x

Dampak industri tambang terhadap lingkungan

Iklan

Wisnu. A. Djawanai

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 21 Mei 2023

Senin, 22 Mei 2023 09:31 WIB

Kolonialisme Industri Ekstraktif: Kontinuitas Penguasaan Sumber Daya dan Dampak Negatifnya

Kolonialisme Industri Ekstraktif bukanlah sebuah upaya baru dalam hal penguasaan sumber daya. Jika kita melihat sejarah, ambisi negara - negara eropa menjarah rempahlah yang akhirnya membawa kesengsaraan bagi masyarakat pribumi. Bukan hanya sumber daya yang dimiliki wilayahnya menjadi target jarahan bangsa asing tapi juga membuka jalur perbudakan. Di era moedern saat ini kolonialisme industri ekstraktif telah menjelma di dalam upaya menghadirkan "energi terbarukan" namun justru berdampak lebih buruk pada masyarakat lokal dan lingkungan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

KOLONIALISME INDUSTRI EKSTRAKTIF

Kolonialisme industri ekstraktif adalah praktik penjajahan oleh negara-negara kolonial untuk mengambil sumber daya alam dari daerah koloni untuk dibawa ke negara induk. Industri ekstraktif sendiri adalah industri yang bahan bakunya diambil langsung dari alam sekitar. Industri ekstraktif merupakan industri yang paling mendasar dan mampu diolah oleh perorangan. Contoh usaha ekstraktif adalah kegiatan yang berhubungan dengan aktivitas pada pengelolaan sumber daya alam, mulai dari eksplorasi, pengambilan, hingga proses pengolahan. Oleh karena itu, usaha ekstraktif bisa dilakukan oleh perorangan dan sangat mudah ditemukan di Indonesia karena kekayaan alam Indonesia berlimpah. Indonesia adalah salah satu negara yang pernah dijajah oleh bangsa Eropa, termasuk dalam hal ini adalah industri ekstraktif. Industri ekstraktif merupakan industri dimana bahan baku utamanya terdapat di alam dan diambil secara langsung. Beberapa contoh industri ekstraktif yang dikembangkan oleh penjajah di Indonesia antara lain adalah, perkebunan, pengelolaan kayu dan  pertambangan.

Kolonialisme industri ekstraktif di bidang pertambangan merujuk pada model ekstraktivisme yang berdasarkan pada eksploitasi sumber daya alam dan rakyat, di mana pertambangan menjadi kasus utamanya. Model ini telah berlangsung sejak masa kolonialisme Belanda di Indonesia, seperti industri timah Indonesia pada masa itu. Istilah ekstraktif sendiri tidak hanya terbatas pada pertambangan, tetapi juga mencakup industri lain yang mengandalkan eksploitasi sumber daya alam dan rakyat. Laporan Kontekstual 2014 - EITI Indonesia menyajikan kondisi terkini industri pertambangan minerba di Indonesia. Forum Sosial Tematik tentang Tambang juga mengeluarkan pernyataan akhir tentang ekstraktivisme dan dampaknya pada rakyat.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Kolonialisme Industri Ekstraktif Pertambangan di Indonesia.

Kolonialisme industri ekstraktif di Indonesia terutama dalam sektor pertambangan dimulai pada abad ke-17 ketika Belanda memperoleh kendali atas wilayah-wilayah di Indonesia. Belanda mulai mengeksploitasi sumber daya alam Indonesia, termasuk tambang emas, timah, dan minyak.

Pada masa itu, Belanda mendirikan perusahaan-perusahaan tambang seperti Nederlandsche Nieuw Guinea Petroleum Maatschappij, yang menguasai tambang minyak di Indonesia Timur. Pada masa penjajahan Jepang selama Perang Dunia II, Jepang juga mengeksploitasi sumber daya alam Indonesia untuk kepentingan industri mereka.

Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, pemerintah Indonesia mulai mengambil alih kendali atas sumber daya alam negara mereka. Namun, pengaruh perusahaan asing dalam sektor pertambangan masih cukup kuat. Pada tahun 1967, pemerintah Indonesia mengeluarkan undang-undang untuk mengambil alih kendali atas sumber daya alam negara, termasuk tambang.

Namun, sejak era Orde Baru pada tahun 1980-an, pemerintah Indonesia mulai membuka diri untuk investasi asing, termasuk di sektor pertambangan. Banyak perusahaan multinasional masuk ke Indonesia untuk mengeksploitasi sumber daya alam, seperti tambang batu bara, tembaga, emas, dan nikel.

Pengaruh perusahaan-perusahaan tambang asing di Indonesia masih menjadi masalah kontroversial. Beberapa perusahaan diduga melakukan eksploitasi yang tidak bertanggung jawab terhadap sumber daya alam dan lingkungan, serta memanfaatkan tenaga kerja lokal sebagai tenaga kerja murah.

 

SESAT NALAR TRANSISI ENERGI

Istilah "sesat nalar transisi energi" mengacu pada pemikiran atau tindakan yang salah dalam perencanaan atau pelaksanaan transisi dari sumber energi fosil menjadi sumber energi yang lebih bersih dan berkelanjutan. Transisi energi saat ini diarahkan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan meminimalkan dampak negatif perubahan iklim.

Namun, dalam praktiknya, beberapa kebijakan atau tindakan yang diambil untuk mendorong transisi energi dapat memicu dampak negatif lainnya. Misalnya, kebijakan pengembangan biofuel dapat memicu deforestasi dan kerusakan habitat alami, serta persaingan dengan produksi pangan.

Beberapa contoh lain dari sesat nalar transisi energi adalah:

  1. Penggunaan energi nuklir yang dianggap sebagai sumber energi bersih, tetapi memiliki risiko kecelakaan nuklir dan masalah limbah radioaktif yang sulit ditangani.
  2. Penempatan terlalu banyak fokus pada energi terbarukan seperti energi surya dan angin, tanpa memperhitungkan infrastruktur dan penyimpanan energi yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan energi yang stabil.
  3. Pengembangan teknologi yang ramah lingkungan seperti mobil listrik, tetapi tanpa memperhitungkan dampak penambangan bahan mentah dan peremajaan baterai dan tentunya suplai listrik yang masih mengharapkan energi yang bersumber dari batu bara.

Oleh karena itu, penting untuk mempertimbangkan dan mengatasi risiko-risiko yang terkait dengan transisi energi, dan mengambil tindakan yang bijaksana dan berkelanjutan untuk mempercepat perubahan menuju sistem energi yang lebih bersih dan berkelanjutan.

 

JEJAK KOTOR KENDARAAN LISTRIK

Jejak kotor kendaraan listrik sangat merujuk pada dampak lingkungan yang dihasilkan dari penggunaan kendaraan listrik yang masih menggunakan sumber energi kotor, seperti batu bara. Hal ini menjadi tantangan dalam implementasi ekosistem kendaraan listrik yang lebih ramah lingkungan. Selain itu, produksi baterai kendaraan listrik juga masih bergantung pada batu bara dan nikel, yang dapat memberikan dampak negatif pada lingkungan. Laporan "Jalan Kotor Kendaraan Listrik" yang dirilis oleh JATAM mengupas jejak kejahatan lingkungan dan kemanusiaan di balik bisnis kendaraan listrik. Oleh karena itu, perlu adanya upaya untuk meningkatkan penggunaan sumber energi yang lebih bersih dan ramah lingkungan dalam produksi dan penggunaan kendaraan listrik, sehingga dapat mengurangi dampak lingkungan yang dihasilkan.

Beberapa komponen penting yang diperlukan dalam kendaraan listrik salah satunya adalah baterai. Baterai digunakan untuk menyimpan dan mengeluarkan energi dalam berbagai perangkat, mulai dari smartphone hingga mobil listrik. Beberapa bahan baku penting yang digunakan untuk membuat baterai adalah:

  1. Lithium: Lithium adalah bahan baku paling umum untuk baterai. Lithium-ion batteries menjadi pilihan utama dalam penggunaan baterai di ponsel pintar, laptop, dan kendaraan listrik. Pemanfaatan baterai lithium-ion juga meningkat dengan cepat dalam aplikasi penyimpanan energi listrik rumah tangga.
  2. Kobalt: Kobalt digunakan dalam baterai lithium-ion sebagai bahan katalis untuk meningkatkan kinerja baterai. Sebagian besar produksi kobalt berada di Republik Demokratik Kongo, yang terkenal dengan masalah penambangan yang tidak berkelanjutan dan pelanggaran hak asasi manusia.
  3. Tembaga: Tembaga digunakan sebagai elektrolit dalam baterai, yang membantu mengalirkan listrik antara anoda dan katoda. Tembaga biasanya digunakan dalam baterai ion-litium dan baterai nikel-kadmium.
  4. Nikel: Nikel digunakan dalam berbagai jenis baterai, termasuk baterai nikel-kadmium dan baterai ion-litium. Nikel meningkatkan kapasitas baterai dan memberikan energi yang lebih tinggi.
  5. Aluminium: Aluminium digunakan dalam baterai ion-litium sebagai katoda, yang membantu mengalirkan listrik keluar dari baterai. Aluminium juga sering digunakan dalam baterai elektrokimia.

Maka perlu diingat bahwa produksi dan pengolahan bahan baku untuk baterai dapat menimbulkan dampak lingkungan yang signifikan. Selain itu, suplai energi listrik di Indonesia sebagian masih dibebankan kepada PLTU yang bahan bakar utamanya menggunakan batu bara. 

Wacana kontrak pembelian nikel antara Tesla dengan dua perusahaan asal Cina di Indonesia menunjukkan kompleksitas dalam industri ekstraktif dan hubungannya dengan pemerintah serta korporasi transnasional. Di satu sisi, wacana ini dapat mengindikasikan kuatnya pengaruh industri negara maju dalam industri ekstraktif Indonesia dan ketidaksetaraan dalam kemitraan antara perusahaan asing dan lokal. Hal ini bisa merugikan masyarakat Indonesia dan keberlangsungan lingkungan karena dapat mengakibatkan pengerahan sumber daya alam yang tidak sesuai dengan standar yang berlaku. Di sisi lain, pemerintah Indonesia juga dapat dianggap bertindak sebagai pelayan korporasi transnasional karena terkesan mempermudah akses bagi perusahaan asing tanpa memperhitungkan dampak sosial dan lingkungan. Dalam hal ini, pemerintah Indonesia perlu memastikan bahwa kesepakatan dengan Tesla dan perusahaan asal Cina di Indonesia ini memenuhi standar lingkungan dan sosial yang berlaku serta memberikan manfaat yang adil bagi masyarakat lokal.

Beberapa risiko eksplorasi pertambangan nikel antara lain:

  1. Kerusakan lingkungan: Kegiatan eksplorasi pertambangan nikel dapat menyebabkan kerusakan lingkungan yang signifikan, seperti deforestasi, penggundulan lahan, dan kerusakan habitat alami. Proses penambangan nikel juga dapat mempengaruhi kualitas air dan udara, serta meningkatkan risiko terjadinya bencana lingkungan seperti longsor dan banjir.
  1. Konflik dengan masyarakat setempat: Eksplorasi pertambangan nikel sering kali berlangsung di wilayah yang dihuni oleh masyarakat setempat. Kegiatan ini dapat menimbulkan konflik dengan masyarakat setempat terkait hak atas tanah, dampak lingkungan, dan dampak sosial ekonomi.
  2. Dampak kesehatan: Proses pengolahan nikel dapat menyebabkan terjadinya polusi udara dan pencemaran air, yang dapat berdampak buruk pada kesehatan manusia dan hewan. Dampak kesehatan yang umum terkait dengan nikel antara lain iritasi kulit dan mata, gangguan pernapasan, dan risiko kanker.
  3. Perubahan sosial ekonomi: Kehadiran industri pertambangan nikel dapat mempengaruhi pola hidup masyarakat lokal dan membawa perubahan sosial ekonomi yang signifikan. Hal ini dapat menyebabkan pergeseran kepentingan dan konflik dalam masyarakat.
  4. Volatilitas harga: Harga nikel adalah suatu hal yang dinamis dan dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti permintaan global, pasokan, dan fluktuasi mata uang. Oleh karena itu, industri pertambangan nikel rentan terhadap risiko volatilitas harga dan perubahan kondisi pasar.

Beberapa risiko eksplorasi pertambangan batu bara:

  1. Kerusakan lingkungan: Pertambangan batubara dapat menyebabkan kerusakan lingkungan yang signifikan, seperti deforestasi, penggundulan lahan, dan kerusakan habitat alami. Proses penambangan batubara juga dapat mempengaruhi kualitas air dan udara, serta meningkatkan risiko terjadinya bencana lingkungan seperti longsor dan banjir.
  2. Emisi gas rumah kaca: Industri batubara merupakan penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar di dunia, yang dapat berdampak pada perubahan iklim global dan meningkatkan risiko terjadinya bencana alam seperti banjir dan kekeringan.
  3. Dampak kesehatan: Proses penambangan dan pengolahan batubara dapat menyebabkan terjadinya polusi udara dan pencemaran air, yang dapat berdampak buruk pada kesehatan manusia dan hewan. Dampak kesehatan yang umum terkait dengan batubara antara lain iritasi kulit dan mata, gangguan pernapasan, dan risiko kanker.
  4. Konflik dengan masyarakat setempat: Eksplorasi pertambangan batubara sering kali berlangsung di wilayah yang dihuni oleh masyarakat setempat. Kegiatan ini dapat menimbulkan konflik dengan masyarakat setempat terkait hak atas tanah, dampak lingkungan, dan dampak sosial ekonomi.
  5. Perubahan sosial ekonomi: Kehadiran industri pertambangan batubara dapat mempengaruhi pola hidup masyarakat lokal dan membawa perubahan sosial ekonomi yang signifikan. Hal ini dapat menyebabkan pergeseran kepentingan dan konflik dalam masyarakat.
  6. Risiko kecelakaan: Penambangan batubara dapat melibatkan pekerjaan di bawah tanah, yang dapat meningkatkan risiko kecelakaan dan kematian pada pekerja.

Hingga saat ini pemerintah dan sebagian masyarakat masih menganggap bahwa energi listrik yang dihasilkan batu bara merupakan yang termurah, padahal jika dicermati banyak sekali resiko yang ditimbulkan. Batu bara juga dianggap sumber energi yang termurah karena tidak menanggung biaya kerusakan lingkungan, polusi udara, konflik sengketa lahan, kecelakaan kerja,  hingga nyawa yang hilang akibat terperosok ke dalam lubang bekas galian tambang batu bara.

AIR DAN PANGAN KEHIDUPAN VS INDUSTRI EKSTRAKTIF

Promosi mobil listrik sebagai bagian dari solusi perubahan iklim seringkali mengabaikan dampak negatif dari ekstraksi mineral dan bijih logam yang diperlukan untuk memproduksi mobil listrik. Pemerintah dan perusahaan seringkali mengabaikan fakta bahwa ekstraksi mineral dan bijih logam tersebut dapat menyebabkan kerusakan lingkungan dan sosial yang signifikan, terutama bagi masyarakat lokal di negara-negara produsen mineral dan bijih logam tersebut.

Pada kenyataannya, ekstraksi mineral dan bijih logam untuk memproduksi mobil listrik telah memicu dampak negatif pada masyarakat dan lingkungan di berbagai negara. Contohnya adalah ekstraksi lithium di Salar de Atacama, Chili, yang telah menyebabkan pencemaran air dan hilangnya air bersih bagi masyarakat setempat. Begitu juga di Republik Demokratik Kongo, ekstraksi kobalt untuk baterai mobil listrik telah dikaitkan dengan pelanggaran hak asasi manusia, termasuk penggunaan kerja paksa dan anak-anak dalam tambang.

Sayangnya, promosi mobil listrik sebagai solusi perubahan iklim seringkali mengabaikan dampak negatif ini dan hanya fokus pada manfaatnya dalam mengurangi emisi gas rumah kaca. Padahal, untuk mencapai keberlanjutan energi dan lingkungan yang sebenarnya, kita harus memperhitungkan dampak seluruh siklus hidup produk, dari ekstraksi bahan baku hingga pemrosesan limbahnya. Praktik ekstraksi nikel di Indonesia memang telah memicu hilangnya akses sebagian besar warga atas pangan dan air. Pertambangan nikel di Indonesia telah mengakibatkan deforestasi dan kerusakan lingkungan yang signifikan, yang mengancam keberlangsungan hidup masyarakat setempat dan satwa liar.

Salah satu contoh negatif dari praktik ekstraksi nikel di Indonesia adalah di Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara. Di daerah ini, tambang nikel yang dioperasikan oleh PT. Anugerah Surya Pratama (ASP) dan PT. Eramet bersama-sama telah mengakibatkan deforestasi yang luas dan kerusakan lingkungan. Puluhan hektar hutan telah dihilangkan untuk membuat jalan masuk ke tambang dan untuk membangun infrastruktur tambang.

Praktik ekstraksi nikel juga telah mengakibatkan dampak negatif pada ketersediaan air dan pangan bagi masyarakat setempat. Kegiatan tambang nikel menggunakan air dalam jumlah besar dan dapat mengakibatkan pengeringan sumber air yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat setempat untuk pertanian dan pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Selain itu, tambang nikel juga dapat mencemari air dengan zat-zat kimia berbahaya yang digunakan dalam proses ekstraksi.

Air dan pangan adalah kebutuhan dasar yang sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia. Namun, industri ekstraktif seperti pertambangan dan penebangan hutan dapat menimbulkan ancaman serius terhadap pasokan air dan pangan yang berkelanjutan. Salah satu dampak negatif industri ekstraktif terhadap pasokan air adalah penggunaan air yang berlebihan dalam proses penambangan dan pengolahan mineral. Hal ini dapat menyebabkan pengeringan sumber air dan berdampak pada pasokan air bagi masyarakat setempat, pertanian, dan kehidupan satwa liar. Selain itu, industri ekstraktif juga dapat menyebabkan pencemaran air melalui limbah toksik dan beracun yang dihasilkan selama proses ekstraksi mineral.

Pencemaran air dapat berdampak negatif pada lingkungan dan kesehatan manusia, serta merusak habitat alami satwa liar. Sementara itu, industri ekstraktif juga dapat mempengaruhi pasokan pangan. Penebangan hutan dan pertanian yang tidak bertanggung jawab dapat mengurangi produktivitas lahan, menghilangkan habitat satwa liar, dan meningkatkan risiko erosi dan banjir. Selain itu, pertambangan juga dapat mempengaruhi pertanian dan perikanan lokal dengan merusak tanah dan air yang diperlukan untuk produksi makanan. 

Oleh karena itu, sangat penting untuk menjaga keseimbangan antara kebutuhan industri ekstraktif dan kebutuhan masyarakat akan air dan pangan. Industri ekstraktif harus memperhatikan dampak lingkungan dan sosial yang mungkin terjadi dan memperhatikan keberlanjutan penggunaan sumber daya alam. Pemerintah dan masyarakat juga harus memperhatikan pentingnya menjaga lingkungan hidup dan sumber daya alam yang berkelanjutan, serta mendukung alternatif energi terbarukan dan pertanian berkelanjutan untuk mengurangi ketergantungan pada industri ekstraktif.

INVESTASI TAK SEPENUHNYA MENGUNTUNGKAN 

Investasi sering dikaitkan dengan invasi dan intervensi karena seringkali terjadi bahwa investasi asing di suatu negara membawa dampak yang merugikan bagi masyarakat lokal. Beberapa perusahaan asing seringkali mencari sumber daya alam dan pasar baru di negara-negara berkembang, salah satunya di Indonesia, dan dalam beberapa kasus, mereka menggunakan cara-cara yang tidak etis atau ilegal untuk mendapatkan akses ke sumber daya tersebut.

Beberapa perusahaan asing bahkan terlibat dalam praktik-praktik yang merugikan lingkungan dan hak asasi manusia, seperti penggunaan tenaga kerja murah, penjajahan tanah, dan pencemaran lingkungan. Dalam beberapa kasus, pemerintah asing bahkan membantu perusahaan-perusahaan tersebut dengan memberikan dukungan finansial dan politik.

Semua hal ini dapat menimbulkan ketidakpuasan dan ketegangan di antara masyarakat lokal, dan dalam beberapa kasus dapat memicu protes dan bahkan konflik. Selain itu, investasi asing dapat memicu inflasi, karena dengan adanya tambahan modal dari luar negeri mengakibatkan harga-harga barang dan jasa dapat naik.

Selain itu penerapan demokratisasi energi bisa menjadi sulit ketika kepentingan bisnis dan politik menjadi dasar sebuah kebijakan di sektor energi. Demokratisasi energi sendiri adalah suatu konsep yang menekankan pentingnya partisipasi dan transparansi dalam pengambilan keputusan terkait energi. Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa kebijakan energi yang diambil melibatkan masyarakat, terutama kelompok yang paling terdampak seperti masyarakat adat dan masyarakat yang tinggal di sekitar area proyek energi.

Namun, di dalam praktiknya, kebijakan energi seringkali didominasi oleh kepentingan bisnis dan politik. Kebijakan yang dibuat dapat merugikan masyarakat yang terdampak atau bahkan merusak lingkungan. Selain itu, dalam konteks global, negara-negara maju sering memanfaatkan kebijakan energi untuk menjaga kepentingan mereka dan mengamankan pasokan energi, yang bisa mengabaikan kepentingan negara-negara berkembang atau masyarakat di wilayah-wilayah tertentu.

 

Ikuti tulisan menarik Wisnu. A. Djawanai lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler