x

Persawahan Mbalata di Kecamatan Kota Komba, Kabupaten Manggarai Timur

Iklan

Rikhardus Roden Urut Kabupaten Manggarai-NTT

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 25 Oktober 2022

Senin, 28 November 2022 18:15 WIB

Produksi Padi di Manggarai Timur Menurun Drastis akibat Perubahan Iklim, Apa Solusinya?

Kabupaten Manggarai Timur, salah satu Kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Timur yang ditetapkan sebagai lokasi superprioritas untuk aksi pembangunan ketahanan iklim oleh Kementrian PPN/Bappenas. Berdasarkan hasil studi lapangan yang menerapkan metode Focus Group Discussion (FGD) dan wawancara mendalam dengan Kelompok Tani, Tokoh Masyarakat dan Kelompok Wanita Tani (KWT) di 2 desa (dataran tinggi) dan 2 kelurahan (dataran rendah), ditemukan fakta bahwa pada 20 tahun terakhir, tanda-tanda telah terjadi perubahan iklim dirasakan oleh masyarakat, antara lain, musim hujan lebih pendek, curah hujan sangat tinggi, musim kemarau semakin Panjang dengan durasi 7- 8 bulan dan suhu udara pada bulan tertentu sangat panas. Frekuensi terjadinya kekeringan semakin sering terjadi, hal ini berdampak kepada penurunan hasil padi di sawah beririgasi tehnis, sawah tadah hujan dan tanaman perdagangan utama petani, yaitu kopi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Foto Persawahan Mbolata, Watu Nggene

 
Hamdan Nurdin, Climatolgist, Stasiun Klimatologi Kelas II Nusa Tenggara Timur,  dalam artikelnya berjudul Ternyata Perubahan Iklim dimulai dari Timur Indonesia Bagian Selatan menjelaskan menurut IPCC (International Panel Climate Change) (2001) perubahan iklim merujuk pada variasi rata-rata kondisi iklim di suatu tempat dengan variabilitas yang nyata secara statistik untuk jangka waktu yang panjang (minimal 10 tahunan atau lebih). Sedangkan yang dimaksud variabilitas adalah kondisi pada periode jangka pendek dan jangka panjang di wilayah tertentu.
 
Sederhananya, jika ada anomali iklim yang terjadi sesaat dan kembali pulih seperti sediakala itu disebut sebagai variabilitas iklim. Jika anomali iklim berlangsung di setiap tahun atau dengan kata lain yang dulunya jarang terjadi kemudian di tahun-tahun mendatang lebih sering terjadi, disebut sebagai perubahan iklim.
 
Perubahan iklim menyebabkan peningkatan cuaca ekstrem yang mengakibatkan peningkatan frekuensi dan intensitas bencana, terutama bencana hidrometeorologi, seperti banjir, longsor, abrasi dan lainnya. Peningkatan suhu dan perubahan pola hujan berupa peningkatan suhu udara dan perubahan intensitas serta pola curah hujan, dapat mempengaruhi periode musim, yaitu musim kemarau yang lebih panjang dan musim penghujan yang lebih pendek, maupun sebaliknya. Kekeringan dan berkurangnya ketersediaan air adalah dampak lain dari perubahan suhu dan pola hujan. Hal ini mempengaruhi pemenuhan kebutuhan air untuk pertanian, ketersediaan air tentu berpengaruh pada produksi tanaman khususnya tanaman pangan padi dan perdagangan. Berdasarkan kajian Kementrian PPN/Bappenas di beberapa sentra produksi beras di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) mengalami penurunan produksi dari 10,1 % menjadi 17,5 % akibat perubahan iklim.


Dampak perubahan iklim di Kabupaten Manggarai Timur

 
Kabupaten Manggarai Timur, salah satu Kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Timur yang ditetapkan sebagai lokasi superprioritas untuk aksi pembangunan ketahanan iklim oleh Kementrian PPN/Bappenas. Berdasarkan hasil studi lapangan yang menerapkan metode Focus Group Discussion (FGD) dan wawancara mendalam dengan Kelompok Tani, Tokoh Masyarakat dan Kelompok Wanita Tani (KWT) di 2 desa (dataran tinggi) dan 2 kelurahan (dataran rendah), ditemukan fakta bahwa pada 20 tahun terakhir, tanda-tanda telah terjadi perubahan iklim dirasakan oleh masyarakat, antara lain, musim hujan lebih pendek, curah hujan sangat tinggi, musim kemarau semakin Panjang dengan durasi 7- 8 bulan dan suhu udara pada bulan tertentu sangat panas. Frekuensi terjadinya kekeringan semakin sering terjadi, hal ini berdampak kepada penurunan hasil padi di sawah beririgasi tehnis, sawah tadah hujan dan tanaman perdagangan utama petani, yaitu kopi.



Masyarakat yang terlibat aktif dalam studi tentang dampak perubahan iklim di Kelurahan Rana Loba dan Watu Nggene mengaku hasil panen padi mereka menurun, berkisar 30 - 40 persen. Kondisi ini dipicu oleh tingginya serangan hama ulat grayak putih saat terjadi hujan dengan curah yang sangat tinggi dan kekurangan ketersediaan air untuk irigasi, nyata terjadi di Watu Nggene, hal ini disebabkan oleh semakin menurunnya debit air dan ambruknya beberapa jaringan irigasi primer pada musim hujan. Perubahan iklim berpengaruh pada peningkatan jumlah populasi dan serangan  organisme pengganggu (OPT) pada tanaman (Laman CYBEXT,25./11/2019).
 

 
Petani yang menanam padi ladang atau sawah tadah hujan di Kelurahan Watu Ngene, terpaksa meninggalkan lahannya pada 5 tahun terakhir karena ketidakpastian turunnya musim hujan, dan sering mengalami gagal panen, sedangkan di Desa Golo Ndari dan Golo Ngawan dimana sebagian besar petani menggarap sawah tadah hujan untuk menjami ketersediaan pangan mengalami hal yang sama, produksi padi cenderung menurun, berkisar 40-50 persen, bahkan sering mengalami gagal panen sebagai akibat dari bergesernya musim hujan dan kekeringan. Untuk diketahui, musim tanam padi di lahan sawah tadah hujan biasanya jatuh pada bulan Nopember tetapi pada kondisi 15 tahun terakhir musim tanam padi mundur ke bulan desember, januari dan februari.
 

Persoalan ini berpotensi akan berlanjut di lokasi studi, jumlah petani rentan terus meningkat dengan alasan ; 1) sebanyak 90 persen dari mereka berpendidikan Sekolah Dasar, kapasitas adaptasi mereka rendah. 2) petani tidak mengetahui informasi iklim untuk menentukan musim tanam, 3) tehnologi pertanian yang adaptif dengan perubahan iklim belum ada, 4) Perambahan hutan oleh masyarakat untuk buka lahan pertanian cukup tinggi.
 


Berdasarkan data produksi padi di lahan sawah beririgasi tehnis dan sawah tadah hujan pada tahun 2019, 2020 dan 2021 yang dirilis oleh Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten Manggarai Timur tahun 2021, menyatakan bahwa untuk level kabupaten, produksi padi sawah menurun sebesar 18,23 persen (23.981,95 ton) dari 131,492,4 ton menjadi 107.510,45 ton, jauh lebih tinggi dari data penurunan produksi padi secara nasional, sebesar 0,43 persen (Data BPS Tahun 2021). Produksi padi ladang pun tidak luput dari pengaruh dampak perubahan iklim, akibat masa kekeringan yang semakin lama, dan hal ini diperparah oleh bergesernya pola curah hujan. Berdasarkan data dari sumber yang sama, produksi pada sawah tadah hujan menunjukkan kecenderungan menurun, bahkan cukup besar mencapai 53.94 persen atau sebanyak 2.780,6 ton, dari 5.154,98 ton menurun menjadi 2.374,37 ton.

Grafik 1. Tren produksi padi di lahan sawah tadah hujan



Grafik 2. Tren produksi padi di lahan sawah beririgasi tehnis





Pada Studi lapangan ini juga, Tim menemukan fakta lain dimana tanaman perdagangan utama sebagai sumber penghidupan petani, seperti kopi (arabika,Robusta) dan cengkeh mengalami penurunan produksi, khusus untuk tanaman cengkeh pada dua tahun terakhir tidak berbuah sedangkan kedua jenis kopi di Desa Golo Ndari dan Golo Ngawan produksinya sedikit diakibatkan oleh tidak turunnya hujan pada bulan Agustus dan September yang bermanfaat untuk merangsang pembungaan kopi.
 

Implikasi perubahan iklim terhadap petani dan keluarganya


Petani narasumber pada studi Partisipatif di 4 lokasi mengaku bahwa akibat dari menurunnya produksi padi, yang hanya mampu memenuhi kebutuhan beras untuk 2 bulan setelah panen, adalah membengkaknya pengeluaran dari setiap rumah tangga untuk membeli beras, diperburuk lagi oleh fakta telah terjadinya kehilangan penghasilan petani dari hasil perkebunan kopi dan cengkeh.
 


Situasi di keluarga - keluarga semakin sulit dari aspek sosial ekonomi sebab pengeluaran tahunan mereka semakin besar, tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar tetapi untuk biaya urusan adat dan sosial kemasyarakatan, jika membandingkan antara nilai pengeluaran dengan pendapatan dari setiap Rumah Tangga sebagian besar dari mereka mengalami defisit keuangan, besar pasak daripada tiang dalam pengelolaan keuangan keluarga menjadi persoalan, sehingga yang terjadi kemudian mereka memilih 2 alternatif jalan keluar, yaitu 1) Para Suami terpaksa memutuskan untuk mencari pekerjaan ke kota meninggalkan keluarga untuk waktu yang relatif lama 7-8 bulan, sedangkan isteri mereka harus bekerja menjadi buruh tani meski dengan upah rendah, dan 2) Mereka meminjam uang kepada lembaga keuangan yang populer disebut Pinjaman Harian oleh masyarakat di sana untuk memenuhi kebutuhan pembelanjaan wajib dalam rumah tangga, seperti membeli sembilan bahan pokok, biaya pendidikan anak-anak mereka, urusan adat, dan sosial kemasyarakatan dengan bunga pinjaman relatif besar, 16,6 persen.
 
 
Selain itu, biaya produksi pada kegiatan penggarapan sawah tadah hujan meningkat pula untuk  pengadaan benih dan tenaga kerja. Perubahan pola hujan atau tidak pasti datangnya musim hujan menyebabkan petani di Desa Golo Ndari dan Golo Ngawan menanam secara spekulatif, mereka biasanya tanam bulan nopember, awal musim hujan ternyata hujan baru turun kadang-kadang bulan desember, januari bahkan februari, sehingga mereka menanam 3 kali untuk 1 musim tanam.
 
Di Kampung Nelo, Desa Golo Ngawan debit air menurun selama perubahan iklim terjadi, situasi yang telah berlangsung lama ini memaksa para perempuan dan anak-anak dari 25 Keluarga menimbah air hingga larut malam agar kebutuhan untuk memasak dan minum tercukupi.

 

Kebijakan Pemerintah Daerah Kabupaten Manggarai Timur


Menyikapi situasi ini, Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur mengacu kepada regulasi yang ada dengan mempertimbangan kemampuan keuangan daerah, isu perubahan iklim telah menjadi perhatian serius untuk menjadi salah satu isi penting dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Perubahan Tahun 2019-2024, khususnya di sector pertanian pangan. Namun secara kelembagaan terkait tata kelola dalam mengatasi dampak perubahan iklim perlu diperbaiki sebab masih berjalan sendiri-sendiri, belum ada satu wadah dalam bentuk kelompok kerja (Pokja) yang melibatkan semua pemangku kepentingan di Kabupaten Manggarai Timur, baik dari unsur pemerintahan, Lembaga Swadaya Masyarakat, Perguruan Tinggi, kelompok masyarakat, kelompok rentan, Kelompok Wanita Tani dan tokoh agama yang berperan untuk merumuskan aksi pembangunan berketahanan iklim berdasarkan konteks Manggarai Timur, melakukan monitoring, dan evaluasi. Tata Kelola dalam mengatasi dampak perubahan iklim dengan menerapkan pendekatan kolaborasi akan lebih efektif mengatasi persoalan.
 

Pada akhir Tahun 2019, beberapa peraturan baru yang merupakan penjabaran dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 diterbitkan pemerintah pusat, termasuk Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah yang merupakan pengganti Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Regulasi tersebut ditindaklanjuti dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 90 Tahun 2019 tentang Klasifikasi, Kodefikasi, dan Nomenklatur Perencanaan Pembangunan dan Keuangan Daerah serta Kepetutusan Menteri Dalam Negeri Nomor 050-3708 Tahun 2020 tentang Hasil Verifikasi dan Validasi Pemutakhiran Klasifikasi, Kodefikasi, dan Nomenklatur Perencanaan Pembangunan dan Keuangan Daerah. Semua regulasi tersebut menjadi acuan dalam merumuskan kebijakan Anggaran oleh Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur mulai Tahun anggaran 2021.
 

Dalam dokumen RPJMD Perubahan Kabupaten Manggarai Timur Tahun 2019-2024 pada halaman 25, menyatakan dengan tegas bahwa Pembangunan di Kabupaten Manggarai Timur perlu mewaspadai dampak perubahan iklim, terutama karena sektor pertanian, termasuk perikanan, merupakan sektor yang rentan terkena dampak perubahan iklim. Apalagi sebagian petani Kabupaten Manggarai Timur merupakan petani lahan kering yang tergantung pada variabel iklim seperti hujan, kekeringan dan suhu udara untuk memproduksi pangan. Dengan karakteristik iklim, topografi dan tanah Kabupaten Manggarai Timur, maka perlu dikembangkan inovasi - inovasi pertanian dan perikanan yang memiliki daya adaptasi terhadap perubahan iklim.
 
 

Komitmen dari Pemerintah Kabubapaten Manggarai Timur terhadap upaya mengatasi perubahan iklim termaktub dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tahun 2020,2021 dan 2022 dimana program kegiatan dalam aspek Infrastruktur, Tata Kelola, Tehnologi dan Kapasitas telah mengarah kepada pendekatan pembangunan berketahan iklim, akan tetapi pada aspek kapasitas di sektor Pertanian Pangan dan hortikultura belum tampak jelas secara eksplisit ditargetkan untuk meningkatkan kapasitas petani agar mereka memiliki ketangguhan untuk menghadapi dampak perubahan iklim. Pemerintah Daerah dalam hal ini Dinas Pertanian Kabupaten Manggarai Timur dalam APBD pada 3 tahun terakhir telah mengalokasikan anggaran untuk upaya pengurangan dampak perubahan iklim dalam bentuk penyediaan sarana produksi.

Poin Rekomendasi


Mempertimbangkan fakta-fakta di atas maka yang perlu dilakukan sebagai alternatif mengurangi dampak perubahan iklim dalam kerangka berpikir Pembangunan Berketahanan Iklim, adalah, sebagai berikut;

  1. Membentuk suatu kelembagaan kolaboratif yang dinamakan Kelompok Kerja (Pokja) untuk melaksanakan Tata Kelola penanganan dampak perubahan iklim di sektor Pertanian Pangan/Hortikultura, dan Lingkungan Hidup, yang terdiri dari unsur Pemerintahan Kabupaten, Perguruan Tinggi, dan Pemerintah Desa, Lembaga Swadaya Masyarakat, Kelompok Masyarakat, Kelompok Wanita Tani, Kelompok Rentan, Tokoh Masyarakat/Adat dan Agama.
  2. Mengalokasikan Anggaran dalam APBD Kabupaten Manggarai Timur dan APBDEs mengacu pada situasi lokal untuk mengatasi Permasalahan Perubahan Iklim dengan cara menentukan aksi adaptasi dan mitigasi, antara lain, melakukan konservasi lahan kritis (kayu dan Bambu), membangun embung (areal tangkapan air), pengembangan pertanian organik, Peningkatan Kapasitas PPL terkait isu perubahan iklim dan mengelola informasi iklim, Pengembangan sorgum di lahan kritis, penyediaan benih padi yang tahan kering dan kondisi curah hujan tingggi, membentuk Desa Tangguh Iklim, Menyelenggarakan sekolah Lapang Iklim, Pelatihan tentang pengelolaan sampah.
  3. Mendorong pemerintah desa membentuk kampung Iklim berbasis masyarakat untuk pengelolaan informasi iklim, menerapkan tehnologi pertanian yang adaptif, menentukkan pola  dan jadwal tanam.
  4. Mengupayakan peningkatan kapasitas adaptasi terhadap Perubahan Iklim dari kelompok-kelompok Rentan dengan pelatihan – pelatihan terkait budidaya tanaman yang adapatif, dan penerapan tehnologi tepat guna yang menjamin petani tetap berproduksi.

Penulis : Richardus Roden Urut
Segelas Kopi Arabika produksi KOPSEN KKM, Karya Mandiri Manggarai
 

Ikuti tulisan menarik Rikhardus Roden Urut Kabupaten Manggarai-NTT lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB