ingin kulumat segenggam aksara
memerdekakan dari keterasingannya
telah adilkah diriku pada pikiranku
senantiasa memaku diri dalam tidurku
bukankah ombak Parangtritis telah menerangkannya
dari isyarat musim, yang selalu samar dalam rak ingatanku
terkadang puisi hidup dalam keangkuhannya
memaknai doa di sepanjang bait-baitnya
berdebat keras melahirkan riak ombak
hingga tatapan kita merapal mantra dari beningnya laut
entah bagaimana caranya memisahkan rindu dan gelisah
kita hanya mengeja aksara karam
sebagai jalan untuk menuju keabadian kekal
senyum tipis senja seolah duka menghampiri langit
menghimpit canda yang belum usai
pikiran pun menggegas dalam kenaifannya
memagari mata kita kepada Tuhan
tetap saja mata kita kandas dan terantuk tembok waktu
menjemput impian dari kedangkalanku
yang akhirnya memisahkan jiwa dan raga puisiku
jatuh, bersimpuh di pelaminan musim
wajahku kusam, merupa jelaga tepi pantai,
mungkin tempat tersunyi untuk berzikir
berbicara pada angin dan cahaya
agar ‘kumengerti suara riak ombak
dan menziarahi jejak kenangan Parangtritis
Ikuti tulisan menarik Vitto Prasetyo lainnya di sini.