x

Iklan

Rizky Rianto

Mengembara dalam pikiran, menikmati imajinasi dan bila sempat, menulis disana.
Bergabung Sejak: 11 Mei 2023

Selasa, 16 Mei 2023 14:46 WIB

Sepenggal Kesedihan dan Seberkas Harap yang Ada

sepenggal dialog kesedihan dari wanita yang sedang diuji deengan problema pekerjaan dan kuliah. Dan seberkas harap yang ingin diwujudkan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sore dua belas mei ada tangis yang aku dengar. Ada sedih yang aku lihat jauh dari sosok seseorang. Ada mulut yang bercerita melupakan isi hati yang semakin tak terbendung. Ada telinga yang mendengar dengan seksama. Menunggu tenang hingga waktu yang tempat untuk bersuara. Dan Ada tawa setelahnya. Membicarakan hal lain untuk sejenak melupakan. Namun aku yakin dia setelah pertemuan ini akan kembali teringat.

Dering telepon…

Lama aku tak menjawab panggilan dari peranti pipih yang aku miliki. Dengan case warna abu-abu yang terbaring di meja.

“Aku di cafe duduk dulu kak.”

“Kakak bisa kesini?”

“Aku mau cerita sesuatu.” Pesan singkat melalui whatsapp.

Dering telepon…

Masuk panggilan telepon lagi sekitar 11 panggilan yang tak terjawab. Tentu dari orang yang sama.

“Kamu dimana?”

“Aku kesana yaa.” Pesan singkat berikutnya.

“Loh Kamu di cafe itu?” Balasku bertanya.

Dering telepon berbunyi lagi setelah ia membaca pesan singkat dariku.

“Kamu dimana kak? Aku menunggu 1 jam di cafe itu. Kamu dirumah kan?” Sahutnya sesaat sambungan terhubung.

“Iya, aku dirumah? Maaf yaa. Aku tagi lagi ngerjain sesuatu. Kamu dimana sekarang?” Jawabku.

Ada tangis yang aku dengar, ada sedih yang aku lihat jauh dari sebuah sosok seseorang, ada mulut yang bercerita melupakan isi hati yang semakin tak terbendung. Ada telinga yang mendengar dengan seksama. Menunggu tenang hingga waktu yang tempat untuk bersuara. Ia bercerita beberapa saat setelah sampai dirumah.

“Aku salah apa kak? Sampai Ibu marah dan sejutek itu dengan raut wajah yang gak mengenakan. Aku salah apa. Kenapa aku yang harus di marah, dibandingkan, disamakan dengan pegawai yang lain. Aku hanya mau izin ke kampus untuk bimbingan. Tapi kenapa ibu mengatakan yang buat aku sakit kak? Padahal aku gak seperti itu. Aku selalu izin kalo aku ada keperluan diluar. Ibu malah menganggap aku sama seperti yang lainnya. Kenapa aku yang notabennya paling bungsu di tempat ini, malah aku yang kena. Padahal pegawai-pegawai lain bahkan ada yang lebih parah. Sedang aku yang hanya pekerja Bersih-bersih malah yang di marah pas aku mau izin. Kenapa kak, kenapa?” Ceritanya diiringi tangis. Sesekali ia mengusap air matanya dengan tisu. Air matanya seakan tak mau kalah, terus mengalir.

Ada sedih yang aku lihat jauh didalam dirinya. Hatinya sedang di uji dengan kenyataan. Aku mendengarkan. Raut wajah ku berubah beberapa kali kusadari ikut sedih mendengar ceritanya. Lebih — lebih mata yang melihat bulir air yang jatuh dari matanya. Kutepikan makanan didepanku. Aku, mendengar dengan seksama dan ia lanjut bercerita meluapkan isi hatinya.

Yaa, ada tawa setelahnya. Ia cukup dengan ceritanya dan aku mulai berusaha membuat tertawa. Paling tidak ini dapat meringankannya walau hanya sedikit. Membuat diriku berguna sebagai pasangangnya. Aku mulai membahas hal-hal aneh dan absurd. Yang kebanyakan orang diluar sana sedikit yang pernah menjamah tingkah anehku. Entah mengapa karena wanita ini membuat aku begitu lepas ketika bersamanya.

“Kamu kok nada bicaranya mengikuti anak yang viral itu sih?” Tanyaku sambil tertawa.

“Janganlah dimarah-marah, hm kan ilang otaknya” sepenggal kata-kata anak yang pernah viral waktu itu.

“Loh Kakak kok yang begitu.” Sahutnya memasang muka cemberut dan kemudian tertawa.

“Loh kok kakak? Emang siapa yang mulai loh.” Tanyaku balik

“Kakak loh, kakak yang mulai. Aku kan ngikut aja. Pokoknya kakak yang mulai, titik.” Jawabnya.

Kami saling tatap, memasang wajah cemberut bersama dan tertawa bersama. Aku senang melihatnya seperti ini. Aku senang bisa mendengar suara tawanya yang begitu khas menurutku. Begitulah aku dan dia menikmati keanehan yang saling kami tunjukan. Aku mengusap kepalanya, sadar dibalik tawanya dan ekspresi bahagianya. Ia masih memikirkan kejadian yang ia ceritakan tadi padaku.

“Malam semalan kakak kan ngopi sama temen kuliah. Kamu tau kenapa kakak kesana?”. Tanyaku.

“Kenapa kak?”

“Dia anak pemasaran. Ada tugas untuk membuat website sederhana. Nah karena kakak tertarik soal beginian. Jadi kakak kesana.” Jawabku sambil melihat wajahnya yang masih menunggu.

“Kamu tau apa yang temen kakak bilang?” Sambungku lagi bertanya.

Ia menggelengkan kepala dan suaranya ketika bertanya kenapa sebelumnya terbayang dalam pikiranku.

“Kau ini kalo masuk konsentrasi pemasaran pasti udah jadi anak emas Bu Weny.”

“Ha kan, kenapa bah kakak gak ambil pemasaran. Malah ambil keuangan. Kakak ada gambaran kan di konsentrasi pemasaran itu?” Tanyanya.

“Iya…” jawabku singkat sambil tertawa pelan.

“Iya bah kakak tu aku lihat ada kecenderungan dikonsentrasi ini. Kalo kakak dulu cerita pasti aku bakal saranin kakak ambil ini aja” katanya menjelaskan.

Kemudian waktu terus bergulir, hanyut dalam obrolan sederhana. Sesekali berdiskusi. Membahas topik mendalam soal masa depan. Ya masa depan kami.  Tentang kami yang akan berkeluarga nantinya (Aamiin). Aku dan dia selalu antusias membicarakan topik ini. Ada seberkas harapan yang ingin diwujudkan bersama. Aku mengiyakan dan memang itulah rencananya.

“Kak, udah sore. Aku pulang yaa.” Pangkasnya sambil melirik jam dinding. Memang ketika itu obrolan kami juga mulai garing. Mungkin sudah waktunya untuk memberi jeda. Dan juga, ia harus pulang.

“Hmm, yaudah iyaa.” Jawabku sambali tersenyum.

“Kamu hati-hati yaa.”

‘Iya kak, makasih ya udah dengerin ceritaku.”

“Dahh kak.”

Aku terseyum tanpa menjawab. Sekarang aku melihat punggungnya yang semakin jauh dan seberkas harap yang ingin aku wujudkan bersamanya.

Ikuti tulisan menarik Rizky Rianto lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB