Menyusuri jalan terjal
aku melihat dia yang lenyap
bergerak di atas awan
dahinya memakai bintang
matanya biru: dalam dan suci
tetap seperti dalam mimpi yang diberkati
melihat beberapa misteri sukacita
dengan kedalaman cinta yang tak terucapkan.
Jubahnya berwarna biru
seperti langit musim kemarau
jatuh dengan sapuan suci
dan keheningan suci yang berhembus
menekan ke dada
dengan bunyi ukulele yang mistik
dan tangannya seperti mutiara yang hidup
mengembara di atas dawai-dawai emas.
Petikan ukulele terdengar
siapa yang bisa mengucapkan atau menciptakannya?
dalam langit yang mendebarkan
setiap kenangan dan kesedihan
setiap sakit hati dan penderitaan
setiap ketakutan akan hari esok
melebur dalam istirahat yang mempesona.
Dan di sekelilingnya ada beberapa orang
cerah dengan jubah seperti awan sore
jubah api dan jubah perak
merah tua yang memudar seperti mawar
dan menggetarkan dengan perasaan-perasaan yang hidup
memperdalam denyut jantung masing-masing
hingga dalam kesurupan warna yang hidup
pelangi surgawi bersinar lebih terang.
Bagaimana mereka melayang: melambai-lambai dan mencerahkan
menundukkan alis berbintang mereka
kemudian bernyanyi dengan irama yang lembut
dan tangan mereka seperti bunga bakung yang tak bernoda
dilipat di atas dada mereka yang penuh doa.
Dalam nyanyian mereka berbaur
suasana lembut dari masa lampau
seperti nyanyian-nyanyian ibu di dekat buaian
ratapan ibu di dekat kubur
nyanyian cinta dan duka manusia
nyanyian-nyian cinta dan istirahat yang tak berkesudahan
dan dalam jeda musik: setiap denyut kesedihan mati.
Wahai kekasih, kekasih hatiku
sia-sia aku menangis karena Engkau?
akankah aku memanggil-Mu dari kemuliaan-Mu
untuk kenajisan dunia ini?
lihatlah, ia berlalu, ia lenyap
semua penglihatan itu mencair
tetapi seolah-olah bunga bakung surgawi
jatuh ke dadaku yang sakit
dengan rasa manis yang menyembuhkan
dengan nafas mistik yang menenangkan
aku terpesona untuk melupakan
angin musim hujan dan batu-batu pemali yang suram.
Atambua, 04 Maret 2024
Ikuti tulisan menarik Silivester Kiik lainnya di sini.