x

Pohon-pohon binsai ini sudah berumur ratusan tahun. Hal ini bisa dilihat dari pohon-pohon yang menjulang tinggi dan batang-batang pohon yang sudah berlumut.

Iklan

Sulistiyo Suparno

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 19 Juli 2023

Kamis, 10 Agustus 2023 16:42 WIB

Pembunuhan yang Sempurna

Kisah seorang pembunuh bayaran.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Manuel membaca iklan baris seorang pembunuh bayaran, di sebuah koran lokal. “Anda ingin mengakhiri hidup dengan sebutir peluru? Segera hubungi nomor ......”

Manuel, seorang akuntan publik yang frustrasi duduk di kursi beton di pojok taman kota, siang itu. Ia merogoh sesuatu di saku dalam jasnya. Sebuah telepon seluler untuk menghubungi seseorang.

Beberapa detik Manuel menunggu.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

“Halo? Selamat siang. Iklan anda sungguh menarik. Saya butuh jasa anda. Bisa kita bertemu? Saya ke tempat anda. Tidak? Oh, baiklah. Saya di taman kota, kursi menghadap barat daya. Jas biru laut, 40-an.”

Manuel tersenyum meisterius. Entah bagaimana melukiskan perasaan lelaki itu melalui ekspresi wajahnya. Senyumnya kurang meyakinkan sebagai wujud kegembiraan, tetapi kurang tepat pula bila itu senyum duka. Mungkin lelaki itu tengah dilanda kebimbangan, yang ia sendiri tidak menyadari segala tindakannya. Yah, mungkin itu analisis yang masuk akal untuk senyumnya.

Manuel kembali membaca iklan itu. Seorang pembunuh bayaran memasang iklan? Ah, ini hak asazi, kawan. Kebebasan pers memungkinkan untuk itu.

Sebutir peluru untuk lepas dari segala derita hidup? Banyak orang ingin melakukannya, tetapi enggan melakukannya dengan tangan sendiri. Mereka mencari sang pembebas. Maka carilah iklan baris di koran, apa yang mereka harapkan akan tercapai.

Beberapa hari belakangan ini langit berselimut mendung. Awan kelabu selalu mengintai, seperti malaikat maut. Manuel mulai gelisah. Matanya mencari ke segala penjuru taman.

Satu jam Manuel menunggu. Lelaki itu tertawa kecil merasa telah melakukan kebodohan. Menanti seorang pembunuh bayaran? Apakah dirinya sedang bercanda dalam permainan hidup dan maut?

Manuel melirik jam tangannya. Waktunya makan siang. Seharusnya dia sudah bisa menikmati betapa lezat steik impala di kafe Wild Africa, beberapa ratus meter dari taman.

Tetapi, Manuel harus menunggu seseorang yang belum dikenalnya. Apakah seseorang itu tumbuh rambut tebal di kepala atau tidak, Manuel tak tahu. Manuel hanya yakin seseorang yang sedang ia tunggu merupakan sosok yang terbiasa menghadapi musuh.

Manuel hendak membatalkan menunggu, ia hendak pergi, tetapi ia melihat seorang lelaki berjalan ke arahnya. Lelaki itu bertubuh tegap, memakai kaos dan jas hitam. Kepalanya pelontos mengkilap. Dada Manuel bergetar menatapnya.

“Tuan Manuel?” lelaki pelontos itu melepas kacamata hitamnya, bertanya dingin.

“Benar. Anda?”

“Waktu saya terbatas. Kita bicarakan tentang telepon Anda.”

“Anda pemasang iklan itu?” tanya Manuel. “Saya telah menanti Anda selama satu jam.”

“Saya berkeliling taman dan menunggu, memastikan Anda tidak menghubungi pihak lain,” jawab lelaki pelontos itu, tegas.

“Pihak lain siapa?”

Si Pelontos tidak menjawab. Tatapannya masih dingin untuk meyakinkan Manuel agar tak perlu berbasa-basi.

“Kita bicara di mobilku,” kata Manuel membuang koran ke kotak sampah tak jauh darinya, lalu melangkah menuju pelataran parkir di timur taman. Si Pelontos mengikutinya.

Di belakang kemudi, Manuel mengeluarkan foto seukuran credit card dari dompetnya. Foto seorang wanita sebaya dengannya.

“Ini Natasha, isteri saya. Dia pelukis terkenal. Lukisannya tentang seorang gadis penari balet menghiasi dinding ruang lobi Balai Kota. Anda pasti mengenal isteri saya,” kata Manuel.

“Tidak!”

“Tidak?” Manuel kaget. “Tidak masalah. Wali Kota atau pelukis, tak ada bedanya di mata peluru Anda.”

Si Pelontos meraih foto dari tangan Manuel, lalu memasukkan ke saku belakang celana denim biru tuanya.

“Isteri saya gemar melukis di tepi danau di bawah bukit di selatan kota. Saya minta Anda memberinya sebutir peluru tepat di keningnya,” kata Manuel. “Sudah lama isteri saya menderita suatu penyakit, tetapi dia memaksakan diri untuk melukis. Orang-orang bersimpati padanya dan membeli hampir semua lukisannya.”

Manuel menghela napas, lalu melanjutkan bicara. “Tetapi orang-orang masa bodoh dengan penderitaan isteri saya. Natasha tak mampu lagi menghangatkan ranjang kami, dan menjadikan melukis sebagai kehangatan baginya. Tidakkah Anda mengerti penderitaan isteri saya?” kata Manuel mencoba meraih simpati Si Pelontos.

“Maaf, waktu saya terbatas,” sahut Si Pelontos.

“Yah, saya mengerti. Saya ingin Anda tahu, saya lelaki dan suami setia. Saya tak mungkin mencari kehangatan di ranjang lain, dengan wanita lain. Saya telah bersumpah setia sampai mati pada Natasha. Tapi biarlah Natasha yang mati duluan agar penderitaannya dan juga penderitaan saya berakhir.”

“Ada lagi? Waktu saya tak banyak,” sahut Si Pelontos.

“Nanti sore saya menemani Natasha melukis di tepi danau. Saya akan berpura-pura pergi sebentar membeli soft drink. Saat itulah Anda beraksi.”

“Saya tahu tugas saya, Tuan!”

“Sekarang bagian yang penting. Berapa angka nol yang Anda minta?” tanya Manuel.

“Senilai harga terendah lukisan isteri Anda.”

Manuel tersenyum tipis, merasa terhibur dengan ucapan Si Pelontos. Setidaknya Manuel tahu bahwa, si pembunuh bayaran itu tahu harga terendah lukisan Natasha cukup untuk membeli sebuah mobil baru bermesin 2.000 cc.

“Anda terima cek?” tanya Manuel.
***
Sore yang dingin di danau yang tak sembarang orang bisa berkunjung. Danau dan bukit itu milik Natasha; ia menyewa selama 20 tahun kepada pemerintah kota.

Natasha berdiri di tepi danau. Tangan kanannya menyapukan kuas pada kanvas di depannya. Gerakan tangannya seperti tak bertenaga dan wajahnya menyimpan ketegangan. Sweater dan syal merah yang dipakainya melambangkan kekerasan hatinya.

Tak jauh darinya, telah menunggu sebuah mobil van tempat mengangkut peralatan melukis. Di belakang kemudi van itu, duduklah Manuel dengan dada bergemuruh. Manuel melirik arlojinya dan ia merasa sudah waktu baginya untuk melaksanakan rencana. Manuel keluar dari van.

“Aku hendak cari minuman kaleng. Kau mau titip sesuatu, Nat?” tanya Manuel pelan agar tak mengganggu konsenterasi isterinya. Sekilas, Manuel melirik pada kanvas itu; sebuah lukisan peti mati bersayap putih melayang di atas tanah berlubang.

“Tidak, terima kasih,” sahut Natasha menoleh. “Jangan bawa van itu, aku memerlukan peralatanku.”

“Aku akan berjalan saja. Desa terdekat hanya beberapa langkah dari sini.”

Sepuluh menit kemudian Manuel sampai di desa kecil yang dingin. Ia memasuki sebuah mini market. Setelah mengambil coke di lemari pendingin, Manuel mengeluarkan Motorola-nya, menghubungi seseorang. “Ingat, pakai peredam suara!” bisik Manuel.
***
Usai pemakaman Natasha, Manuel menenangkan diri ke vilanya di tepi pantai. Manuel terkejut ketika mendapati Si Pelontos duduk di kursi menghadap perapian.

“Bagaimana Anda bisa masuk?” tanya Manuel menahan geram.

“Sistem keamanan vila Anda sudah ketinggalan zaman, Tuan Manuel,” kata Si Pelontos.

“Untuk apa Anda datang? Kontrak kita selesai setelah kematian Natasha dan Anda telah menerima sekoper uang dari saya.”

“Urusan kita belum selesai, Tuan.” Si Pelontos bangkit dari kursi, melangkah mendekati Manuel.

“Apa maksudmu?” Manuel mundur dua langkah.

“Saya harus menyampaikan pesan Natasha untuk Anda, Tuan Manuel.”

“Pesan?”

“Bahwa Anda lelaki payah dalam karier, apalagi...di ranjang. Anda sungguh payah, Tuan.”

“Wanita sialan!” Manuel mengumpat.

“Satu pesan lagi, Tuan Manuel.”

“Apa itu?”

“Saya harus melubangi kepala Anda, Tuan Manuel.”

“Apa? Natasha juga menyewamu?”

Dor! Sebutir peluru menjawab pertanyaan Manuel. Si Pelontos terdiam sejenak, mengamati tubuh Manuel yang tergeletak di lantai. Setelah yakin si akuntan publik itu benar-benar mati, Si Plontos menyimpan revolver ke balik jas hitamnya. 

“Sempurna,” Si Pelontos bergumam, lalu melangkah pergi. 
***SELESAI***
Sulistiyo Suparno, lahir di Batang, 9 Mei 1974. Karyanya tersebar di media lokal dan nasional. Bukunya yang telah terbit novel remaja Hah! Pacarku? (2006) serta antologi cerpen bersama Bahagia Tak Mesti dengan Manusia (2017) dan Sepasang Camar (2018). Bermukim di Limpung, Batang, Jawa Tengah.

Ikuti tulisan menarik Sulistiyo Suparno lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan