x

Ilustrasi Penulis. Foto karya Yerson Retamal dari Pixabay.com

Iklan

Em Fardhan

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 9 November 2021

Minggu, 21 Mei 2023 17:13 WIB

Penulis yang Menemukan Kembali Gairahnya

Ethan sebagai penulis ambisius pun mulai frustasi. Semakin lama karyanya menjadi tidak berkualitas. Sampai akhirnya ia menyerah, ia putus asa, ia memutuskan untuk mundur menjadi penulis dan kerja di sebagai karyawan di sebuah ekspedisi pengiriman. Meski ia tak suka, ia harus tetap bekerja untuk bertahan hidup, karena penghasilan sebagai penulis sudah tak bisa ia dapatkan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

       Ethan memarkir mobil tua di garasi rumahnya dengan perasaan malas. Ia lalu turun dan masuk rumah. Pintunya ditutup sekenanya.

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ia duduk di kursi sofa berpola kotak-kotak. Ia lalu bangkit dan menuju dapur. Membuka kulkas tua lalu mengambil sebotol minuman bersoda dan meminumnya.

 

Matanya mengedarkan pandangan ke segala arah. Tampak berantakan. Maklum, ia tinggal di rumah itu sendiri. Karena kesibukannya di tempat kerja yang luar biasa, ia sampai enggan untuk membersihkan rumah.

 

Ia lalu menuju teras belakang rumah. Ada sebuah kursi santai di sana dengan taman kecil dipenuhi rumput. Namun, tentu saja rumputnya seperti tak pernah dirapikan hingga semak belukar ikut berpartisipasi di sana.

 

Ethan menenggak botol minuman lagi. Matanya terpejam sesaat. Ia membiarkan angin sore membelai rambutnya yang panjang tak beraturan. Cambang dan kumisnya pun terlihat belum dirapikan hingga membuat penampilannya tampak lebih tua dari usianya.

 

Ethan mengembuskan napas kasar.

 

Ethan merasa bahwa rutinitas sehari-hari membuatnya sangat bosan dengan hidup. Ia mulai merasakan jenuh yang sebenarnya. Merasa tidak memiliki makna dan tujuan hidup lagi.

 

Dulu, ia pernah merasa sangat bergairah. Saat ia dielukan banyak orang. Saat hampir setiap waktu merasa dibutuhkan. Namun, kini, mungkin semua orang telah melupakannya. Ia paham, ia maklum. Begitulah manusia. Tak perlu salahkan, sebab itu adalah hal yang wajar. 

 

Ethan adalah mantan penulis. Yah, mantan. Ia memutuskan untuk melupakan profesi sekaligus impian sejak kecilnya itu dalam-dalam. 

 

Dulu, ia pernah menggondol penghargaan bergengsi, salah satu karya novelnya pernah mendapatkan penghargaan karya sastra terbaik di tahun itu. Saat itu, namanya pun melejit, dikenal di mana-mana, bahkan ia seperti tak ada waktu untuk meladeni penggemar-penggemar yang meminta tanda tangan atau sekedar berfoto ria.

 

Ponselnya tak pernah sepi dari puji-pujian penggemarnya. Ia merasa sangat hidup saat itu. Begitu bergairah.

 

Namun, hal tersulit di dunia ini adalah tentang mempertahankan. Benarlah kata orang bijak, bahwa mempertahankan itu jauh lebih sulit daripada mendapatkan.

 

Ia baru sadar, bahwa sebuah kesuksesan sejatinya adalah sebuah tanggung jawab. Semakin ia sukses, semakin berat pula tanggung jawabnya, pun godaannya. Itu satu paket.

 

Ia kelimpungan harus mempertahankan eksistensi ketenarannya dan ia gagal. Pada karya-karya berikutnya tak seramai digemari seperti karya sebelumnya. Perlahan tapi pasti, Ethan yang pernah dikenal sebagai penulis kenamaan tanah air pun mulai dilupakan banyak orang.

 

Ia sebagai penulis ambisius pun mulai frustasi. Semakin lama karyanya menjadi tidak berkualitas. Sampai akhirnya ia menyerah, ia putus asa, ia memutuskan untuk mundur menjadi penulis dan kerja di sebagai karyawan di sebuah ekspedisi pengiriman. Meski ia tak suka, ia harus tetap bekerja untuk bertahan hidup, karena penghasilan sebagai penulis sudah tak bisa ia dapatkan.

 

Sore ini entah kenapa perasaan rindu ingin menulis itu tumbuh kembali. Sebenarnya sejak semingguan ini, sejak ia melewati perpustakaan tua di ujung kota ketika ia hendak pulang kerja.

 

Melihat perpustakaan itu ada rasa rindu yang menggebu. Ia ingat bahwa ketika masih getol-getolnya ingin menjadi penulis, ia hampir seharian berada di perpustakaan itu. 

 

Ia teguk minuman bersoda.

 

Tiba-tiba ponsel berbunyi. Ada sebuah notifikasi pesan masuk.

 

Ia merogoh ponsel dari saku jaketnya yang lusuh, lalu ia membuka dengan malas pesan itu.

 

Sebuah pesan masuk dari nomor tidak dikenal.

 

[Bang Ethan. Bisakah kita bertemu malam ini di cafe Astrada? Ada hal penting,] tulis pesan itu.

 

Ethan menerka-nerka siapa pula yang chat ngajak ketemuan. Penggemar? Mana mungkin. Ia sudah lama tidak punya penggemar.

 

Ia balas sekenanya, [Baik].

 

Lalu menaruh ponselnya ke atas meja dengan kasar. Ia bergegas ke dalam dan bersiap untuk mandi.

 

***

        Suasana cafe malam ini cukup ramai. Wajar, karena cafe ini adalah cafe terkenal di daerahnya.

 

Ethan datang tepat pukul 8 malam. Dengan berpenampilan apa adanya seperti biasa, karena ia sudah lama tidak bergairah mematut diri.

 

Ia celingukan ke sana-sini. Ia duduk asal disebuah kursi yang kosong. Meraih ponsel di saku, lalu mencoba menghubungi orang yang tadi mengajak ia bertemu.

 

Namun, nomornya tidak aktif.

 

Mengumpat Ethan dalam hati. 'Apakah aku tengah dikerjai?' pikirnya.

 

Namun, ia mencoba berprasangka baik. Ia memanggil pelayan dan mencoba pesan minuman, untuk menenangkan sedikit pikirannya.

 

Beberapa kemudian bahu Ethan di tepuk dari belakang. Spontan Ethan menoleh dan mendapati seorang pemuda berwajah bersih, berkacamata, dan sedang tersenyum ramah.

 

"Bang, Ethan? Akhirnya aku bisa bertemu denganmu, Bang!" Tanpa aba-aba pemuda itu menubruk Ethan dan memeluknya erat.

 

Ethan celingukan. Wajahnya bingung juga, siapa gerangan pemuda ini, main peluk saja. Ia mencoba mengingat-ingat rupa dan perawakannya, tapi ia benar-benar tidak ingat.

 

Pemuda itu kini sudah berpindah duduk di depannya.

 

"Maaf, Bang. Hp saya ngedrop tadi, jadi mati. Untung saja saya masih agak ingat wajah Bang Ethan, yah, meskipun sekarang sudah jauh lebih ...." Tak dilanjutkan perkataan itu.

 

"Tua?" saut Ethan mendahului.

 

Pemuda hanya senyum kecil, "Enggak, Bang. Bukan tua. Tapi dewasa."

 

"Halah. Oh iya. Kamu siapa? Aku sepertinya belum pernah ketemu kamu?" Tak mau berbasa-basi, Ethan langsung menembak pertanyaan.

 

"Tentu saja Bang Ethan nggak kenal saya, karena Bang Ethan sudah nggak aktif di literasi, sih! Iya, kan?" tukas pemuda itu kemudian.

 

Ethan menyeruput kopi panas di atas meja. Menyadari pemuda itu belum pesan, Ethan memanggil pelayan lagi dan menyuruh pemuda itu untuk pesan.

 

"Bang Ethan mau pesan apalagi. Terserah mau pesan apa, pokoknya malam ini biar aku yang traktir, Bang!" kata Pemuda itu sembari memamerkan senyum khasnya. Matanya yang bersembunyi di balik kacamata yang entah minus berapa itu terlihat berbinar-binar.

 

"Apa sajalah. Makanan ringan boleh," kata Ethan sekenanya.

 

Pelayan kembali ke belakang, membawa daftar pesanan dari pemuda itu.

 

"Bang, sibuk apa sekarang? Aku cari info ke sana-sini nomor Abang, akhirnya dapat juga!" cerocos pemuda berkacamata itu seolah tidak mengindahkan Ethan yang sejak tadi penasaran.

 

"Sebenarnya siapa kamu? Jangan sok akrab. Kita belum pernah ketemu, bukan?" jawab Ethan tanpa basa-basi. Risih juga ia lama-lama dengan sikap anak muda itu.

 

"Hmmm, baiklah. Sebenarnya memang Bang Ethan gak pernah kenal saya, Bang," tukas pemuda itu.

 

"Lalu kenapa kalau tidak kenal ngajak ketemuan? Mau nipu?" balas Ethan kemudian.

 

"Ya elah, Bang. Sabar napa. Biarin aku jelasin dulu. Abang memang ga pernah kenal aku, tapi aku kenal banget sama Abang, karena Abang adalah pahlawan bagiku."

 

'Pahlawan? Pahlawan macam apa?' batin Ethan.

 

Pemuda itu terlihat mengambil sesuatu dari tas ranselnya. Sebuah buku, lalu di sodorkan ke depan Ethan.

 

"Abang masih ingat buku ini?"

 

Berdenyut hati Ethan. Mengingat buku itu. Darimana pemuda itu mendapatkannya?

 

"Lalu?" jawab Ethan tetap masih cuek. Meski perasaannya sangat penasaran.

 

"Buku ini merubah seorang anak kecil yang putus asa, yatim piatu, menjadi seorang yang kemudian berguna bagi banyak orang, Bang. Menjadi orang yang diperhatikan dan dibanggakan banyak orang."

 

Ethan diam saja, menyimak. Membiarkan pemuda itu terus bercerita.

 

"15 tahun yang lalu, seorang anak kecil datang ke perpustakaan tua dan menemukan buku ini. Lewat buku inilah akhirnya anak kecil yang putus asa dan kesepian itu akhirnya mempunyai kekuatan untuk berjuang dan akhirnya seperti sekarang," ucap pemuda itu sembari menunjuk dirinya sendiri.

 

Ethan mulai paham. Tapi membiarkan pemuda itu terus bercerita.

 

"Bang, buku tipis kumpulan cerpen ini memang tidak laris seperti novel Abang yang pernah meledak, tapi ketahuilah, Bang. Buku tipis ini mampu menyelamatkan kehidupan anak yang malang."

 

Ethan menghela napas. Ada rasa sesak yang entah apa. Kerinduan menulis yang seminggu ini menyambanginya seperti mulai menggeliat lagi.

 

Belum sempat Ethan berkata-kata lagi, pemuda itu mengambil sesuatu dari dalam tasnya lagi. Sebuah buku tebal, tampaknya novel.

 

"Bang, ini novel sekarang lagi laris di pasaran. Kenang-kenangan buat Abang," tukas pemuda itu sembari menyodorkan.

 

Lama nian rasanya Ethan tak menyentuh buku. Yah, sejak beberapa tahun silam, ketika ia memutuskan untuk berhenti menulis, ia sudah sama sekali tidak menyentuh buku. Baik menulis maupun membaca.

 

Ethan menerima buku itu. Sebuah novel kehidupan. Ia balik ke belakang, membuka biografi penulisnya, di sana terpampang sebuah foto dan biografi dari penulis.

 

"Wah, ini karya kamu?" kata Ethan sembari melirik. Tak menyangka bahwa pemuda cerewet di depannya adalah seorang penulis novel terkenal.

 

Pemuda itu mengangguk.

 

"Bang, mulailah menulis lagi. Aku tahu, bahwa seorang penulis yang sejati, bagaimanapun keadaannya, ia pasti akan tetap menulis. Penulis itu adalah orang pilihan Tuhan, Bang. Lewat karya, ia mampu mengubah dunia. Contohnya saya ini. Menjadi seperti ini hanya gara-gara tulisan Abang."

 

Mata Ethan tak kuasa menahan air mata. Rasa rindu yang semingguan ini menyiksanya akhirnya jebol juga.

 

Ia bangkit dan kemudian memeluk pemuda itu.

 

"Terimakasih. Kamu sudah menyadarkan saya, wahai penulis muda. Dan saya hari ini mendapatkan pelajaran berharga dari kamu."

 

Ethan memeluk erat pemuda itu. Pemuda itu membalas dengan tak kalah erat. Ethan sadar bahwa menulis tak harus berhubungan dengan uang dan ketenaran, tetapi lebih dari itu.

 

Pelukan mereka terhenti ketika pelayan tiba-tiba datang membawa pesanan.

 

"Makasih, ya, Nis. Oh, iya, bilang ke semua pelanggan. Umumkan. Bahwa makanan malam ini gratis semua. Karena aku tengah bahagia," tukas pemuda itu kepada pelayan.

 

"Baik, Pak, saya permisi," ujar pelayan sembari berlalu.

 

Ethan bingung lagi. Namun, sebelum ia menerka lebih lanjut, pemuda itu duluan berbicara.

 

"Ini cafe milik saya, Bang. Jadi, Abang bebas pesan apa saja, gratis!" ujarnya lugas sembari memamerkan senyum khasnya.

 

***

 

Tamat.

 

 

 

 

 

Ikuti tulisan menarik Em Fardhan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler