x

Gambar oleh HeonCheol LEE dari Pixabay

Iklan

Em Fardhan

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 9 November 2021

Rabu, 10 Agustus 2022 16:32 WIB

Rumekso Ing Wengi (part 2)

Sekarang aku tinggal memikirkan bagaimana caranya aku bisa segera pergi tanpa ketahuan lagi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Glek!

 

Aku menelan ludah. Keringatku seketika menetes. Perlahan-lahan aku menengok ke belakang dan benar saja Kakek Suman kini sudah berada di dekatku. Wajahnya yang renta terlihat semakin jelas sebab tersorot cahaya obor penerang ruangan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

"Sa-saya, anu, Kek. Saya ingin buang air kecil," jawabku terbata-bata. Mata ini menelisik ke arah tangan Kakek Suman. Aku sedikit lega karena tak mendapati golok di sana.

 

"Oalah, Nak. Tempat buang air itu berada di belakang, bukan di luar. Ayo ikut saya," tukas Kakek Suman sambil bertolak ke belakang.

 

Dengan dada yang masih berdegup tak karuan, aku mengekor mengikuti Kakek itu melangkah. Setelah dibukanya pintu belakang yang menghubungkan ruang tengah dengan dapur, terlihat ada satu ruangan kotak yang hanya di sekat sederhana dengan gedek atau geribik bambu.

 

"Itu di sana, Nak, tempat buang air kecilnya. Kalau sudah selesai segera istirahat saja, biar tenaga bisa pulih dan pagi-pagi nanti ada tenaga untuk perjalanan pulang." Kakek Suman menunjuk tempat itu.

 

Aku mengangguk kecil. Mataku mengawasi sekitar. Ada segenap keraguan, tetapi karena sudah telanjur bohong tadi mau tak mau aku melangkah juga.

 

"Kakek lanjutkan istirahatnya, saya tak perlu ditemani," kataku sambil terus melirik di sekitaran tangannya.

 

"Baiklah, Nak. Ingat jangan pergi dari sini. Keadaan di luar sangat membahayakan. Rumah Kakek ini pinggiran Hutan Merumati yang terkenal angker. Selain sarang demit juga sarang binatang buas. Hanya satu rumah di sini yaitu rumah Kakek ini. Desa sebelah masih cukup jauh," lanjut Kakek Suman.

 

Aku kembali mengangguk. Namun, diam-diam aku akan tetap pergi. Apalagi melihat keseraman di kamar Kakek tadi. Aku yakin benar bahwa Kakek Suman adalah semacam psikopat. Hanya saja aku tetap bersikap biasa agar ia tak curiga kalau aku sudah mengetahuinya.

 

Aku bergegas masuk ke ruangan sempit berbatas geribik sederhana. Di sana ada kakus kecil dengan gentong air untuk piranti membersihkan sehabis buang air besar. Aku tengok ke arah Kakek Suman berdiri tadi, kulihat ia perlahan terbungkuk-bungkuk masuk ke dalam rumah. Aku bernapas lega.

 

Sekarang aku tinggal memikirkan bagaimana caranya aku bisa segera pergi tanpa ketahuan lagi.

 

Sebenarnya logikaku berkata bahwa ngapain harus takut dengan kakek renta, bahkan jika ia memakai golok, bukankah tenagaku yang muda ini pasti jauh lebih kuat jika nanti harus berkelahi? Namun, kemudian aku tersadar ketika mengingat kejadian di pintu depan tadi, tanpa suara Kakek itu tiba-tiba telah berada di belakangku. Pasti ia bukan orang sembarangan, batinku.

 

Yang pasti aku mesti berhati-hati.

 

Aku kini berniat akan nekat saja mendobrak pintu dan segera kabur. Persetan dengannya nanti akan bagaimana. Namun, kemudian saat melangkah ke luar dari kakus aku melihat sebuah pintu dapur, yang tampaknya langsung mengarah ke belakang rumah.

 

Aku mendekat dan mengintip dari sela-sela geribik untuk memastikan. Benar, langsung ke pekarangan belakang rumah. 

 

Ku toleh ke arah pintu pembatas ruang tamu dan dapur, tampaknya Kakek Suman tidak tahu. Aku pun segera bergegas membuka pintu itu, tetapi terkunci.

 

Aku amati sekitaran pintu itu. Ada sebuah pasak kayu di sana. Aku lepas perlahan dan berhasil. Pintu perlahan aku buka.

 

Kriettt ….

 

Belum genap pintu terbuka sepenuhnya tiba-tiba sebuah suara mengagetkanku.

 

"Sudah aku bilang jangan pergi, Nak! Namun, jika kamu nekat akan pergi boleh saja, tetapi tinggalkan dulu kepalamu!"

 

Sontak aku menoleh ke belakang. Tak jauh dariku tengah berdiri Kakek Suman sembari memegang golok yang berkilat, pertanda itu sangat tajam. Wajahnya tidak lagi mengguratkan aura keramahan seperti sebelumnya, tetapi kini tatapannya telah berubah ganas, seakan ingin melumatku hidup-hidup.

 

Aku bergegas membuka pintu dan lari keluar. Tak peduli lagi dengan peringatannya lagi.

 

Lintang-pukang aku menerjang semak-semak dan beberapa kali mesti tersandung akar-akar kayu yang menjulang. Rupanya kawasan belakang rumah Kakek Suman ini penuh dengan semak-semak berduri.

 

Rasa perih dan sakit tak aku hiraukan. Aku terus berlari seperti kesetanan. Kini aku tak tahu arah lagu sebab semua di sekelilingku pohon-pohon besar. Yang ada dalam benakku asal aku bisa jauh dari rumah Kakek Suman.

 

Aku berhenti sejenak mengatur napasku yang tersengal-sengal. Kuedarkan pandangan ke segala arah, yang tampak hanya gelap dan kesunyian. Apa aku telah kembali di hutan lagi? Ah, ini tentu jauh lebih baik daripada di rumah Kakek psikopat itu.

 

"Jangan lari, Nak. Tinggalkan kepalamu dulu!" Suara Kakek Suman tiba-tiba terdengar.

 

Aku menoleh ternyata ia sudah sampai di belakangku dengan tergopoh-gopoh mengejarku. Aku kini semakin yakin bahwa ia bukan orang sembarangan. Atau mungkin malah setan.

 

Aku kembali memacu kakiku dengan segenap tenaga. Napasku tersengal-sengal tetapi aku paksa untuk terus berlari. Sampai kemudian kujumpai ada sebuah pohon yang sangat besar. Untuk berlari terus rasanya aku tak kuat lagi. Aku punya ide untuk memanjat pohon dan bersembunyi di sana.

 

Kutoleh ke arah belakang, tak kudapati lagi Kakek Suman di sana. Tampaknya ia tertinggal jauh di belakang. Syukurlah.

 

Kemudian aku mendekat ke arah pohon besar itu dan bersusah payah memanjat dengan meraih dahan demi dahan. Beberapa sempat patah karena lapuk. Namun, aku terus merangkak naik dengan sisa tenaga yang aku punya. Sesekali aku menengok ke bawah untuk memastikan bahwa Kakek psikopat itu tak mengetahui keberadaanku. Kini aku telah sampai di atas pohon dan segera bersembunyi di sela-sela dahan yang rapat. Aku yakin Kakek Suman tak bisa menemukanku di sini, apalagi daun-daun tumbuh begitu rimbun.

 

Aku sejenak mengatur napas untuk memulihkan tenaga. Belum pulih benar tenagaku, tiba-tiba sayup-sayup aku dengar suara derak ranting yang di injak-injak seseorang dari bawah sana.

 

Mataku mengintip. Terlihat Kakek Suman tepat berada di bawah pohon tempat aku sembunyi. Meski keadaan gelap gulita, tetapi karena obor yang di bawa Kakek Suman, menjadikan aku bisa melihat dengan jelas bagaimana ia terlihat semakin mengerikan dan terlihat juga sebilah golok di salah satu tangannya.

 

Aku membungkam mulut. Jantungku terpacu lagi. Oh, Gusti. Lindungi hambamu yang lemah ini.

 

Aku terus merapal doa-doa perlindungan dan penenang hati. Aku tidak ingin mati konyol di ujung golok Kakek Suman.

 

Beberapa lama kemudian kulihat Kakek Suman mulai perlahan menjauh dan kemudian hilang di kegelapan malam. Aku bernapas lega dan tak lupa mengucap puji syukur kepada Gusti Pangeran.

 

Kini aku berniat untuk tidur saja di atas pohon dan turun nanti jika sudah pagi. Aku meraih ranselku. Untung saja masih sempat terbawa tadi. Kurogoh sebuah kaos dari dalam. Aku memang biasa kalau pergi-pergi pasti membawa pakaian ganti.

 

Aku sobek sedemikian rupa kaos itu dan aku ulur memanjang serta aku buat beberapa ikatan. Aku ikat di tubuhku dan dengan dahan pohon agar aku tidak terjatuh jika tidur nanti.

 

Aku tengok jam di tanganku. Masih pukul 00.30 dini hari. Entah kenapa malam ini terasa begitu panjang. Tenagaku sudah hampir terkuras.

 

Aku menghela napas kasar. Luka-luka dan letih luar biasa kurasakan menyatu dalam tubuh menimbulkan sensasi yang amat pedih. Namun, apa daya, aku kini hanya bisa menahannya.

 

Sial benar aku hari ini. Kenapa Doni tidak pernah mengatakan bahwa hutan ini angker. Aku berniat akan memarahinya jika bertemu nanti. Awas saja!

 

Kurebahkan badanku di dahan yang cukup besar dengan kugunakan tas ranselku sebagai bantal. Mataku hampir saja terpejam kalau saja tidak kudengar suara seperti mendesis-desis.

 

Awalnya aku abaikan saja karena aku sudah sangat lelah dan mengantuk. Aku juga berpikir bahwa itu hanya suara angin, tetapi lama-kelamaan suara aneh itu semakin jelas terdengar dan terasa juga dahan-dahan ikut bergetar pelan.

 

Aku membuka mata perlahan untuk memastikan suara apa itu. Dan astaga! Meski keadaan gelap tapi mataku masih cukup awas melihat bahwa itu adalah ular. Demi apapun! Aku tak pernah melihat ular sebesar itu dalam hidupku.

 

Sontak aku beringsut menjauh berpindah dahan. Namun, ular itu tampaknya cukup sadar bahwa ada mangsa yang menggairahkan berada di depannya. Ular itu kini makin mendekat dan mendekat.

 

Kali ini apa yang mesti aku lakukan? Hanya dua hal kemungkinan yang terjadi dan semuanya adalah kemungkinan buruk. Apakah aku mati karena tubuhku dilumat utuh-utuh oleh ular itu atau mati terjun dari atas pohon ini?

 

Entah ….

 

Bersambung

 

Ikuti tulisan menarik Em Fardhan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler