x

Iklan

Sulistiyo Suparno

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 19 Juli 2023

Kamis, 20 Juli 2023 10:11 WIB

Surat dari Penjara

Ia mengabarkan akan segera bebas, namun sang istri menyambutnya bersama lelaki lain.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Semarang, 1 Agustus 1993. Duduk di pojok perpustakaan sebuah penjara, Nasib Subono menulis surat untuk istrinya.

Istriku yang baik, sampai saat ini aku masih gamang. Haruskah aku menyesal menjadi maling? Memang, di ruang pengadilan aku mengaku menyesal agar hakim meringankan hukumanku. Sebenarnya aku menyesal mengapa tertangkap, bukan menyesal karena menjadi maling.

Seperti yang kamu tahu, istriku, aku adalah suami yang bertanggung jawab. Selalu memikirkan keluarga. Selepas kena PHK dari pabrik panci, aku melakukan apa saja termasuk jadi tukang becak. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Itu kulakukan agar dapur kita tetap mengepul. Agar anak-anak kita tak kelaparan. Karena itu ketika beberapa teman mengajak melakukan sebuah “kerjasama”, aku menyambutnya dengan menggebu.

Malam itu kami membobol sebuah rumah mewah. Kami telah menyusun rencana itu dengan saksama. Kami tahu kapan rumah itu ramai, kapan sepi. Kami telah mengamatinya dengan cermat. Malam itu kami beraksi, aman-aman saja. Kami pergi dari rumah itu dengan hasil yang gemilang. 

Tapi malang, istriku, ketika kami hendak membagi hasil rampokan itu, polisi telah mengepung persembunyian kami. Entah, bagaimana mereka mampu menemukan kami. Belakangan aku tahu, rumah yang kami bobol itu memiliki alarm bisu. Pantas, kami tak mendengar suara meraung-raung seperti alarm lazimnya.

Saat penggerebekan itu aku menangis, istriku. Terbayang anak kita yang tak bisa minum susu lagi. 

Istriku, salahkah mencuri demi anak? Tak perlu kamu jawab, karena kamu punya beban yang lebih berat sejak aku mendekam di penjara. Tapi menurutku, aku telah melakukan sesuatu yang membanggakan. Dengar-dengar, para polisi yang menangkap kami telah menerima kenaikan pangkat. Diam-diam aku bangga bisa membuat orang lain dianggap berjasa.

Satu hal yang tak kumengerti, istriku. Mengapa maling kelas teri macam aku, gampang sekali tertangkap? Mengapa maling berdasi yang sering muncul di televisi, sulit sekali masuk penjara, atau kalau masuk penjara sekadar mampir saja, lalu bebas lagi dalam waktu singkat.

Istriku, aku berpikir bahwa keberadaan maling telah menguntungkan sebagian orang. Karena ada maling, maka ada pabrik gembok, alarm, borgol, pentungan. Pabrik-pabrik itu tentu memerlukan tenaga kerja yang banyak, to? Bagaimana bila tak ada maling? Pengangguran akan bertambah banyak.

Istriku, suatu kali aku dan teman-teman selku berdiskusi dan kami menyimpullkan bahwa maling pun berjasa bagi kehidupan. Coba seandainya para maling berikrar untuk pensiun jadi maling, bisa geger dunia! Pabrik gembok, alarm, pentungan akan tutup karena tak ada order. Petugas keamanan akan bengong sepanjang hari karena tak ada maling yang bisa mereka gebuki.

Maka demi menjaga stabilitas nasional, kami para maling berikrar bahwa maling tak boleh dihapus dari muka bumi. Keberadaan maling harus dipertahankan. Karena inilah sumbangsih maling untuk bangsa dan negara. Kami layak dianggap pahlawan, meski kami tak minta tanda jasa.

Istriku, tak lama lagi aku akan bebas. Kuharap kalian bisa menyambutku di hari pembebasanku. Kuharap kebahagian kalian melebihi kebahagianku. Amin.
***
Nasib mengela napas dan membaca ulang surat yang telah selesai ia tulis itu. Puas membaca, ia melipat surat lalu memasukkannya ke amplop putih. Menulis nama dan alamat istrinya di amplop itu. Kemudian ia beranjak dari duduk, melangkah mendekat ke meja penjaga perpustakaan. Si penjaga perpustakaan itu seorang pemuda, tersenyum.

“Sudah selesai, Pak?”

Nasib menyodorkan pulpen dan surat pada pemuda itu. “Terimakasih untuk kertas, amplop dan pulpennya. Mungkin ini pertemuan terakhir kita di sini. Dan tolong antarkan surat ini untuk istriku.”

Pemuda itu menjabat tangan Nasib.

“Selamat, Pak. Bapak akan segera bebas. Saya harap Bapak tidak kembali lagi ke sini. Dan surat ini, pasti akan saya antarkan ke istri Bapak.”
***
Nasib merentangkan kedua tangan ketika keluar dari gerbang penjara. Menghirup napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan.

Istrinya datang menyambut.

“Mana anak-anak?” tanya Nasib. 

“Di rumah, Kang.”

“Kamu tidak mengajak mereka?”

Istrinya menggeleng.

Nasib melihat sebuah Carry butut di sudut tempat parkir. Seorang lelaki setengah baya berdiri bersandar di pintu depan mobil itu.

“Kamu mengajaknya?” tanya Nasib.

Istrinya gugup.
“Pak Komar yang membantu hidupku dan anak-anak selama kamu di penjara, Kang. Kalau bekas juragan becakmu itu tak menolong, mungkin aku sudah jadi pelacur. Seorang diri menghidupi dua anak, itu berat, Kang,” istrinya sesenggukan.

“Aku harus berterima kasih padanya,” kata Nasib.

“Tapi, Kang....”

“Tapi apa?”

“Maafkan aku, Kang. Saat itu aku sangat bingung. Uang tak ada, barang-barang sudah habis kujual. Lalu Pak Komar datang. Sekarang aku jadi istri simpanannya, Kang.”

Nasib terkesiap.

“Maafkan aku, Kang,” istrinya meraih tangan Nasib, menyerahkan amplop coklat tebal. “Dari Pak Komar. Buat modal kamu melanjutkan hidup, Kang.”

Istrinya menundukkan kepala, meninggalkan Nasib. 

Nasib berdiri terpaku. Kaku. Kebebasan yang indah, tiba-tiba tercabik. Ia memandang amplop coklat di genggaman tangan kanannya. Ia menghela napas. Matanya berkaca-kaca. Perlahan, ia memasukkan amplop itu ke kantong bajunya. Semarang terasa panas pagi ini.

Nasib Subono melangkah pergi entah ke mana.
***SELESAI***

Sulistiyo Suparno, lahir di Batang, 9 Mei 1974. Karyanya tersebar di media lokal dan nasional, seperti Jawa Pos, Suara Merdeka, Minggu Pagi, Radar Bromo, dan lainnya. Bukunya yang telah terbit novel remaja Hah! Pacarku? (2006) serta antologi cerpen bersama Bahagia Tak Mesti dengan Manusia (2017) dan Sepasang Camar (2018). Bermukim di Limpung, Batang, Jawa Tengah.

Ikuti tulisan menarik Sulistiyo Suparno lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan