligarki, dinasti, mengabdi pada junjungan dan lainnya. Sangat mudah yang seperti itu dibaca, diidentifikasi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Usai memberikan materi Asah Otak kepada siswa SSB Sukmajaya dalam Latihan Reguler, Minggu (5/5/2022), salah satu orang tua siswa baru, memberikan kesannya, bahwa mencantumkan nama sekolah di depan kata sepak bola, itu bukan untuk main-main, gaya-gaya+an, sok-sok+an, seperti yang sudah saya tulis di artikel-artikel sebelumnya.

Saya bersyukur, bahwa dalam materi Asah Otak yang sasarannya adalah untuk pengembangan otak dan pembentukan karakter siswa, Alhamdulillah para orang tua yang mendampingi putranya berlatih sepak bola, turut menjadi audien dari materi Asah Otak.

Terlebih, pagi itu, materi Asah Otak adalah "Jangan Setengah Hati". Singkatnya, orang tidak punya hati, dapat diartikan bahwa orang yang demikian biasanya tidak peduli pada kebenaran dan pentingnya amal sikap perbuatan baik, bagi manusia. Hanya mengikuti ajakan dan bujukan hawa nafsunya karena kecerdasan, kepribadian, dan imannya, terdidik salah.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Lalu, setengah hati itu? Orang yang tidak sungguh-sungguh melakukan amal sikap perbuatan baik untuk dirinya sendiri mau pun orang lain. Malas (berbuat sesuatu), enggan, tidak sudi, tidak mau, tidak suka. Tidak menaruh perhatian, tidak mau tahu.

Dalam praktiknya, setelah siswa memahami apa itu setengah hati, maka dalam setiap bagian program latihan pada hari itu, selalu dilakukan penilaian, evaluasi, dan refleksi. Siapa siswa yang sudah menjalani program latihan TIPS sepenuh hati dan yang masih setengah hati.

Setengah hati dapat dirasakan, dilihat, diuji

Tentu, saya, kita, menjadi orang yang paling tahu tentang perilaku diri. Apakah saya, kita, termasuk orang yang tidak punya hati atau setengah hati pada diri sendiri, pada orang lain dan lain sebagainya? Sikap tidak punya hati atau setengah hati, akan berdampak signifikan kepada apa pun yang menjadi tujuan, sasaran, target, cita-cita dll, bila terjadi pada diri sendiri, terjadi di keluarga, perkumpulan, tempat kerja, hingga pada masyarakat.

Karena sikap tidak punya hati dan setengah hati sangat membahayakan, maka sebagai contoh, dalam wadah sepak bola yang saya buat dan saya tekuni, saya tidak akan memberikan ruang bagi siapa saja yang bergabung di dalam wadah yang saya buat ini berperilaku setengah hati.

Jangankan membiarkan orang yang tidak punya hati masih bergabung dalam wadah saya ini, berbuat setengah hati saja, langsung saya minta yang bersangkutan untuk ke luar dari wadah, dari Grup.

Perilaku setengah hati dapat dirasakan, dapat dilihat, dan dapat dibuktikan dengan ujian tertentu. Itulah mengapa wadah yang saya buat dapat bertahan hingga menjelang usia ke-24 tahun.

Sebab, siapa yang memang setengah hati, saya persilakan untuk tak ada dalam wadah ini. Dalam menjaga keutuhan wadah, maka dalam setiap materi pelatihan asah otak, kepada siswa juga selalu ditekankan, bila hadir berlatih atau bertanding, tak memberikan hati dan pikiran sepenuhnya untuk tim atau hanya setengah hati, maka siswa diberikan kembali pendampingan dan penguatan agar dapat berperilaku sepenuh hati.

Berat cantumkam, sekolah

Dari materi Asah Otak tersebut, kesan orang tua siswa pun berlanjut. Ternyata, dengan mencantumkan nama sekolah, berarti wajib ada konsekuensi siswa bukan hanya mendapat asupan gizi menyoal teknik dan fisik dalam bermain sepak bola.

Tetapi, siswa di usia dini dan usia muda, sebagai pondasi Sumber Daya Manusia (SDM), baik untuk bidang sepak bola dan bidang lainnya, melalui wadah yang mencantumkan nama sekolah di depannya, wajib ditangani dengan benar. Meski sebagai wadah nonformal, mencantumkan nama sekolah di depan sepak bola, tetap wajib ada garansi, siswa terasah intelegensinya (Otaknya).

Dengan otak yang terasah, cerdas, maka siswa akan dapat asupan pikiran, pengetahuan, wawasan, dan lainnya sebagai pondasi bermain sepak bola yang benar atau pun pondasi untuk kehidupan nyata yang berkarakter, serta cikal bakal untuk siswa terus berkembang. Menjadi dirinya sendiri, lalu berguna untuk keluarga, masyarakat, hingga bangsa dan negara.

Personality (kepribadian) siswa pun akan tergaransi mendapat asupan pendidikan sehingga cerdas emosi, mental, attitude, hingga menjadi karakter manusia yang berbudi pekerti luhur, rendah hati, punya simpati-empati, tahu diri, peduli dan lainnya, baik dalam bermain sepak bola mau pun untuk kehidupan nyata.

Betapa beratnya, mencantumkan nama sekolah di depan kata sepak bola, hingga menjadi Sekolah Sepak Bola (SSB) bila apa, siapa, mengapa, kapan, di mana, bagaimana di dalam wadah SSB itu, tak ada, kurang memenuhi syarat kualifikasi dan kompetensi untuk mendidik siswa cerdas intelegensi dan personality.

Menutup kesannya, orang tua pun tak heran bila ternyata Tim Nasional Sepak Bola Indonesia di segala kelompok umur selalu nampak bermasalah di sektor otak dan mental. Ternyata wadah SSB yang terlanjur menjamur dan salah kaprah di Indonesia, terus tak dibenahi.

Dan ternyata, sejak hadirnya Shin Tae-yong (STy) pun semakin membukakan mata kepada publik sepak bola nasional, selain SDM calon pemain Timnas Indonesia, selama ini pendidikan otak dan mentalnya, tidak pernah terasah di sektor akar rumput. STy pun merasakan sendiri bahwa sekalas pemain Timnas Senior yang dipanggil ke Timnas pun, rapor teknik dan fisiknya banyak yang belum lulus.

Meski STy juga bilang bahwa Indonesia memiliki banyak talenta pesepak bola handal. Namun, sehandal apa pun seseorang dalam talenta sepak bola, bila otak, mental, teknik, dan fisiknya tidak dididik dan dilatih dengan benar sejak mereka ada di ranah usia dini dan muda, maka sampai kapan pun Timnas Sepak Bola Indonesia di semua kelompok umur akan tetap bermasalah dalam otak, mental, teknik, dan fisik (TIPS).

Berupaya tak salah

Atas kondisi tersebut, sebab tahu akar masalah mengapa sepak bola nasional terus terpuruk, pun tahu stakeholder terkait hanya hobi menjalankan program sepak bola yang ada uangnya dan ada keuntungan untuk intrik politik dan kepentingan-kepentingan, maka bagi segenap publik sepak bola nasional khususnya pegiat sepak bola akar rumput, yang menjadi bagian di wadah yang mencantumkan kata sekolah di depan sepak bola, berupayalah secara mandiri, untuk memastikan wadahnya terisi oleh personal SDM yang memiliki kualifikasi dan kompetensi dalam keilmuan tentang otak, kepribadian/mental, teknik, dan fisik.

Ingat, anak-anak usia dini dan muda adalah PONDASI SDM handal untuk Indonesia berprestasi di segala bidang. Sepak bola adalah olah raga yang paling digemari di seluruh negeri ini, maka ambil momentum, DIDIK TIPS siswa dengan benar dalam wadah sepak bola yang di depannya ada embel-embel sekolah.

Sehingga, pada saatnya, sepak bola akan menjadi sektor pencerdasan bangsa karena dunia pendidikan formal pun terus terpuruk, bahkan terus tercecer di Asia Tenggara.

Jangan setengah hati

Dari fenomena tentang SDM Indonesia yang pondasinya tak mendapat asupan dengan benar, khususnya gizi otak dan kepribadian, baik di wadah formal mau pun nonformal yang ada embel-embel kata sekolah, satu di antara sebab utamanya karena ada sikap setengah hati.

Apakah saya orang yang setengah hati? Bukan sepenuh hati? Dalam menjalankan aktivitas duniawi untuk sendiri dan orang lain? Dalam mendukung semua aktivitas diri dan orang lain? Jawabnya, meski sikap dan perbuatan seseorang dibikin akting atas skenario yang sedemikian rupa, tetap saja akan terbaca bahwa dirinya adalah orang yang setengah hati.

Secerdiknya manusia sebagai aktor/aktris asli, tentu tak akan mampu menutupi perasaan dan pikirannya dalam sikap dan perbuatan yang sesuai kata hatinya, termasuk para manusia yang terjun ke dunia politik. Apa pun intrik dan politik yang dibangun dan diusung, dengan sebaik apa pun skenario dan penyutradaraannya, tetap saja sandiwara politiknya akan sangat mudah dibaca dan dicerna dari mana dan ke arah mana jalurnya.

Mereka tetap manusia yang pekerjaan profesionalnya bukan sebagai aktor/aktris film/sinotron/drama dll, yang akan mampu berakting sesuai skenario kisah dan garis penyutradaraan.

Mengapa ada manusia yang beramal bersikap berbuat setengah hati? Penyebabnya, di antaranya:

Pertama, tidak ikhlas, tidak bersih hati, tidak tulus hati, terutama dalam hubungan sesama manusia.

Kedua, tidak cerdas intelegensi (otak), maka tak cerdas personality (pribadi, sikap, mental, emosi, attitude)

Ketiga, miskin pengetahuan agama dan ilmu.

Dari ketiga sebab tersebut, buntutnya akan lahir manusia-manusia yang hanya mementingkan dirinya sendiri, egois, individualistis, takut kehilangan yang bukan miliknya, menjadi penjiplak karya cipta orang lain, tukang copypaste, hanya menjadi manusia pengguna/pemakai tak mampu menciptkan ide dan karya karena lemah analisis, tak kreatif-imajinatif-inovatif.

Kelemahan-kelamahan mendasar yang bertumpu pada otak dan pribadi yang tak diasah, didik, dan dikembangkan dengan benar, maka melahirkan manusia yang setengah hati dalam langkah hidupnya, bahkan yang kebablasan sampai terpuruk, tak punya hati.

Contoh fakta dalam kehidupan nyata terkini di Indonesia, masyarakat dapat terus melihat aksi manusia-manusia yang tidak punya hati dan setengah hati, sebab yang dipikirkan hanya kehidupan duniawi, kepentingan dirinya, kelompoknya, golongannya, harta, kekuasaan, oligarki, dinasti, mengabdi pada junjungan dan lainnya. Sangat mudah yang seperti itu dibaca, diidentifikasi.

Ikuti tulisan menarik Supartono JW lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu