x

Ilustrasi wartawan televisi. shutterstock.com

Iklan

Rustam F Mandayun

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Selasa, 18 Juli 2023 12:16 WIB

Jurnalis, Jangan (Halu) Jadi Aparat Penegak Hukum

Belakangan ini marak media maupun wartawan yang penampilannya seakan-akan bagian resmi dari lembaga atau aparatur negara. Media-media sejenis ini pasti belum terdata atau terverifikasi di Dewan Pers.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Rustam Fachri Mandayun, Anggota Kelompok Kerja Pada Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Pers Dewan Pers

     Beberapa waktu lalu, dalam kesempatan Uji Kompetensi Wartawan (UKW) di sebuah kota, seorang peserta, wartawan, datang dengan menggunakan pakaian “seragam” penuh lambang dan emblem mirip mirip kesatuan Polisi Republik Indonesia. Salah seorang pengawas penyelenggara ujian kompetensi, dari Dewan Pers, kemudian mengingatkan kepada lembaga uji agar peserta tersebut mengganti pakaian yang digunakannya dengan pakaian “normal”. Panitia pun mengupayakan peserta tersebut bersalin baju.

Sebetulnya, dalam  peraturan pelaksanaan UKW yang berlaku sampai dengan ujian digelar, tidak ada larangan resmi menggunakan pakaian yang penuh tanda yang mirip-mirip petugas kepolisian atau aparat negara  tersebut. Namun rupanya si pengawas risih melihat ketidaklaziman itu. Mencolok dan  nggegirisi, menakutkan,  kata orang Jawa. Sementara peserta lain menggunakan pakaian “sipil” yang rapi dan sopan saja.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Memang belakangan ini marak media maupun wartawan yang penampilannya seakan-akan dan seolah olah – sengaja ditekankan, bagian resmi dari lembaga atau aparatur  negara. Pernah pada suatu ketika,  Komisi Pengaduan Masyarakat dan Penegakkan Etika Dewan Pers mengadakan mediasi di sebuah kota di Jawa Timur, seorang Kepala Desa, yang menjadi pihak Pengadu mengungkapkan bahwa dirinya merasa terintimidasi oleh kedatangan wartawan yang menggunakan mobil penuh dengan lambang dan singkatan mirip-mirip petugas kepolisian. Istilah anak sekarang, si wartawan dan medianya, halu – asal kata halusinasi, yang artinya kurang lebih, “seakan-akan menjadi” aparat penegak hukum.

Selain pakaiannya menggunakan seragam berwarna dengan segenap lambang yang mirip mirip kesatuan atau lembaga negara, lengkap dengan bendera merah putih, si wartawan membawa mobil yang di body kendaraannya berwarna abu-abu terdapat tulisan sejenis: wartawan reaksi cepat, lalu  ada  media singkatan KPK ( bisa jadi maksudnya kepanjangan dari: Koran Pemberantas Korupsi), kemudian  ada kata Tipikor ( resminya kepanjangan dari: tindak pidana korupsi). Lambang-lambang yang menempel di mobil mereka menyerupai lambang kesatuan Polri, maka penampakan “garang” ini membingungkan dan mengintimidasi masyarakat, termasuk si Kepala Desa.

Sebetulnya, awal adanya kebijakan perusahaan pers, baik cetak, elektronik – televisi terutama,  maupun siber –sekarang, mewajibkan wartawan dan crew medianya berseragam, dengan maksud agar mereka tampil rapi, sopan dan mudah dikenali identitas media tempat mereka bertugas. Mereka terlihat lebih profesional.  Rupanya upaya merapikan penampilan wartawan atau jurnalis, yang umumnya tampil santai seadamya, dimanfaat secara berlebihan oleh sekelompok wartawan untuk tujuan yang berbeda. Yakni untuk mengintimidasi. Menakut-nakutilah paling tidak.

Bukan hanya dari penampilan wartawannya dan kendaraan yang dipakai, banyak lay out atau tampilan medianya, siber utamanya, menggunakan lambang, singkatan mirip-mirip lembaga negara. Bahkan ada media yang nekad menggunakan nama : majalahumaspolisi.id – sengaja disamarkan. Ketika ditanya, apakah media anda merupakan bagian dari Humas Polri? “Tidak. Bukan,” jawab penanggungjawabnya.  Lantas ketika ditanya mengapa dia memberi nama medianya seakan akan bagian dari lembaga Polri?, Jawabnya; “Kami ingin menjadi media yang menyampaikan informasi kepada aparat penengak hukum, polisi agar kasus-kasus yang kami tulis dilanjutkan dengan penyelidikan dan seterusnya,” kata si penanggungjawab media dengan pede.   Pastilah dia belum pernah ikut Uji Kompetensi Wartawan. Dia belum tahu kalau dia sebetulnya belum banyak tahu tentang posisi dan peran pers.

Ada yang memberi nama medianya suaramabes.com, perstipikorkpk.co, menggunakan lambang yang di dalamnya ada kata-kata : PERS – TIPIKOR – KPK, ada yang menggunakan nama medianya dengan diawali   kata “bhayangkara” – kata yang identik dengan kepolisian, dan lain-lain, yang tujuannya mungkin mengambil efek agar  dianggap milik atau berasosiasi dengan lembaga Kepolisian RI. Ada yang sengaja menggunakan nama: kabarreskrim, yang ternyata sebuah singkatan yang tidak terkait dengan satuan di Kepolisian, meski di belakangnya ada kata: polisi,  sungguh mencengangkan! Media-media sejenis ini, pasti belum terdata atau terverifikasi di Dewan Pers. Ada penjelasannya nanti.   

Tak heran jika kemudian di tahun 2023, ini muncul edaran dari Humas Polri yang mengingatkan tentang adanya Hak Cipta atas Lambang, Logo dan Brevet Humas Polri. Salah satu pernyataan dalam edaran tersebut  menyatakan; “Apabila ada pihak yang menggunakan lambang, atau logo-logo lain milik Divisi Humas Polri, pengemban fungsi humas dapat melakukan somasi (teguran atau peringatan awal) sebelum suatu perkara dibawa ke ranah pengadilan.”  Seterusnya disebutkan:  “Apabila somasi telah dilakukan tetapi (tidak) mengindahkan, pengemban tugas fungsi Humas Polri dapat melakukan upaya hukum sebagai langkah akhir,” bunyi edaran tersebut.

Nampaknya, edaran yang dikeluarkan pada tahun 2023 ini, sebagai tindak lanjut dari telegram Kepala Kepolisian Republik Indonesia  sebelumnya, yakni tahun 2020. Pada Telegram – surat edaran internal, klasifikasi biasa- tersebut, Kapolri memerintahkan kepada seluruh Kepala Polisi Daerah ( Kapolda) menertibkan penggunaan simbol, logo dan lambang Humas Polri di kalangan masyarakat umum. Penggunaan simbol, logo dan lambang tersebut dikhawatirkan disalahgunakan.

Karena itu Kapolri meminta jajaran di bawahnya jika menemukan seseorang atau organisasi yang menggunakan sibol, lambang Humas Polri, selain dari Divisi Humas Polri, segera melaporkan ke satuan kerja. Bahkan jika ditemukan unsur pidana dalam penggunaan simbol-simbol tersebut harus ditindaklanjuti secara hukum.

Sepertinya, “peringatan” melalui edaran-edaran tersebut masih dianggap angin lalu. Atau karena tidak tersampaikan secara baik?

Dewan Pers jauh jauh hari mengantisipasi upaya-upaya penyelewenangan penggunaan logo, nama, singkatan  dan lambang negara yang mirip atau yang asosiatif dengan nama, singkatan dan lambang lembaga negara. Yakni melalui Seruan Dewan Pers Nomor 01/ Seruan-DP/ I/ 2014 tentang Penggunaan Nama Penerbitan Pers, yang dikeluarkan pada 30 Januari 2014.

Seruan tersebut dikeluarkan, karena saat itu,  Dewan Pers beberapa kali menerima pengaduan terkait penggunaan nama penerbitan pers yang menggunakan nama atau yang menyerupai nama lembaga pemerintahan, lembaga penegak hukum atau nama LSM. Di masa itu pun, nyaris sepuluh tahun yang lalu, nama-nama seperti Suratkabar KPK (yang tidak ada kaitan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi/KPK), Suratkabar BUSER (mirip dengan satuan tugas kepolisian), Suratkabar BIN (mirip nama Badan Intelijen Negara/BIN), Suratkabar ICW (mirip LSM Indonesia Corruption Watch/ICW), sering digunakan.

Dewan Pers menilai penggunaan nama-nama tersebut untuk penerbitan pers dapat menimbulkan kesalahpahaman di masyarakat dan berpotensi disalahgunakan. Bahkan Dewan Pers menerima sejumlah pengaduan tentang penyalahgunaan profesi wartawan oleh penerbitan pers yang menggunakan nama yang mirip dengan nama lembaga-lembaga dimaksud.

Karenanya  Dewan Pers meminta pengelola penerbitan pers untuk tidak menggunakan nama penerbitan yang menyerupai nama lembaga pemerintahan, lembaga penegak hukum, lembaga sosial atau lembaga publik lain yang sudah dikenal publik. Anjuran ini tidak berlaku untuk ‘penerbitan atau media internal’ yang memang resmi dikelola oleh lembaga pemerintahan, lembaga penegak hukum, lembaga sosial atau lembaga publik bersangkutan.

Maka, bisa dipahami jika pada suatu ketika seorang kenalan saya yang mencoba memverifikasi medianya ke Dewan Pers, tidak bisa didata atau diverifikasi oleh Dewan Pers. Ketika saya tanya apa nama medianya, dia menyebutkan nama yang asosiatif dengan kepolisian, pastilah dia diminta oleh Komisi Pendataan -  perusahaan pers di Dewan Pers untuk mengubah nama medianya agar bisa diverifikasi, dan mungkin belum dilakukan.   

Dengan digiatkannya  kembali sosialisasi adanya rambu-rambu hukum dan administratif tentang penggunaan simbol, logo dan nama media mirip-mirip lembaga negara yang bisa mengelabui masyarakat, seharusnya masyarakat pers semakin sadar atas hal hal yang harus dihindari jika tidak ingin berurusan dengan hukum. Dengan demikian kecemasan masyarakat terhadap adanya penyimpangan – penyimpangan kerja jurnalistik pun jadi berkurang.

Perusahaan pers dan wartawannya harus semakin professional dan meluruskan kembali niatnya terjun ke dunia jurnalistik, yakni; utamanya untuk memberi informasi yang  mencerdaskan pembaca. Bukan untuk halu-haluan. ***

Ikuti tulisan menarik Rustam F Mandayun lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler