x

Kota Palembang dengan tiga banteng 1682. Wikipedia

Iklan

Made Darme

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 22 September 2023

Rabu, 17 Januari 2024 12:46 WIB

Kantor Kejaksaan Lama Palembang untuk Cagar Budaya

Suatu penjajahan memang sangat menyakitkan apabila diingat dari kejadian yang terjadi. Namun perlu disadari dari penjajahan memberikan manfaat yang berarti dalam menghadapi permasalahan kehidupan di sekitarnya. Hal ini dapat dinikmati dari bangunan kolonial yang dibangun di berbagai daerah jajahannya. Pemanfaatan bangunan kolonial menjadi penting karena memiliki nilai penting dalam kehidupan masyarakat di masa lalu.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Oleh, Made Darme dan Luh Suwita Utami

Magister Pendidikan Sejarah, FIS, Universitas Negeri Jakarta, Indonesia

Pusat Riset Arkeologi Prasejarah dan Sejarah, Organisasi Riset Arkelogi, Bahasa dan Sastra, BRIN, Indonesia.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sejarah Masuknya Kolonial Belanda

Masa Kesultanan Palembang berakhir ketika Belanda berhasil memaksa Sultan Badaruddin II untuk menghentikan perlawanannya. Dengan kekuatan militer yang dipimpin oleh Jendral Mayor Hendrik Markus Barond De Kock, Belanda berusaha membalas kekalahannya. Hal ini terjadi karena pihak Palembang telah mempersiapkan diri dengan memperkuat benteng pertahanan, persenjataan dan personelnya dengan baik. Serangan yang dilakukan oleh Belanda beberapa hari setelah tanggal 9 Juni 1821 mengakibatkan penguasaan Benteng Manguntama oleh Belanda. Sehingga Sultan Mahmud Badaruddin II menghentikan perlawanan dan menerima hukuman pengasingan ke Ternate pada tahun 1821.  Pada tahun 1824 oleh Pemerintah kolonial Belanda, keberadaan Kesultanan Palembang Darussalam dihapuskan serta bekas wilayahnya kemudian diintegrasikan ke dalam kekuaaan kolonial.   

Keberadaan Belanda di Kota Palembang ditandai dengan dihancurkannya bangunan-bangunan penting masa Kesultanan Palembang. Penghancuran ini dilakukan untuk menunjukkan kepada masyarakat Palembang bahwa pemerintah yang berkuasa bukan seorang sultan akan tetapi seorang Residen yang berasal dari Belanda. Belanda kemudian membangun kembali Kota Palembang di berbagai bidang, contohnya bangunan Leideng (menara air), kantor Residen Belanda, Kambang Iwak, Bangunan Museum Tekstil, Gereja St. Maria, Gereja Siloam, dan perumahan elit Belanda di Palembang.

Ketika Palembang berada di tangan pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1821, kota ini mengalami perubahan-perubahan yang cukup berarti. Perubahan-perubahan ini mengalami puncaknya pada awal abad XX M, ketika Palembang dijadikan suatu kota berdasarkan undang-undang desentralisasi, desentralitatiewet, yang diberlakukan pada 1 April 1906, meskipun pembangunan Kota Palembang secara berkesinambungan baru terlaksana pada tahun 1929. Pemerintah Kolonial Belanda memandang Kota Palembang pada masa kesultanan tidak berbeda jauh dengan kota-kota di Jawa. Keraton ditempatkan sebagai pusat kota. Karena itu, ketika menduduki Palembang, keraton dijadikan modal awal oleh pemerintah kolonial dalam membangun kantor komisaris dan gedung dewan, pusat pemerintahan, administrasi, dan ekonomi Belanda untuk membentuk citra kolonialnya.

Sejak berdirinya Kota Palembang tahun 1906 sebagai kota yang berdiri sendiri sampai saat ini, berbagai sistem pemerintahan diubah sedemikian rupa. Hal ini juga dikarenakan segala tuntutan dan perubahan perkembangan zaman. Pada awal abad XX M, pemerintah Kota Palembang memindahkan pemerintahannya di sebelah barat dekat dengan Benteng Kuto Besak (BKB). Kemudian pemerintah Belanda mendirikan beberapa bangunan di sekitar wilayah tersebut, seperti gedung peradilan, kantor pos dan telepon, rumah gadai, sekolah, gereja, hotel, dan tempat hiburan (bioskop dan gedung pertemuan). Bukan hanya fokus pada pendirian bangunan saja melainkan pemerintah Belanda juga andil dalam mengembangkan perdagangan masyarakat Palembang, dibuktikan dengan membangun pasar permanen di sebelah timur Benteng Kuto Besak. Berdasarkan pembangunan dari berbagai bentuk pemerintahan Belanda di Palembang dikarenakan kawasan yang dibuka dan dikembangkan menyesuaikan kebutuhan dalam membangun pemerintahan Belanda untuk mendapat keuntungan dari yang telah dibangun.

Fungsi Keberadaan Kantor Kejaksaan Masa Kolonial, Jepang, dan Kemerdekaan

Mengutip dari catatan sejarah tentang keberadaan kejaksaan telah dimulai dari masa Kerajaan Majapahit. Mulai berlajut dipergunakan pada masa kolonial Belanda dan pendudukan Jepang di Indonesia. Sebagaimana kolonial Belanda mendirikan kantor kejaksaan yang dipimpin oleh residen. Selain lembaganya memiliki pegawai-pegawai yang berperan di Magistraat dan Officier van Justitie dalam sidang Landraad (Pengadilan Negeri), Jurisdictie Geschillen (Pengadilan Justisi) dan Hooggerechtshof (Mahkamah Agung) di bawah perintahlangsung dari Residen atau Asisten Residen.

Dalam prakteknya hanya cenderung mengutamakan kepentingan pemerintahan Belanda. Dengan kata lain, bangunan ini hanya diperuntukkan untuk mengemban misi terselubung, yaitu:

  1. Mempertahankan segala peraturan negara;
  2. Melakukan segala tuntutan dalam pelanggaran berbagai tindakan pidana; dan
  3. Mengambil tindakan keputusan sesuai wewenang yang telah diberlakukan.

Pemberlakuan peraturan yang telah ditetapkan pada wilayah kekuasaan Belanda harus dipatuhi oleh masyarakat Palembang. Apabila masyarakat ditemukan melanggar peraturan tersebut akan mendapatkan hukuman yang ditetapkan oleh dewan pengadilan.

Pada masa peralihan kekuasaan ke pendudukan Jepang, bangunan ini tetap masih digunakan sebagai tempat kejaksaan dalam mengadili para perkara. Akan tetapi fungsinya telah berbeda, yakni masa pendudukan Jepang kejaksaan memiliki kekuasaan yang meliputi mencari (menyidik) kejahatan dan pelanggaran, menuntut perkara, menjalankan putusan pengadilan dalam perkara kriminal, dan mengurus pekerjaan lain yang wajib dilakukan menurut hukum.

Pada masa kemerdekaan, Kejaksaan tidak diubah dalam bentuk apapun karena fungsinya sangat penting dalam penegakkan hukum di Indonesia. Hal ini telah dituangkan dalam Pasal II aturan peralihan UUD 1945. Tentunya ini diperjelas pada Peraturan Pemerintah Nomor 2 tahun 1945. Isinya mengenai sebelum pembentukkan Negara Republik Indonesia membentuk badan-badan dan peraturan negaranya sesuai dengan ketentuan UUD, maka segala peraturan yang telah ada tetap diberlakukan. Dengan demikian, adanya peraturan penetapan kewenangan aturan hukum yang berlaku di suatu negara tidak terlepas dari bekas jajahan negara lain. kemudian negara terjajah mengadobsinya dan diimplementasikan pada kehidupan sehari-hari dengan catatan membawa perubahan positif terhadap warga negara.

Bangunan Peninggalan Belanda sebagai Objek diduga Cagar Budaya

Kota Palembang adalah sebuah kota yang memiliki berbagai tempat wisata khususnya bangunan-bangunan bersejarah masa kolonial Belanda. Bangunan yang dapat diketahui, diantaranya perumahan milik pegawai Residen Belanda di Kambang Iwak, Museum Sultan Mahmud Badaruddin II, Gereja Siloam, Museum Tekstil, Masjid Agung Palembang, Jembatan Ampera, dan Kantor Leideng.

Bangunan bersejarah merupakan bangunan yang memiliki nilai-nilai historis yang harus dijaga dan dilindungi oleh pemerintah. Bangunan ini menjadi momentum sebagai pembawa perubahan dalam ketatanegaraan di masa lampau. Salah satu bangunan yang memiliki arti penting bagi ketatanegaraan di Palembang adalah Kantor Kejaksaan Palembang yang memanfaatkan sebuah bangunan dari masa kolonial di Kota Palembang. Bangunan ini terletak di Jalan Telaga No. 6, Tiga Puluh Ilir, Ilir Barat II. Merujuk pada catatan historis bangunan Kantor Kejaksaan masa kolonial ini, memiliki makna penting dalam perkembangan Kota Palembang terhadap implementasi aturan hukum secara resmi dalam bernegara.

Kantor Kejaksaan Palembang Lama 

Bangunan Kantor Kejaksaan Lama Kota Palembang ini dahulunya merupakan sebuah tepat tinggal dari Jan Christian Hulshoof, seorang pegawai Residen Belanda yang berdasarkan Buku Tanah Dengan Surat Ukur Uraian Batas tertanggal 19 Desember 1939 No 128, Hak Milik No 4 yang diberikan oleh Pemerintah dengan Hak Oigendem menurut Keputusan Tanggal 17 Juni 1940, No. 8, merupakan orang yang memiliki status sebagai Pemegang Hak atas bangunan ini. Besar dugaan bahwa Jan Christian Hulshoof kemudian meninggalkan Palembang dan menyerahkan bangunan ini kepada pemerintah Indonesia. Sehingga pada masa-masa selanjutnya pemerintah menggunakan bangunan ini sebagai kantor kejaksaan.

Mengenai Kejaksaan Indonesia, berdasarkan UUD No 15 tahun 1961 tentang Ketentuan Pekok Kejaksaan Indonesia yang diterbitkan pada tanggal 30 Juni 1961 bahwa Kejaksaan di Sumatera Selatan adalah merupakan cabang Kejaksaan Tinggi Jakarta. Karena di Sumatera Selatan belum memiliki pengadilan tinggi maka Kejaksaan Tinggi mendirikan Pengadilan Tinggi di Palembang. Pada bulan Juli 1966 semua Cabang Kejaksaan tinggi ditetapkan menjadi Kejaksaan Tinggi setelah sidang Umum MPRS. Sehingga kejaksaan di Kota Palembang pun turut berubah menjadi Kejaksaan Tinggi Palembang.  Pada Tahun 1990 telah diterbitkan Buku Tanah Hak Pakai No. 323 sebagai bentuk validasi Hak Pakai yang hanya boleh dipergunakan oleh Kejaksaan Negeri Palembang. Hal ini mengubah dari Kejaksaan Negeri Palembang menjadi Kejaksaan Negeri Sumatera Selatan.  Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan ini menempati Gedung Kantor di Jalan Telaga No. 6 yang pada masa kolonial merupakan rumah tinggal Jan Christian Hulshoof di Kawasan Talang Semut.

Kawasan Talang Semut yang terletak di Kota Palembang merupakan kawasan yang kaya akan sejarah dan warisan budaya. Kawasan ini secara arsitektur banyak dipengaruhi oleh arsitektur Eropa yang mencakup bangunan dengan elemen-elemen arsitektur kolonial klasik. Arsitektur ini, baik pada gaya dan teknik bangunan dibawa oleh para penjelajah, pendagang dan penjajah eropa pada abad XVI hingga XIX ke Palembang. Bangunan Kejaksaan Lama Kota Palembang tampaknya adalah salah satu bangunan yang merupakan bangunan dengan arsitektur eropa yang dimanfaatkan berulang-ulang. Hal ini tampak dari pemanfaatan awal sebagai rumah kediaman Christian Hulshoof, hingga kemudian dimanfaatkan sebagai kantor Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan.

Kondisi bangunan Kantor Kejaksaan Lama Kota Palembang saat ini sudah tidak terawat lagi. Menurut informasi bahwa bangunan ini tidak mengalami perbaikan yang menyebabkan pembongkaran atau perubahan Gedung, kecuali hanya penambahan dua gedung kecil di belakang gedung utama yang dilakukan sebelum tahun 1981.

Bagi para penikmat sejarah, bangunan Kantor Kejaksaan Lama Kota Palembang ini adalah hal penting dalam kajian-kajian kesejarahan dan arsitektur Kota Palembang. Tenaga Ahli Cagar Budaya Kota Palembang, menetapkan Kantor Kejaksaan Lama Kota Palembang ini sebagai salah satu dari tiga bagunan Objek Diduga Cagar Budaya selain Museum SMB II dan Kantor Ledeng sebagaimana penjelasan Wahyu Rizky Andhifani selaku ketua TACB Kota Palembang. Pengajuan atas bangunan ini untuk dapat ditetapkan sebagai Cagar Budaya Kota Palembang tidak terlepas dari nilai arsitektur yang melekat pada bangunan dan nilai sejarahnya sebagai bangunan kejaksaan pada masa lalu.

Keberadaan Bangunan Kolonial Belanda di Talang Semut

Pemerintah Belanda membangun Kota Palembang sebagai daerah kota perdagangan, selain itu Palembang memiliki berbagai komoditas yang dibutuhkan oleh bangsa Eropa. Sehingga masyarakat Palembang yang ingin menjual hasil komoditasnya untuk diperjualbelikan bagi orang-orang Belanda. Mereka dapat menjualnya di pasar yang telah dibangun oleh pemerintah Belanda.

Menurut Farida R. Wargadalem mengatakan keberadaan bangunan-bangunan kolonial Belanda yang terdapat di Kota Palembang sebagian besar terletak di sekitaran Talang Semut. Alasan pembangunan di wilayah Talang semut dikarenakan secara geografis lebih tinggi ditambah dengan dibuat dan dilebarkan dengan adanya Kambang Iwak. Selain wilayah Kota Palembang dikenal sebagai daerah dataran rendah yang dikelilingi banyak rawa. Dengan keberadaan bangunan kolonial Belanda di sekitaran Talang Semut maka akan terhindar dari terdampaknya bencana seperti banjir.

Dari literatur yang diperoleh penulis, Talang Semut merupakan kawasan yang dibangun oleh pemerintah kolonial Belanda untuk membantu segala administrasi perkantoran yang berkedudukan di Palembang. Pembangunan di kawasan Talang Semut juga berdasarkan kondisi geografisnya yang berupa dataran tinggi.  Daerah Palembang dikenal sebagai tanah yang dikelilingi rawa, artinya lokasi daerah dataran rendah ini berdampak banjir. Maka pembangunan Kawasan oleh kolonial Belanda di Talang Semut yang memiliki letak strategis yaitu terhindar dari dampak banjir, sehingga penduduk aka naman dalam melakukan berbagai aktivitas kehidupan orang-orang Eropa pada umumnya.

Bangunan-bangunan kolonial Belanda yang terdapat di Talang Semut adalah perumahan pegawai Belanda, menara air, dan kantor komisaris, serta gedung dewan. Salah satu bangunan kolonial Belanda di sekitar Talang Semut adalah perumahan elit bangsawan Belanda. Perumahan ini diperuntukkan khusus untuk pegawai-pegawai Belanda di Kota Palembang. Bangunan ini merupakan bangunan pertama masa kolonial untuk kategori perumahan elit. Khusus perumahan elit yang dimiliki Jan Christian Hulshoof merupakan perumahan yang memiliki keistimewaan dari perumahan-perumahan milik pegawai Belanda lainnya.

Pemanfaatan bangunan kolonial Belanda sampai saat ini masih digunakan oleh masyarakat Palembang. Terbuktinya perumahan elit masih kokoh sampai sekarang walaupun terdapat perbaikan yang harus disesuaikan namun tetap memperhatikan gaya arsitektur yang diadopsi bangunan dari Belanda. Selain itu bangunan kolonial juga dialihkan menjadi kantor pemerintah. Perumahan elit di Talang Semut sebagian besar dihuni oleh pejabat besar Kota Palembang.

Setelah kepergian Jan Christian Hulshoof dari Palembang, kemudian masuknya pendudukan Jepang di Indonesia tanpa terkecuali di Kota Palembang, tahun 1942. Pemerintah Belanda tidak lagi mengoperasikan kegiatannya administrasinya dalam bentuk kepemerintahan karena segala bentuk pemerintahan sudah diambil alih oleh Jepang. Begitu pula bangunan-bangunan yang telah dibangun oleh pemerintah Belanda telah dirampas dan digunakan sesuai kebutuhan masa pendudukan Jepang. Kepergian penjajahan Jepang di Palembang, pemerintah Indonesia juga memanfaatkan bangunan-bangunan dari masa kolonial Belanda, bahkan bangunan tersebut masih digunakan oleh pemerintah maupun masyarakat Palembang sampai saat ini.

Ikuti tulisan menarik Made Darme lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu