x

Ilustrasi keterkaitan media dengan politik. Gambar oleh Adila Firani (2023).

Iklan

Rustam F Mandayun

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Selasa, 21 November 2023 12:22 WIB

Pers Harus Independen, Tapi Harus Memihak Akal Sehat

Jika media menyatakan memihak –secara terbuka- pada kekuatan politik tertentu, dalam meproduksi dan menyajikan produk jurnalistik, maka pagar Kode Etik Jurnalistik tetap menjadi batasannya. kebijakan redaksi tersebut harus disepakati suka-rela oleh pengelola, sampai dengan wartawannya. Tidak boleh ada paksaan, yang itu artinya tidak boleh ada intervensi. Keberpihakan pada kelompok atau individu tertentu harus menjadi kesediaan bersama. Kesadaran besama.  

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Oleh : Rustam Fachri Mandayun –  Pemerhati media.

Hari hari ini adalah hari hari yang penuh dengan gelaran politik. Masa masa menuju Pemilihan Presiden ( dan wakilnya), Kepala Daerah serta calon legislatif di berbagai tingkatan seakan menjadi topik utama yang mengisi ruang-ruang publik–-maupun pribadi di negeri kita; Indonesia.

Semua sumber informasi apapun bentuknya menjadi saluran dan dimanfaatkan sebagai alat untuk menggaungkan ajakan : Pilihlah aku!  Termasuk di dalamnya media (pers).    

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dalam sebuah kesempatan diskusi tentang pers, ada pendapat yang mengatakan bahwa dalam “bulan-bulan kampanye” ini, pers atau media harus netral dalam memberitakan perihal politik, lebih spesifik tentang gelaran pemilhan presiden, kepala daerah dan anggota legisltaif. Saya jadi ingat bahwa pada sebuah kesempatan, Prof. Bagir Manan, mantan Ketua Dewan Pers, mantan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia dan profesor hukum berintegritas, kurang lebih mengatakan; pers tidak harus netral. Tapi harus independen.

Yang dimaksud “netral” di sini  dengan pengertian tidak memihak kepada pihak, golongan manapun atau kepada siapapun. Adapun yang dimaksud dengan independen, sebagaimana yang tercantum di Kode Etik Jurnalistik Pasal 1 yang menyatakan; “Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang dan tidak beritikad buruk. “

Adapun penafsiran kata independen dalam pasal tersebut dinyatakan: ”huruf (a). Independen berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan,   intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers.”

Sudah jelas di sini bahwa yang menjadi panduan utama seorang wartawan --dan tentu berita yang dihasilkannya--  adalah suara hati nurani. Jelas, patokannya di sini adalah landasan moral, etik. Dalam bahasa saya, dalam tataran praksis terkandung value: “pertimbangan akal sehat”, common sense. Dengan kata lain, pers harus memihak; memihak kepada kebenaran.

Kita tahu, bahwa dalam kontestasi politik saat ini ada grup media yang terafiliasi dengan partai politik tertentu dan bahkan dimiki oleh “pemilik” partai tersebut. Tentu partai-partai tersebut punya calon presiden dan calon wakil presidennya sendiri-sendiri. Di daerahpun demikian. Bahkan ada media yang didirikan dengan maksud mendukung calon-calon tertentu. Apakah Calon Presiden atau level Kepala Daerah serta calon anggota legislatif.

Meskipun muskil, nyaris tak masuk akal, tetap harus terus diingatkan kepada wartawan, para pemilik media, sekaligus pemilik partai, bahwa mereka harus menumbuhkan sikap independen di dalam budaya kerja keredaksian mereka. Suatu keharusan, meskipun mungkin mimpi.

Kalaupun hasrat berpolitik si pemilik media tidak tertahankan untuk memanfaatkan medianya, maka si pemilik (dan pengelolanya) harus secara fair menyatakan sikap redaksionalnya atas keberpihakan kepada kelompok atau pihak tertentu atau individu tertentu. Jangan berpura-pura tidak berpihak. Jangan “muna”, kata anak sekarang. Janganpura-pura netral. Pemirsa maupun pembaca tahu kok.

Tapi tetap perlu diingat, kalaupun menyatakan memihak –secara terbuka- dalam meproduksi dan menyajikan produk jurnalistik, maka pagar Kode Etik Jurnalistik tetap menjadi batasannya. Selain itu, kebijakan redaksi tersebut harus disepakati dengan suka-rela oleh pengelola, sampai dengan wartawannya. Tidak boleh ada paksaan, yang itu artinya tidak boleh ada intervensi. Keberpihakan pada kelompok atau individu tertentu harus menjadi kesediaan bersama. Kesadaran besama.  

Dalam betuk yang ideal, esensial, sebetulnya media ( baca: Koran) di masa masa perjuangan atau awal-awal kemerdekaan,  lumrah saja jika mereka mendirikan media dengan tujuan untuk memperjuangan kelompok atau nilai-nilai tertentu yang diingankan oleh media tersebut. Misalnya, membebaskan diri dari penjajahan atau mempromosikan ideologi tertentu. Itulah fakta sejarah. Tidak ada intervensi dalam pilihan sikap politik keredaksiannya. Dilakukan secara terbuka.

Sikap itu pula yang ditunjukkan oleh Majalah Berita Mingguan Tempo, harian Koran Tempo  dan harian The Jakarta Post ketika di Pemilihan Presiden tahun 2014. Mungkin juga media-media yang lain.

Lewat rubrik Opini,  Tempo menurunkan editorial yang berjudul: ”Jalan Abu-abu Prabowo,” edisi 3 November 2013. Dalam editorial tersebut ditulis,:” ADA banyak produk gagal reformasi. Di antaranya rezim pengganti Orde Baru yang tak pernah kunjung membawa Soeharto ke pengadilan hingga meninggal pada 2008. Padahal penguasa 32 tahun itu dituduh terlibat banyak perkara korupsi. Rezim baru juga tak pernah mengadili pembantu-pembantu Soeharto yang lancung atau pemimpin militernya yang banyak melanggar hak asasi manusia.

Prabowo Subianto merupakan salah satu turunan dari produk gagal reformasi itu. Dituduh bertanggung jawab atas penculikan sejumlah aktivis pada 1997-1998, mantan Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus ini tak pernah disemati status terdakwa. Kejahatan kemanusiaan yang dia lakukan bersama timnya diselesaikan secara politis, yaitu melalui Dewan Kehormatan Perwira bentukan Markas Besar Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.

Menurut Tempo, atas rekomendasi Dewan Kehormatan, Panglima ABRI saat itu, Jenderal Wiranto memberhentikan dengan tidak hormat Prabowo. Menurut editorial tersebut, jenderal bintang tiga itu lalu "lari" ke Yordania selama dua tahun. Ia tak pernah diajukan ke pengadilan. Jadi, ia sebenarnya baru menerima sanksi politis-administratif—bukan hukuman pidana.

Media yang masih satu grup dengan Majalah Berita Mingguan Tempo, yakni harian Koran Tempo menerbitkan editorial dengan judul  Memilih Pemimpin  pada 09 Jul 2014. Dalam editorial tersebut, Koran Tempo antara lain menulis: “Prabowo terlihat tegas. Tapi ia tampak lebih emosional, kurang bisa memberikan rasa tenang bagi rakyat…,”

Selanjutnya Koran Tempo menulis;  “… Mudah dibayangkan pula, Prabowo akan sulit menuntaskan kasus pelanggaran hak asasi manusia. Ia bakal dibebani oleh kasus penculikan aktivis prodemokrasi pada 1997-1998. Gara-gara kasus ini pula Prabowo diberhentikan dari militer.….

“Indonesia memerlukan pemimpin yang tak terbelit masalah lawas, mampu melaksanakan ide, sekaligus membawa perubahan yang signifikan. Kalau tak bisa menemukan sosok ideal, resep yang paling mudah: cobloslah pasangan yang lebih kecil mudaratnya bagi republik ini. Rasanya resep ini masih berlaku hingga sekarang. Sebagai menteri di kabinet Jokowi adakah prestasinya yang menonjol?

The Jakarta Post, pada masa yang sama – ketika Jokowi bersaing dengan Prabowo, muncul dengan editorial berjudul: “Endorsing Jokowi”.

There is no such thing as being neutral when the stakes are so high. While endeavoring as best we can to remain objective in our news reporting, our journalism has always stood on the belief of the right moral ground when grave choices must be made”. (This article was published in thejakartapost.com with the title "Editorial: Endorsing Jokowi". Click to read:  https://www.thejakartapost.com/news/2014/07/04/editorial-endorsing-jokowi.html.

Jadi, ketika taruhannya adalah kepentingan bangsa ke depan, netral bukanlah pilihan. Meski tetap objektif dalam pemberitaan, The Jakarta Post meyakini bahwa jurnalismenya  harus berpijak pada keyakinan akan landasan moral yang benar. Meskipun harapan tak selalu sesuai dengan kenyataan, pengelola media-media tersebut yakin  bahwa pada saat yang dibutuhkan masyarakat, bangsa, media harus  menyatakan sikapnya. Media menjalankan salah satu fungsinya sesuai Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, pada Pasal 6 menyatakan: Pers nasional melaksanakan perannya, antara lain: e. memperjuangkan keadilan dan kebenaran. 

Bagaimana dengan kemunculan Gibran sebagai calon wakil presiden? Apakah dia mucul melalui prsoses yang adil dan benar? Media  menyoroti cacat demokrasi yang melahirkan pria asal Solo ini ke panggung Pemilihan Presiden. Sumbernya adalah keputusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) yang menyidangkan aduan keputusan Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023. 

Sidang MKMK memastikan apakah majelis Mahkamah Konstitusi sudah berpegang pada prosesdur etik yang seharusnya ketika memutus perkara yang memiliki potensi konflik kepentingan di antara hakim Konstitusi. Utamanya, Ketua Mahkamah Konstitusi,  Anwar Usman. Anwar adalah paman dari Cawapres Prabowo, Gibran Rakabuming Raka. Anwar Usman dinyatakan melanggar etik dan dicopot sebagai Ketua MK.    

Orang orang kemudian mempertanyakan, media menelisik, apakah keputusan majelis MK  yang lahir dari majelis yang cacat etika, menghasil produk yang menjunjung tinggi moral?   Kembali ke editorial Tha Jakarta Pos t di atas,: “our journalism has always stood on the belief of the right moral ground when grave choices must be made.” Itulah kuncinya: Pilihlah pemimpin yang muncul dari proses yang landasan moralnya  benar.

Dengan sedikit modifikasi, wajar umpamanya dalam editorial yang sekarang Tempo dan media-media lainnya mengingatkan: Masih ada waktu bagi 204,8 juta calon pemilih untuk menimbang-nimbang setiap calon. Kita tentu ingin menghasilkan pemimpin yang terbaik, bukan salah satu produk gagal reformasi yang pintar beretorika atau menelikung konstitusi lewat nepotisme.

 

Ikuti tulisan menarik Rustam F Mandayun lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler