Polemik RKUHP: Hukum, Negara, dan Moralitas Warga
Selasa, 27 Desember 2022 10:42 WIBBeberapa pasal dalam KUHP baru masih dianggap tidak ideal. Bagaimana kaitan antara hukum dan moralitas? Apa sebetulnya tugas negara dan kaitannya dengan moralitas warga?
Meski masih ada pasal yang menimbulkan kontroversi dan kemungkinan adanya gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK), pengesahan RKUHP menjadi undang-undang oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada awal Desember (6/22), menurut saya, tetap harus diapresiasi. Sebab setelah lebih dari lima puluh tahun direncakan untuk diganti, akhirnya selesai juga. Di sini saya hanya ingin “mengingatkan” atau “melihat kembali” dimensi moral yang berkaitan dengan hukum, etika politik, dan tujuan negara secara umum. Di akhir tulisan akan disinggung soal salah satu pasal yang menjadi perbincangan banyak orang.
Kita tahu, pada dasarnya negara didirikan tidak untuk dirinya sendiri. Bahkan Niccolo Machiavelli, pemikir filsafat politik dari Italia yang sering dituduh mendukung diktatorianisme, menyatakan hal yang sama. Menurut dia, tujuan negara adalah untuk mencapai perdamaian dan keadilan. Jadi, melalui seperangkat perundang-undangan, negara bertujuan untuk menciptakan ketertiban, keamanan, keadilan, dan yang terpenting adalah kesejahteraan rakyatnya. Negara wajib memberikan perlindungan kepada warganya dari ancaman baik yang datang dari luar negeri maupun dari dalam negeri sendiri. Negara juga harus menyediakan aneka pelayanan kehidupan masyarakat dalam bidang sosial, ekonomi, dan kebudayaan. Belakangan, seorang intelektual muda dari Kanada, Will Kymlicka, menyatakan bahwa perlunya usaha negara untuk menciptakan dan melindungi kebebasan, persamaan, kesetaraaan, keadilan, dan feminisme.
Nilai dalam Hukum
Dalam hal hukum atau peraturan perundang-undangan, ada nilai-nilai yang minimal harus ada, yakni kesaamaan, kebebasan, solidaritas, manfaat, dan kepastian. Nilai kesamaan berarti semua warga negara sama kedudukannya di hadapan hukum. Nilai kebebasan berarti setiap warga bebas berpikir dan bertindak sejauh tidak melangar aturan, termasuk bebas melakukan penolakan terhadap kesewenangan kekuasaan. Hukum juga harus menjamin kebebasan setiap orang dan kelompok untuk mengurus diri sendiri. Sedangkan nilai solidaritas mengandaikan bahwa kita bersedia bersatu dalam satu negara, dan kita merasa bertanggung jawab atas tindakan kita. Solidaritas juga berarti kita bersedia untuk bertoleransi terhadap perbedaan dan saling membantu. Maka hukum – dan negara-- harus bermanfaat bagi masyarakatnya. Tak ada gunanya hukum dan negara jika tidak ada bermanfaat bagi masyarakat. Hukum juga harus dirumuskan secara jelas dan dipastikan keberlakuannya, tanpa tebang pilih.
Hukum dan Moralitas
Hukum yang baik harus memiliki landasan moral yang baik pula. Kita ingat saja adagium populer quid leges sine moribus (apa artinya hukum tanpa moralitas). Maka, setidaknya norma moral menjadi salah satu dasar pertimbangan dalam pembuatannya. Bahkan H.L. Adolphus Hart, salah satu tokoh positivisme hukum (legal positivism) dari Inggris, mengakui adanya aneka model hubungan yang erat antara hukum dan moralitas. Ia mengatakan bahwa dalam penyusunan undang-undang mestinya mengandaikan pedoman atau standar moral tertentu yang ia sebut sebagai “minimum hukum kodrat” yang bersifat mewajibkan.
Hubungan antara moral dan hukum ini saling membutuhkan, saling mengandaikan, kendati keduanya tetap bisa dibedakan satu dan lainya. Moral tanpa hukum tidak akan efektif dalam memandu dan mengatur hidup bersama dalam masyarakat. Sedangkan hukum tanpa dasar legitimasi moral akan menjadi tidak manusiawi dan tidak adil. Kapan norma moral ini betul-betul diperlukan dalan norma hukum? Jawabnya, ketika menyangkut kesejahteraan umum masyarakat dan kepentingan mendasar manusia. Juga ketika norma moral itu terkait dengan hak-hak asasi manusia seperti hak hidup, hak milik, hak atas kebebasan beragama, hak atas integritas diri, hak untuk menentukan diri, hak untuk dihormati martabatnya sebagai manusia; dan lain-lain.
Jadi memang sangat penting adanya norma moral dalam hukum. Seperti dikatakan oleh Gustav Radbruch, filosof hukum dari Jerman, kepastian hukum bukanlah segala-galanya. Ia menyaksikan bagaimana paham positivisme hukum telah menjadi senjata bagi rezim Hitler pada zaman Nazisme. Karena itu, katanya, moralitas sebagai ungkapan rasa keadilan dan kemanusiaan tidak boleh diabaikan oleh hukum.
Negara dan Moralitas Warga
Kiranya kini jelas bahwa dalam menjamin kesejahteraan umum, negara dalam batas-batas tertentu bisa menetapkan banyak norma moral sebagai latar belakang undang-undang atau peraturan. Misalnya, larangan untuk membunuh, menganiaya, memerkosa, mencuri, merampok, menipu, memberikan kesaksian palsu, dan lain-lain. Sampai di situ, dapat kita katakan bahwa negara mendukung pandangan moral yang memang hidup dalam masyarakat.
Tetapi, bagaimana kalau ada orang melakukan sesuatu yang dianggap bertentangan dengan norma-norma moral walaupun perbuatan itu tidak merugikan kesejahteraan umum? Misalnya, melarang sesuatu semata-mata demi kesempurnaan batiniah sesorang, walaupun dari segi kesejahteraan umum tidak terdapat gangguan. Sebagai misalnya, perbuatan-perbuatan seksual tertentu. Apakah negara juga berhak mengatur kesempurnaan moral tiap-tiap warganya?
Mengikuti Franz Magnis-Suseno, kesempurnaan rohani seseorang (individual) sebenarnya bukan wewenang negara. Dalam konteks etika politik, negara tidak berhak untuk menentukan segala-galanya. Tugas negara terbatas pada penyelenggaraan kesejahteraan umum. Di luar penyediaan prasyarat, prasarana, dan kondisi agar masyarakat dapat hidup dengan adil dan sejahtera, negara tidak mempunyai wewenang. Batin seseorang, kerohaniannya, apa yang dipercayainya, cita-citanya, keteladan untuk hidup sesuai dengan keyakinannya atau tidak, juga minat intelektualnya, nilai-nilai etisnya, dan lain-lain, bukan urusan negara. Negara tidak mempunyai wewenang untuk menetapkan standar-standar kesempurnaan batin setiap manusia.
Jika negara mau mencampuri kesempurnaan rohani individual, maka itu sama dengan totalitarisme. Yang memang termasuk wewenang negara adalah mendukung kondisi-kondisi yang mengizinkan para anggota masyarakat untuk berusaha menjadi manusia yang baik. Tetapi negara tidak berwenang untuk mencampuri langsung pandangan dan sikap moral para warga masyarakat.
Kalau toh negara tetap bernafsu untuk mengatur moralitas tiap orang, sebenarnya ia juga tidak akan sanggup. Negara tidak akan sanggup untuk mengusahakan kebaikan moral seseorang. Dan kalau negara mencobanya juga, maka itu sebenarnya hanya berarti bahwa sekelompok orang mau memaksakan pandangan moral mereka sendiri kepada orang-orang lain.
Perzinaan dan Kohabitas
Sekarang bagaimana dengan pasal perzinaan (Pasal 411) dan kohabitasi atau hidup bersama tanpa ikatan perkawinan (Pasal 412) yang sempat ramai dibicarakan itu? Tentang perzinaan, sebenarnya sudah lama ada di Pasal 284 KUHP lama. Jadi, di luar Anda setuju atau tidak, pasal perzinaan bukan hal baru. Justru di KUHP baru rumusannya lebih jelas dan mudah dimengerti bagi kebanyakan orang. Dan dalam prakteknya selama ini, nyaris tak terdengar ada yang memprotes pasal tersebut.
Maka, yang kini menjadi masalah di KUHP baru adalah soal hidup bersama tanpa ikatan perkawinan (Pasal 412). Patut diduga, bahwa pasal ini masuk dalam KUHP baru karena adanya “usulan” atau “tekanan” dari sekelompok orang dengan keyakinan atau agama tertentu yang mengangap hidup bersama tanpa ikatan perkawinan sebagai tindakan tidak bermoral atau melanggar aturan kitab sucinya.
Indonesia memang multi-etnis, multi-agama, dan multi-budaya. Maka, seperti dikatakan Eddy O.S. Hiariej, salah satu anggota tim penyusun KUHP baru, penetapan pasal tersebut termasuk yang sulit. Katanya, ada provinsi yang menginginkan pasal itu dibuang, namun ada provinsi yang menginginkan agar semua orang dapat melaporkan kepada petugas jika menemukan mereka yang hidup bersama tanpa ikatan perkawinan. Maka, sebagai “kompromi” (istilah Eddy win-win solution), masalah tersebut diputuskan sebagai delik aduan dengan keterangan tambahan, bahwa tindakan itu baru dilakukan penuntutan atas pengaduan “suami atau istri bagi orang yang terikat perkawinan” atau “Orangtua atau anaknya bagi orang yang tidak terikat perkawinan”. Tambahan lain: “pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan di sidang pengadilan belum dimulai”.
Kita memang harus menolak totalitarisme yang mau memaksakan keseragaman moral total kepada masyarakat. Namun kita juga menolak liberalisme radikal yang menyangkal segala campur tangan negara. Di sinilah perlunya para cerdik-cedikia yang mengerti masalah moralitas dan etika politik secara baik. Hal ini agar mereka dapat membuat kebijakan atau peraturan perundangan yang bukan hanya tidak memihak pada kelompok tertentu, tetapi juga yang rasional, sesuai perkembangan zaman, dan menghargai hak asasi manusia.
- Atmojo, Penulis yang meminati bidang filsafat, hukum, dan Seni.
###
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Drama Nano Riantiarno: Kejujuran dan Penyesalan
Sabtu, 28 Januari 2023 06:50 WIBAum Teater Mandiri: Imajinasi yang Meneror
Senin, 9 Januari 2023 18:24 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler