Praktisi seni, penulis.
Cerita Setan (4)
Jumat, 16 September 2022 13:20 WIB
Cerita Setan (4) Seri Hantu Antitesis. Hanya sebuah cerita imaji, tentang teknologi dunia siluman. Apakah ada si siluman itu. Salam baik saudaraku.
Seri (4): Antitesis.
“Bocor! Selalu! Bocor. Ikh, eke'k gemes deh." Kata makhluk satu.
“Apanya bocor Bro.” Suara makhluk dua.
“Entah! Tapi kelihatannya bocor.” Makhluk satu menimpali.
“Iya! Apanya bocor. Ember? Pandir. Ditanya malah perkiraan mutermuter.” Makhluk dua kesal bersungutsungut.
”Justru belum jelas. Secara struktur filosofis maupun disiplin sains.” Makhluk satu meremas batu. “Dasar kucing. Batu aku remas. Aku kira kertas. Kesal! Hih, sebel deh.” Makhluk satu, kesal, melempar batu ke sembarang tempat. "Dom!" Bunyi batu di lempar.
Keduanya, entah, tak mendengar bunyi batu itu, atau memang purapura tak mendengar, bisa jadi memang tak mau mendengar, ketakutan, mungkin juga tuli.
**
“Kisruh. Jadi, tak jelas penyebabnya.” Makhluk dua membuka perbincangan, setelah jeda beberapa saat.
“Mana aku tahu. Penjelasannya, jelasnya, tak jelas. Ya, itu! Bocor!” Makhluk satu. Sembari terus mendiagnosa dengan alat seadanya, semacam stetoskop, tampaknya bukan.
“Kamu sedang apa?” Makhluk dua, curiga waswas, melihat adegan aneh dari perilaku makhluk satu. Sebentarsebentar menempelkan telinganya dengan sebuah alat seadanya, kelihatannya, sembari tarik napas. Perilaku makhluk satu semakin membuat makhluk dua penasaran.
“Kamu mendiagnosa dia kan. Benar kan? Seharusnya dengan stetoskop kan, mendengarkan jantungnya, juga paruparunya kan?” Makhluk dua makin curiga.
“Lah iya lah Bray, tak mungkin lah aku purapura mendiagnosa, dengan alat modern ini.” Suara jengkel makhluk satu.
Makhluk dua menyelang cepat. “Modern? Ko'k!” Makhluk dua ragu meneruskan. Dia harus bertanya sejelasjelasnya, setuntasnya, harus tak peduli, bodo'k amat. Lanjutnya “Mirip dengan dot makhluk tuyul terbalik Bro. Warnanya juga persis, nyata, sama, agak menghitam agak sepia sedikit. Akh …”
“Netramu kemana.” Nada jengkel juga makhluk satu.
“Enggak sih. Hanya saja cukup aneh, dot makhluk tuyul terbalik, kok bisa, seolaholah menjadi alat untuk mendiagnosa.” Makhluk dua memalingkan mukanya ke arah lain.
”Bung! Silakan coba dengarkan. Debat sesama pandir tak menyelesaikan masalah. Silakan coba. Perdebatan macam kusir, tak diperlukan di palanet ini, tau.” Seraya menyodorkan alat diagnosa kepada makhluk dua, agak enggan menerima, namun, ini sebuah tantangan, dalam hatinya. Aku, ko'k ditantang.
Menerima alat diagnosa dari makhluk satu. Sesungguhnya makhluk dua, agak ragu akan kemampuannya, sebab, dia memang tak punya keahlian mendiagnosa apapun, kecuali zaman cinta monyet, dia juara mengelabui pacarnya, supaya bisa sun kirikanan pipi pacarnya, kini jadi pasangan setia hidupnya, masa itu lewat sudah, dia tak punya pengalaman asmara lain, hanya itu.
“Celaka! Bisa nggak ya.” Dalam hati makhluk dua. “Harus bisa.” Lagi, dalam benaknya.
“Ayo lakukanlah sekehendakmu, kamu kan credible, dalam istilah bahasa elite supranatural, dari caramu bertanya tadi. Ayo! Lakukan.” Sembari makhluk satu membuang mukanya ke arah lain.
“Bung. Jangan melengos begitu dong. Aku selalu memperhatikanmu, sejak awal, tadi. Tak sedikitpun memalingkan muka. Kalau kau tak memperhatikan, tak mau aku, susah payah mendiagnosa. Jangan culas dong sedang musim pancaroba bimsalabim begini. Anda mau jadi iblis anu ya, atau siluman itu ya."
"Tidak." Makhluk satu menggeleng.
"Tak kunjung mampu diberantas Bro. Lantas kita berdua sebagai pengabdi tak.tik.tok tok.tok.tok. Memohon perlindungan tok.tok.tok pada siapa. Pada hantu?” Seraya melempar alat diagnosa itu ke bawah kaki makhluk satu. Makhluk satu dengan kesabaran supersekali, mengambil alat itu, menyerahkan kembali kepada makhluk dua.
“Silakan sobat, maafkan aku, baiklah, aku perhatikan sejak sekarang, sebagai salah satu makhluk di muka bumi ini, seolaholah hamba mewakili ... tok.tok.tok.” Keduanya bersalaman erat, saling memeluk “Oke." Sepakat. Mufakat. Makrifat. Tetap saja bagi kedua makhluk itu, ada, keraguan.
“Ini stetoskop atau kaleidoskop. Dot makhluk tuyul terbalik.” kata hati makhluk dua, aku harus memaksa mengerti, seolaholah tau menahu.
Dengan saksama, makhluk dua, memeriksa detail makhluk tiga, ada, di depan mereka. Seolaholah mampu mendiagnosa makhluk tiga dari segala segi, unsur, perspektif norma hukumhukum keilmuan. Makhluk dua menempelkan telinganya ke alat diagnosa mirip dot tuyul itu.
“Astaga!” Lalu dia memeriksa lagi, “Astaga! Celaka kita. Celaka mati. Celaka duka nestapa! Oh!” Suara makhluk dua cemas.
“Ada apa Bung. Jelaskan.” Makhluk satu menyelang cepat, sekali lagi, “Ada apa Bung? Bung! Jangan pingsan dulu. Bung!” Makhluk satu, secepat kilat menangkap tubuh makhluk dua, menjelang oleng kanankiri dari posisinya. Diraihnya sahabat baru itu, dipeluknya eraterat. Di antara sekat napas makhluk dua, masih mencoba membisikkan sesuatu ketelinga makhluk satu. Bukan main terkejutnya makhluk satu, setelah mendengar bisikan singkat dari makhluk dua menuju pingsan.
“Astaga naganaganya. Jadi makin ruwet begini nasibku …” Belum usai kalimat makhluk satu. Makhluk dua, wafat.
“Oh …Tak mungkin. Oh … Mana mungkin … kau betulbetul, kurang sopan … Oh!” Mengharubiru tangisan kesedihannya.
**
Puluhan tahun setelah kejadian itu. Sekelompok makhluk wisatawan melakukan pendakian, menemukan tiga jasad makhluk berbentuk aneh, masih dalam keadaan utuh bugar. Dari catatan ketiga jasad itu, ditemukan penjelasan penelitian mereka.
Para wisatawan, tercengang, ngeri, horor, mega keanehan, menggemaskan, penasaran. Akhirnya para wisatawan, memutuskan, tidak pulang, mereka sepakat meneruskan penelitian ketiga jasad makhluk aneh di depan mereka.
“Ini temuan fenomenal. Luar biasa! Sangat jenius. Dunia akan terkejut.” Wisatawan satu mencoba meyakinkan, kawankawannya.
“Sungguh mengagumkan.” Serentak, suara wisatawan membulat.
**
Berabad kemudian. Jasad para makhluk wisatawan sebelumnya, ditemukan, oleh dua makhluk wisatawan lain.“ Jasad mereka semua utuh, bugar sekale.” Suara wisatawan satu.
“Aneh …” Suara salah satu wisatawan.
“Dimana anehnya?” Suara wisatawan dua.
“Perhatikan sekeliling. Tak ada satupun tandatanda situs purbakala, bentukbentuk ciri kepurbaan. Jasad mereka disayang alam. Jadi mumi! Wow! Keren Bray!” Suara wisatawan satu.
“Aneh.” Serentak. Kedua makhluk wisatawan, meneruskan pendakian. Menuju penelitian lanjutan.
**
Kabar semacam itu terus berkembang dari zaman ke zaman, bahkan kabar terbaru, mereka sesungguhnya bukan golongan makhluk pada umumnya, mereka semua tidak mati, meski tampak kasatmata telah tewas. Namun sesungguhnya lagi, telah terjadi revolusi berevolusi, bahkan berita terkini jadi populer di media milenial terkontemporer sekale.
Mereka tampak telah mati, sebenarnya tetap hidup. Salah satu dari mereka tampil di layar teknologi terbarukan. Berpenampilan keren banget, gayanya oke banget, bak politikus papan atas kelas dunia berkelebihan banget. Seni akting prima-spekta. Memberi pernyataan.
“Pemirsa. Kalau ingin hidup sehat ikuti jejak kami, meskipun titik titik telah di dalam tanda petik, namun titik titik sebagai wacana tok tok tok, hingga detik ini masih tetap tidak mampu memberantas titik titik dalam tanda petik buka plus tanda petik tutup, titik titik. Di antara fenomena ha.ra.ku.cu. abakadraba. Demikian sekilas info.”
Lantas siaran layar elektronik itu bergelombang terus menerus. Sang sosok makhluk melebur diri menjadi semacam proton elektron. Para penonton di seluruh planet bumi kagum.
Tetap duduk sepanjang hayat di kandung badan di depan layar monitor layarkaca dimanapun berada. Hingga planet bumi menjadi fosil.
***
Jabodetabek Indonesia, September 16, 2022.

Penulis Indonesiana
1 Pengikut

Bronk
Minggu, 6 Juli 2025 17:50 WIB
Militerisme? Biarin Aja
Sabtu, 5 Juli 2025 14:29 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler