x

Perempuan Pemburu (Sumber: Pixabay)

Iklan

Fadhel Fikri

Co-Founder Sophia Institute Palu, serta pegiat filsafat dan sains.
Bergabung Sejak: 20 Desember 2020

Selasa, 2 Agustus 2022 07:41 WIB

Jadilah Golden Girl di Zaman Gelap: Dunia Butuh Perempuan Berani

Kayleena Pierce-Bohen menulis di Screenrant pada tahun 2013 bahwa “Kehadiran Golden Girls dalam budaya pop hampir-hampir dianggap sebagai sesuatu yang mistis. Kekuatan dan ketahanan mereka melalui cobaan dan ujian selama masa tahun-tahun emas mereka telah menjadikan mereka nyaris bagai santo pelindung positivisme, sosok-sosok yang berani dan bersemangat, yang dapat menjadi panutan pada masa-masa sulit.”

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Apakah Anda ingat komedi satir Amerika yang sangat populer “The Golden Girls” (Perempuan Usia Emas), yang berlangsung antara 1985-1992, menampilkan empat perempuan berusia 50 an dan 60-an?

Mereka adalah sosok berkarakter utuh dan kompleks yang ditentukan oleh kepribadian, pekerjaan, dan petualangan mereka, yang membuktikan bahwa usia hanyalah sekedar angka.

Apa yang saya sukai dari serial TV ini, selain sangat menghibur, adalah terobosan yang mereka lakukan. Serial ini menampilkan perempuan berumur dalam industri yang terpusat pada kaum muda, dan berani menampilkan isu-isu kontroversial, sensitif, bahkan tabu: ras, seks, seksisme, isu lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT),  penuaan, perceraian, keluarga, hubungan percintaan dan gender, kemiskinan, tunawisma,  imigrasi, kesehatan, HIV, kecanduan dan bahkan membantu untuk melakukan assisted suicide (pengakhiran hidup secara suka rela, karena penyakit yang tidak bisa disembuhkan, misalnya). Semua ini merupakan masalah yang hingga kini kita hadapi. Oleh karena itu, serial ini menarik banyak penggemar baru di abad ke-21 karena relevansi kontemporernya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pada tanggal 19 Juli, saya berusia genap 68 tahun, dan karena itu saya juga adalah seorang golden girl. Sama seperti golden girls di komedi situasional (sitkom) ini, saya juga merasa terus menjalani “kehidupan yang penuh petualangan, humor, dan cerita-cerita panjang tentang kehidupan yang masih dijalani”, seperti yang diceritakan mengenai para perempuan di The Golden Girls dalam film dokumenter tahun 2021 tentang mereka.

Dari sudut pandang saya saat ini, saya dapat melakukan tinjauan hidup dan melihat berbagai hal dari perspektif yang sangat berbeda. Orang-orang yang dulu menjadi “iblis”, dan peristiwa yang menjadi “neraka” bagi saya, sekarang saya melihatnya secara positif, sebagai agen pertumbuhan dan perkembangan yang membentuk saya dan berperan membuat saya lebih bijaksana, lebih sabar, lebih pengertian, dan berwelas asih. Memang, seringkali musuh terburuk Anda ternyata dapat menjadi guru terbaik Anda pula.

Pada awal tahun ini, saya mendirikan dan menjadi direktur Pusat Gender dan Demokrasi Lembaga Penelitian, Informasi dan Publikasi Sosial dan Ekonomi (LP3ES) pada usia 67 tahun, setelah 50 tahun menjadi penulis, peneliti dan intelektual independen. Hal ini merupakan lompatan eksistensial, namun saya menerima tantangan ini, karena akan meningkatkan dampak perjuangan saya, berlandaskan pekerjaan yang telah saya lakukan sebagai seorang sarjana, dan aktivis hak asasi manusia dan demokrasi selama setidaknya 30 hingga 40 tahun.

Namun, saya adalah golden girl di zaman kegelapan yang kian lama kian gelap. Saya sering mengalami kesedihan kosmik ketika mendekati hari ulang tahun, tetapi tahun ini jauh lebih parah. Dan hal ini sangat beralasan. Pada tahun 1993, E.O. Wilson menulis sebuah artikel yang menanyakan, “Apakah Kemanusiaan Bunuh Diri?”. Mungkin ketika itu tidak, tetapi sekarang, bisa jadi.

Dalam sebuah artikel 18 Juli di The New York Times, berkaitan gelombang panas yang memecahkan rekor yang tengah melanda Eropa, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa António Guterres memperingatkan, “Setengah dari umat manusia berada dalam zona bahaya […] menghadapi bunuh diri kolektif”, jika tidak segera ada perubahan.

Kristalina Georgieva, Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional, dalam artikelnya Menghadapi Krisis Demi Krisis: Bagaimana Dunia dapat Merespon, yang muncul di situs web IMF pada 14 April, memberikan daftar panjang berbagai krisis yang kita hadapi saat ini: pandemi COVID -19, perang di Ukraina, inflasi, fragmentasi pemerintahan global, ancaman eksistensial perubahan iklim, kerawanan pangan, kehilangan pekerjaan dan pembelajaran (yang berdampak terutama pada perempuan dan kaum muda), kelaparan, kemiskinan dan konflik.

Secara khusus satu alinea membuat saya tertegun: “Di dunia di mana perang di Eropa menciptakan kelaparan di Afrika; di mana sebuah pandemi dapat mengelilingi dunia dalam hitungan hari dan bergema selama bertahun-tahun; ketika emisi di mana saja berarti naiknya permukaan laut di mana-mana— ancaman terhadap kesejahteraan kolektif kita dengan runtuhnya kerjasama global tidak dapat dilebih-lebihkan”.

Namun, Georgieva tidak menyebut persoalan lain seperti rasisme, supremasi kulit putih, politik identitas, kekerasan, kebangkitan populisme, kemunduran demokrasi, diskriminasi gender, diskriminasi terhadap minoritas agama dan seksual, krisis pengungsi, pernikahan anak, pekerja anak dan perdagangan manusia.

Dunia tampaknya terfokus pada Ukraina, tetapi terdapat krisis jangka panjang yang sedang berlangsung pula di Sudan, Suriah, Somalia, Myanmar, Kongo, Nigeria, Yaman, Ethiopia, dan Afghanistan.

Baru-baru ini kita menyaksikan apa yang terjadi sebagai akibat krisis, bahkan keruntuhan ekonomi, di Sri Lanka. Namun Reuters melaporkan awal pekan ini bahwa selusin negara lain dapat menuju ke arah yang sama: Lebanon, Suriname, Zambia, Argentina, Tunisia, Ghana, Mesir, Kenya, El Salvador, Pakistan, Belarusia, dan Ekuador.

Dan pernahkah Anda mendengar tentang “The Sixth Extinction: An Unnatural History”? Buku nonfiksi 2014 oleh Elizabeth Kolbert ini berpendapat bahwa “Bumi berada di tengah-tengah kepunahan keenam buatan manusia modern”.

Goodreads membuat ringkasan buku tersebut sebagai berikut: “Selama setengah miliar tahun terakhir, telah terjadi lima kepunahan massal, ketika keragaman kehidupan di bumi tiba-tiba dan secara dramatis menyusut. Para ilmuwan di seluruh dunia saat ini sedang memantau kepunahan keenam, yang diprediksi sebagai peristiwa kepunahan paling dahsyat sejak tumbukan asteroid yang memusnahkan dinosaurus. Kali ini, yang akan musnah adalah kita”.

Wow! Namun mengapa tidak? Kita juga adalah binatang penghuni dunia.

Kayleena Pierce-Bohen menulis di Screenrant pada tahun 2013 bahwa “Kehadiran Golden Girls dalam budaya pop hampir-hampir dianggap sebagai sesuatu yang mistis. Kekuatan dan ketahanan mereka melalui cobaan dan ujian selama masa ‘tahun-tahun emas’ mereka telah menjadikan mereka nyaris bagai santo pelindung positivisme, sosok-sosok yang berani dan bersemangat, yang dapat menjadi panutan pada masa-masa sulit”.

Dalam konteks skenario apokaliptik (kiamat) kita saat ini, apa yang seharusnya dilakukan oleh Golden Girls seperti saya? Apakah saya terlalu idealis dan naif untuk berpikir bahwa saya dapat membuat perbedaan?

Faktanya adalah bahwa kita sedang mengalami perubahan masa yang terjadi selama beberapa dekade yang selalu melibatkan kekacauan, kekerasan dan kehancuran. Jadi apa yang menurut logika manusia normal tidak masuk akal, sebenarnya mungkin hanya proses regenerasi kehidupan, yang harus melalui siklus kehancuran dan kematian.

Bagaimanakah ulat menjadi kupu-kupu? Melalui metamorfosa. Ulat makan dan makan dan tumbuh menjadi sangat besar. Ketika sudah dewasa, ia berhenti makan dan menjadi kepompong, tahap yang berlangsung selama beberapa minggu hingga dua tahun. Sepertinya tidak ada apa-apa yang terjadi, namun sebenarnya kepompong sedang dihancurkan untuk berubah menjadi kupu-kupu yang indah.

Saya sadar ini terdengar seperti perumpamaan yang terlalu disederhanakan, tetapi mungkin kekacauan dunia saat ini dapat disamakan dengan proses kepompong menjadi kupu-kupu. Jelas bahwa dunia seperti yang kita kenal sekarang tidak lagi dapat berlanjut. Dunia Barat sedang mengalami penurunan yang bersifat bunuh diri, dan terdapat indikasi akan terjadi kebangkitan Dunia Timur, dengan kata lain, Asia. Kita tidak bisa memastikan berapa lama, tapi mungkin tidak kurang dari 15 sampai 20 tahun.

Apakah ini berarti kita hanya duduk dan diam saja, tidak melakukan apa-apa? Tidak, kita masih bisa menjadi agen perubahan untuk menciptakan paradigma baru yang tidak didasarkan pada keserakahan dan eksploitasi, tetapi pada kerjasama dan kedermawanan – setidaknya secara spiritual.

Saya tentu tidak memiliki semua jawaban atas persoalan-persoalan di atas, tetapi yang pasti, saya masih tetap akan menjadi Golden Girl yang bersemangat, bergairah dan juga berwawasan spiritual!

Saat ini para pemimpin dunia tampaknya seperti “Tina”, mantan pekerja rumah tangga saya yang selalu membuat pilihan hidup yang buruk, yang mengakibatkan dia sering sekali sakit dan terlibat dalam hubungan dan situasi yang tidak menguntungkannya. Seperti banyak pemimpin dunia, dia selalu menyalahkan dan menyerang orang lain. Sayangnya, kebanyakan orang di bumi ini seperti Tina.

Mari kita semua mencoba menjadi Golden Girl, berapa pun usia kita!

Ikuti tulisan menarik Fadhel Fikri lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler