x

Pastikan tak tertibkan Perppu KPK

Iklan

Nikolas Kristiyanto

Dosen Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta
Bergabung Sejak: 2 November 2023

Senin, 6 November 2023 08:51 WIB

Memahami Jokowi, Memahami Politik Orang Jawa

Etika orang Jawa menekankan harmoni sebagai inti nilai. Mereka cenderung tenang, berhati-hati, dan menunjukkan kerendahan hati dalam politik. Mereka mencari kekuatan diam-diam dan berusaha menghindari tampilan yang terlalu berkuasa. Politik orang Jawa mengandalkan perasaan dan simpati. Pemahaman atas budaya ini akan membantu menjelaskan taktik politik Jokowi. Memahami Politik Orang Jawa adalah jalan untuk memahami pendekatan Jokowi dalam politiknya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Rm. Franz Magnis-Suseno dalam bukunya Etika Jawa yang terbit pertama kali pada tahun 1981 mengatakan bahwa inti dari etika orang Jawa adalah harmonis. Orang Jawa mungkin tampak biasa-biasa saja, baik-baik saja, namun sebenarnya bisa saja memendam dendam bahkan amarah yang tidak kelihatan, bahkan tidak diketahui oleh orang-orang terdekatnya. Hal ini biasa dan lumrah bagi orang Jawa.

Walaupun sedang berselisih dan bermusuhan, mereka masih bisa saling menyapa dan tersenyum di depan umum. Ini bisa terjadi karena bagi orang Jawa yang terpenting adalah harmonis–semua baik-baik saja di depan publik. Ada yang namanya jagad gedhe (dunia yang besar) dan jagad cilik (dunia yang kecil). Jagad gedhe ini tentang hal-hal publik sehari-hari yang dapat dilihat oleh banyak orang. Sedangkan, jagad cilik adalah hal-hal privat (bersifat sangat pribadi) dan tak tersentuh oleh siapa pun selain dirinya sendiri. Jagad cilik ini adalah dunia hati dan rasa setiap pribadi, yang dianggap sangat sakral, tak seorang pun dapat menyentuhnya.

Politik Orang Jawa

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Melihat pemahaman etis orang Jawa, di mana harmonisasi itu yang harus dipegang teguh oleh setiap orang, maka tak mengherankan jika dalam dunia politik pun, Orang Jawa akan selalu berusaha untuk menampilkan sosok yang tenang, tidak banyak bicara, dan selalu membawa keharmonisan dalam dunianya. Hal ini bukan berarti bahwa semuanya baik-baik saja. Misalkan saja ada konflik di sana, mereka akan banyak diam dan mengalah di depan publik karena “ora elok” (tidak indah / tidak baik) jika harus menunjukkan emosi (kemarahan) di depan publik. Mereka akan lebih memilih dianggap kalah, bodoh, salah, bahkan berusaha untuk tetap tersenyum di depan publik. Hal itu tidak masalah.

Dianggap lemah sekalipun, orang Jawa akan menerimanya, karena bagi mereka lebih baik direndahkan demi keharmonisan yang mereka perjuangkan di depan umum. Mereka bahkan lebih suka dianggap lemah dan tak berdaya, daripada dianggap kuat dan arogan. Bahkan, hal ini dianggap sebagai keutamaan kerendahan hati yang patut diperjuangkan.

Mempertontonkan kekuatan dan kekuasaan di depan publik secara gamblang, itu bukan cara Orang Jawa berpolitik. Tapi bukan berarti mereka tidak ingin mencari kekuasaan dan kekuatan (politis). Melainkan, mereka mencarinya secara diam-diam, namun akan mengagetkan di akhir. Itu lebih memuaskan, daripada sejak awal hanya terus berkoar-koar dan memberi janji manis ke sana ke mari, namun akhirnya tidak punya daya ledak yang kuat. Itu bukan politik orang Jawa.

Orang Jawa lebih suka alon-alon waton kelakon (pelan-pelan asalkan terlaksana). Di balik kebijaksanaan ini, orang Jawa ingin menekankan kehati-hatian, kearifan, kebijaksanaan, kesabaran, kecermatan, dan ketelitian dalam setiap detail persoalan dalam mengambil setiap keputusan, terlebih keputusan-keputusan penting dalam hidup. Hal ini pun yang digunakan oleh orang Jawa dalam berpolitik.

Selain itu, orang Jawa juga memegang prinsip andhap asor (rendah hati). Dalam hal ini kerendahan hati lebih dipahami sebagai cara hidup yang biasa-biasa saja. Dalam bahasa Jawa Kuno bahkan kata ini dapat diartikan sebagai sebuah keadaan tidak terlalu penting. Merasa menjadi orang penting bukanlah keutamaan bagi orang Jawa. Tapi apakah orang Jawa tidak mau dianggap penting? Tidak juga! Bahkan, biasanya mereka ingin sekali dianggap penting atau mereka selalu mengatakan ingin diwongke (dianggap manusia), sederhananya ingin dihormati secara layak.

Dalam jagad cilik Orang Jawa, ketika mereka berusaha untuk andhap asor tapi ternyata tidak diwongke, hal itu akan menjadi persoalan serius bagi mereka. Mereka akan merasa diremehkan. Namun, hal ini justru akan membuat mereka lebih survive untuk menunjukkan eksistensi diri mereka di depan publik.

Singkatnya, semakin tidak dihargai, mereka akan semakin merendahkan diri di depan publik, namun amunisi untuk membalas dendam akan semakin banyak disimpan untuk dikeluarkan pada waktunya. Jika pun harus dikeluarkan (amunisi itu), mereka tidak akan menggunakan tangan mereka sendiri karena itu akan mengakibatkan ketidakharmonisan. Seringkali mereka memakai jalan melingkar yang rumit (yang tidak dipahami orang lain) dan yang terpenting adalah orang yang mereka sasar akan merasakan benar amunisi-amunisi yang mereka keluarkan tanpa harus mengungkapkannya di depan publik.

Inilah moto orang Jawa: “Sugih tanpa bandha, digdaya tanpa aji, nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake” [“Kaya tanpa Harta, memiliki Kesaktian tanpa Ilmu (benda pusaka), Menyerang tanpa bala Pasukan, Menang tanpa Merendahkan]. Inilah politik orang Jawa!       

 

Memahami Jokowi

Dari penjelasan singkat di atas, maka kita pun dapat mulai memahami Politik Jokowi selama ini. Jangan lupa, Jokowi itu orang Solo–orang Jawa!. Memahami politik orang Jawa, maka kita akan memahami taktik percaturan politik Jokowi akhir-akhir ini. Semakin banyak orang menyerang Jokowi dan keluarganya, maka Jokowi sekeluarga akan semakin banyak diam, andhap asor, dan menunjukkan makin banyak senyum di wajah mereka, karena bagi mereka inilah keharmonisan.

Semakin banyak orang mengolok-olok, menghina, meremehkan, justru itulah kekuatan bagi Jokowi sekeluarga untuk mempersiapkan amunisi yang semakin tajam bagi lawan-lawan politiknya. Mereka lebih suka dianggap tidak punya kekuatan, tidak punya kekuasaan, semua melawan mereka dan sedikit pihak di kubu mereka. Ini lebih menguntungkan bagi mereka. Biarkan lawan-lawan politik lebih sering dan lebih banyak menyerang mereka. Ini yang mereka sukai.

Lalu pertanyaannya: “Mengapa?” Karena bagi orang Jawa semakin ada orang yang ditindas, ora diwongke, diremehkan, dihina, dan diolok-olok, mereka akan semakin simpati pada orang ini dan keluarganya. Bagi rang Jawa, “iki wong cilik, podho karo aku” (ini orang kecil, sama seperti saya) yang selalu ditindas, ora diwongke, diremehkan, dihina, dan diolok-olok. Jadi, jika lawan-lawan politik Jokowi semakin menyerang Jokowi dan keluarganya, sebetulnya mereka sedang membuat Jokowi sekeluarga berada di atas angin–semakin banyak orang yang akan simpati padanya. Inilah politik rasa (politik jagad cilik) yang dimainkan Jokowi sekeluarga.

Tidak boleh dipungkiri bahwa suku Jawa merupakan salah satu kelompok suara elektoral yang menentukan di pemilu tahun depan. “Anda ingin memenangkan pemilu?” Jujur saja, salah satu caranya adalah menggaet hati orang-orang Jawa, baik yang berada di Pulau Jawa maupun mereka yang ada di perantauan. Hal ini juga bukan berarti tidak memperhitungkan suara di luar Orang Jawa dan di luar Pulau Jawa. “Tidak! Tidak Sama Sekali!”

Selain itu, kita juga tidak boleh menutup mata bahwa politik kita sebenarnya sudah di-Jawa-kan oleh Soeharto selama 32 tahun. Jadi, tidak mengherankan jika orang-orang yang bukan Orang Jawa dan tidak berada di Pulau Jawa, secara tidak sadar juga menggunakan cara pandang dan cara rasa yang kurang lebih sama dengan politik Jawa yang sudah begitu tertanam secara struktural selama ini. Ini bukan persoalan ras, suku, atau pulau, melainkan ini soal politik yang terstruktur di bawah sadar orang Indonesia selama ini. Politik Jawa dianggap sebagai Politik Indonesia! Ini yang sangat dipahami oleh Jokowi. Maka, siap-siaplah dengan begitu banyak kejutan di hari-hari ke depan. Jokowi sudah mempersiapkan semuanya!

Akhirnya, bila nda ingin memahami jalan ninja Jokowi, pahamilah politik orang Jawa!

Ikuti tulisan menarik Nikolas Kristiyanto lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu