Hidup bersama dilingkungan sosial memang lebih harus ekstra sabar. Ya, porsi sabarnya mesti dilebihkan. Belum pasti niat baik itu selalu dipandang baik. Seringkali ia dinodai oleh suuzhzhon yang sejatinya itu bukanlah hak mereka untuk menghakimi niat seseorang.
Seringkali permasalahan muncul hanya karena hal sederhana yang seharusnya tidak punya peluang untuk menjadi masalah. Hal sepele yang sebenarnya tidak penting, tapi bisa menjadi boomerang bagi orang yang selalu memandang segala hal dari sisi negatifnya.
Setiap orang dengan persepsinya masing-masing, dengan egonya masing-masing, tidak ada yang mau mengalah dan mendengarkan masukan satu sama lain. Menilai sesukanya, mengambil kesimpulan tanpa adanya tabayyun, sulit diajak berdiskusi dan lain sebagainya.
Namun penilaian manusia bukanlah tolak ukur. Perilaku dan tindak tanduk kita bukanlah mereka yang mengatur. Semua itu kembali ke diri kita. Akhlak dan budi baik haruslah tertanam dan senantiasa dipertahankan. Jangan biarkan orang lain merubah prinsip yang sudah ada di diri kita.
Ahli hikmah berkata:
رضا الناس غاية لا تُدرك * ورضا الله غاية لا تُترك
فاترك ما لا يُدرك * وأدرك ما لا يُترك
“Ridho manusia merupakan tujuan yang tidak bisa diraih, sedangkan ridho Allah merupakan tujuan yang tidak boleh ditinggalkan, maka tinggalkanlah apa yang tidak bisa diraih, dan raihlah apa yang tidak boleh ditinggalkan.”
Pada akhirnya hanya ridha Allah Ta’ala yang kita harapkan. Agar hilang semua keluh kesah, lelah berganti menjadi pahala. Tidak ada balasan yang paling indah bagi seorang mukmin kecuali syurga-Nya Allah yang indahnya tiada tara.
اللهُ وَرَسُولُهُ أَحَقُّ أَنْ يُرْضُوهُ
Artinya: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih berhak untuk mereka cari keridhoannya.” (QS. At-Taubah: 61)
Ikuti tulisan menarik Inayatillah Nafisah lainnya di sini.