x

Senja Tebing Breksi

Iklan

Em Fardhan

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 9 November 2021

Minggu, 18 September 2022 20:23 WIB

Kereta Senja

Sebuah cerita pendek.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

       Botol mineral aku teguk. Kutengok jam di tangan kananku, untuk memastikan keretaku kapan tiba. Ya, kini, aku tengah berada di stasiun Yogyakarta, hendak ke Jakarta, mengurus beberapa pekerjaan di sana.

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Berada di stasiun saat menjelang senja seperti ini, aku jadi teringat akan cerita pendek Seno Gumira Ajidarma yang berjudul "Tujuan: Negeri Senja" itu.

 

Aku tersenyum kecil, membayangkan imajinasi para penulis yang terkadang mengada-ada.

 

Terkadang sempat bertanya juga, dari mana penulis-penulis itu mendapatkan ide sehingga berimajinasi liar seperti itu.

 

Tiba-tiba pengeras suara di stasiun berbunyi, seorang petugas memberitahukan bahwa kurang lebih setengah jam lagi keretaku akan dilansir. Sengaja aku datang lebih awal, aku ingin menikmati perjalanan kali ini, tidak mau terburu-buru.

 

Kupastikan semua barang-barangku sekali lagi, agar nanti tidak ketinggalan seperti waktu lalu. Sifat pelupa ini kadang begitu menyebalkan.

 

Masih menggantung rupanya dalam benak akan cerita pendek kereta senja pergi ke negeri senja yang tadi terbesit dalam pikiran. Aku jadi asyik masyuk membayangkan bagaimana kalau kereta senja dalam cerita pendek itu beneran ada, lalu dalam hati aku iseng berkata: 'kalau memang ada kereta seperti itu, senja ini aku akan naik. Tidak kembali juga tidak apa-apa! Ha-ha!'

 

Aku tertawa kecil, menertawakan pikiran konyolku sendiri.

 

“Kamu tidak percaya bahwa kereta senja ke negeri senja itu beneran ada?” Tiba-tiba sebuah suara mengagetkanku.

 

Kulirik asal suara, seorang lelaki paruh baya dengan penampilan nyentrik, itu kalau tidak mau dikatakan kuno, ketinggalan jaman. Ia memakai topi pet berwarna hitam yang sudah memudar warnanya.

 

Kupindai seluruh badannya, terkhusus kakinya. Masih menapak tanah. Berarti aman, bukan setan.

 

Namun, kenapa ia bisa tahu kalau aku tengah menertawakan kereta senja itu?

 

Belum rampung keherananku, bapak itu bersuara lagi, kali ini malah mendekat dan duduk di sampingku.

 

“Kereta itu ada, Nak. Itu bukan khayalan atau sekedar fiktif semata,” ujarnya dengan suara tegas.

 

Aku mengucek mata beberapa saat, hanya demi memastikan bahwa sosok di sampingku ini benar-benar bukan makhluk jadi-jadian.

 

“Bapak siapa? Lalu, kenapa bisa tahu apa yang saya pikirkan?” tanyaku keheranan.

 

Bapak itu terkekeh untuk beberapa saat. Lalu berubah datar lagi seperti tadi.

 

“Tidak penting siapa aku, sebab sebentar lagi aku pun akan hilang dari dunia ini. Perkara kenapa aku tahu apa yang kau pikirkan, karena aku bisa membaca pikiran seseorang. Ini salah satu hal yang kata orang disebut anugrah, tetapi bagiku justru musibah.”

 

“Jadi, bapak indigo?” tanyaku lagi.

 

“Kata orang-orang seperti itu. Bayangkan, aku bisa mendengar suara yang ada di pikiran semua orang di sekitarku. Tentang rasa bangga mereka, tersenyum manis di hadapan kekasihnya padahal ia memikirkan wanita lain, memikirkan tekanan dari atasan di kerjaan, hutang yang menggunung, dan masih banyak lagi. Kalau kata orang itu adalah anugerah, aku berkata bahwa itu musibah, sebab justru itu sangat menyiksaku.” Bapak tua itu terus saja berbicara.

 

Aku masih terbengong-bengong macam sapi ompong.

 

“Jadi,” lanjutkan lagi, “aku bisa mendengar apa yang kau tertawakan tadi. Tentang negeri senja yang kau anggap konyol itu.”

 

“Tapi bukankah memang konyol, Pak?” ujarku cepat.

 

Dia mengekeh lagi. Lalu berubah datar lagi.

 

“Anak muda, banyak hal di dunia ini yang tidak masuk akal. Termasuk aku yang bisa membaca pikiran semua orang ini pun bagi kalian pasti juga tidak masuk akal. Negeri senja itu benar-benar ada. Dan aku sekarang akan pergi ke sana, sebab sudah terlalu jenuh aku dengan kehidupan dunia ini.”

 

Kulihat ia merogoh saku baju panjangnya yang kumal, lalu mengeluarkan sebatang cerutu berwarna coklat tua.

 

“Pak, di sini tidak boleh merokok,” kataku begitu menyadari apa yang hendak ia lakukan.

 

“Ini salah satu yang aku benci hidup di dunia ini, banyak aturan,” timpalnya sembari memasukkan lagi cerutu itu ke kantongnya.

 

Sebenarnya aku tidak ingin membuatnya kecewa, tetapi aku juga tidak setuju kalau ia sampai di usir satpam karena kedapatan merokok. Meski baru saja aku mengenalnya, bisa aku rasakan bahwa bapak ini orang yang baik.

 

“Jadi, bapak hendak ke negeri senja itu dengan kereta senja?” tanyaku.

 

“Ya, lebih baik seperti itu,” jawabnya lesu. Tampaknya ia masih kecewa sebab tak bisa merokok.

 

Dia melanjutkan, “Konon, di negeri senja, kau bisa bebas melakukan apa saja. Kau boleh bekerja, boleh tidak, tetapi yang pasti, di sana tidak ada larangan dan semua serba kecukupan. Kau tidak akan merasakan kepedihan dan kesepian lagi.”

 

“Seperti surga?” tanyaku lagi.

 

Dalam hati masih terbesit kelucuan ini. Negeri senja dan seorang bapak aneh. Apa jangan-jangan bapak ini ODGJ? Namun, karena menyadari ia bisa membaca pikiranku tadi, getar hati itu tak aku lanjutkan lebih panjang dalam pikiran.

 

“Ya, mungkin kurang lebih seperti itu,” jawabnya.

 

Aku masih tetap tidak percaya, tentu saja. Aku hanya berusaha menghargai kepercayaan bapak itu, Setidaknya aku tidak kesepian di ruang tunggu ini sendirian. Ada teman ngobrol.

 

“Kalau Bapak pergi ke negeri senja dengan kereta senja, itu berarti bapak tidak akan kembali, lho,” tukasku.

 

Aku meliriknya, hanya demi melihat ekspresinya.

 

Namun, ia benar-benar datar. Seperti seorang tahanan yang pasrah hendak dihukum mati.

 

“Ya, aku sudah tahu itu, sebab petugas loket sudah menjelaskan semuanya dan aku menyetujuinya.”

 

Petugas? Petugas yang mana? Aku juga tidak melihat ada kereta senja ke negeri senja di dalam daftar jadwal kereta.

 

Aku menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal.

 

Apakah aku mulai percaya? Tentu tidak. Aku masih waras, masih belum gila. Aku adalah orang yang sangat logis dan kritis, tidak semudah itu percaya hal-hal tahayul dan semacamnya. Apalagi negeri senja. Ha-ha! Jika diriku sampai percaya dengan negeri senja itu, aku akan menertawakan diri ini dengan terbahak-bahak sampai mam pus.

 

"Kau tau, Anak muda? Bagaimana rasanya orang yang sudah muak dengan dunia yang penuh sandiwara ini, ia ingin mati tapi belum saatnya. Mau bunuh diri masih sadar bahwa itu suatu dosa besar. Negeri senja adalah sebuah tujuan yang terbaik untuk orang dalam dilema seperti itu." Bapak itu menatapku serius.

 

Tidak. Ia tidak gila. Justru sangat waras Aku rasa. Hanya saja … entahlah.

 

Aku sambung ucapannya dengan menghela napas sejenak, “Kalau Bapak pergi. Apakah keluarga Bapak tidak kehilangan?” Aku balas memandangnya lekat.

 

“Kehilangan itu hanya milik mereka yang merasa memiliki, Anak muda. Sedangkan aku tak ada yang merasa, sebab aku tak punya siapa-siapa,” jawabnya sembari menerawang cakrawala.

 

Kali ini ekspresi bapak itu sedikit berbeda, wajahnya mendadak tenggelam dalam kesedihan.

 

Aku jadi tak enak hati.

 

“Jadi, Bapak hanya hidup sendiri?”

 

Dia mengangguk lemah.

 

Diam-diam hatiku menjadi trenyuh. Aku tahu betul bagaimana rasanya kesepian. Sangat menyiksa.

 

Aku menghela napas yang entah sudah beberapa kali. Aku juga teguk botol minuman lagi.

 

Tiba-tiba pengeras suara stasiun berbunyi kembali. Aku kira keretaku yang akan tiba, tetapi ternyata ….

 

Aku menelan ludah. Tercekat untuk beberapa saat.

 

Jadi, kereta itu benar-benar ada?

 

Kulihat bapak tua itu mendekat.

 

“Anak muda, saya duluan, ya. Keretaku sudah datang. Kalau kamu mau ikut menemani boleh saja, kereta senja bebas tiket dan gratis buat siapa saja yang mau ke negeri senja.” Bapak tua itu menepuk-nepuk pundakku.

 

Aku menggeleng cepat, sembari tersenyum kecut.

 

Suasana hati ini tak bisa kugambarkan bagaimana lagi. Berjubel segala pertanyaan dalam benak, saling berebut keluar minta segera dimuntahkan lebih dulu.

 

Akhirnya kereta senja itu benar-benar tiba. Persis yang dituliskan oleh Seno Gumira dalam ceritanya. Berwarna keperakan dan di dalam kereta, terlihat dari kaca, penuh dengan pemandangan yang belum pernah aku lihat dalam dunia nyata. Bak negeri dongeng. Aku sampai menggosok-gosok mata perlahan, tetapi tetap saja kereta senja itu terlihat nyata.

 

Kulihat bapak yang tadi duduk di sampingku mulai memasuki kereta, di sambut oleh pramugari yang cantiknya tak terkira. Pramugari itu terlihat begitu riang menyambutnya. Penumpang yang naik hanya satu orang, yakni bapak paruh baya itu.

 

Sebelum masuk ia menoleh ke arahku, lalu melambaikan tangan sambil tersenyum. Senyum pertama yang aku lihat sejak tadi. Tergambar jelas sekali ekspresi bahagianya.

 

Aku melambaikan tangan membalasnya.

 

Kemudian peluit Kondektur berbunyi, lalu disusul bel dari masinis menandakan kereta akan berangkat lagi.

 

Tettt!

 

Demikian keras bunyi bel itu. Hingga membuatku kaget dan terhenyak. Aku terdiam beberapa saat. Mencoba mencerna apa yang sebenarnya terjadi.

 

Sial! Ternyata semuanya hanya mimpi. Aku ketiduran rupanya di bangku ruang tunggu saat asyik memikirkan cerpen tadi.

 

Keretaku? 

 

Aku menyadari keretaku. 

 

Kuhampiri security yang berdiri tak jauh dariku.

 

“Pak, kereta Senja Utama Yogyakarta yang ke Jakarta Pasar Senen sudah lansir?” tanyaku buru-buru.

 

“Lho, lha itu, Mas. Di peron satu, yang baru saja langsir? Ayo cepat, 15 menit lagi berangkat! Agak telat langsirnya tadi,” tegasnya sembari menunjuk ke arah kereta berada.

 

Segera aku berlari menuju arah di mana gerbongku berada sesuai yang tertera di tiketku.

 

Aku naik.

 

Kuedarkan pandangan, penumpang cukup sepi. Kucari nomor kursiku.

 

Ketemu.

 

Segera aku duduk. Aku hembuskan napas lega. Hampir saja aku ketinggalan. Rupanya suara klakson kereta yang membangunkanku tadi adalah bunyi langsir kereta ini.

 

“Mas, maaf, bisa geser sedikit, tempat duduk saya di sebelah, Mas.” Tiba-tiba sebuah suara mengagetkanku.

 

“Oh, iya, silahkan, Pak,” jawabku sembari menggeser badan ke arah dekat jendela.

 

Hampir terjengkang aku ketika melihat siapa pemilik suara itu.

 

Bapak nyentrik dengan topi pet memudar yang ada dalam mimpiku tadi kini ada di dekatku.

 

Aku lihat dia duduk perlahan sembari mengangguk kecil dan tersenyum sopan sekali kearahku.

 

Sedangkan aku, hanya bisa melongo melihatnya sambil menelan ludah dalam-dalam.

 

.

 

End.

 

 

Ikuti tulisan menarik Em Fardhan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB