Jurnal Mitigasi - Litigasi Supervisi Sosial dan Politik - Kolom ini hadir sebagai ruang refleksi atas dinamika demokrasi Indonesia pasca-Reformasi, ketika masyarakat sipil terus mencari cara untuk menegakkan kontrol terhadap negara. -Mitigasi - dipahami sebagai upaya pencegahan konflik sosial dan politik, sementara - Litigasi - merujuk pada proses penegakan hukum serta penyelesaian sengketa yang lahir dari ketegangan sipil-militer maupun antar-aktor politik. Melalui perspektif supervisi sosial, kolom ini menyoroti bagaimana lembaga non-pemerintah, media, serta komunitas akademik berperan sebagai pengawas kritis. Tujuannya jelas: memastikan demokrasi tidak hanya menjadi prosedur elektoral, tetapi juga praktik yang berpihak pada keadilan sosial. Dalam lingkup politik, kolom ini mengurai fenomena - grey area - purnawirawan militer, problem akuntabilitas hukum, hingga dilema skeptisisme publik terhadap institusi negara. Semua dibaca bukan semata dari sisi hukum formal, melainkan juga sebagai gejala sosiologis yang memengaruhi hubungan kekuasaan dan kepercayaan publik. Jurnal Mitigasi - Litigasi Supervisi Sosial dan Politik - bukan hanya catatan akademik, melainkan juga ajakan untuk terus mengawal reformasi. Bahwa demokrasi sejati hanya dapat tumbuh bila ada keseimbangan antara negara yang berkuasa dan masyarakat yang berdaya mengawasi.

Kelompok Purnawirawan, Kelas Abu-abu di Antara Sipil dan Militer

2 jam lalu
Bagikan Artikel Ini
img-content
Membubarkan DPR : Jalan Reformasi atau Awal Otoritarianisme
Iklan

Di antara sipil murni dan militer aktif, muncul satu kategori baru: purnawirawan. Inilah yang sering disebut sebagai “grey area” dalam dinamika

 

Oleh: Ahmad Wansa Al-faiz.


Reformasi 1998 melahirkan harapan besar bagi bangsa Indonesia, yakni demokrasi yang terbuka, supremasi sipil, serta penghentian dominasi militer dalam politik. Namun, dua dekade lebih setelah euforia itu, kita menyaksikan sebuah realitas yang tidak hitam putih. Di antara sipil murni dan militer aktif, muncul satu kategori baru: purnawirawan. Inilah yang sering disebut sebagai zona abu-abu (grey area) dalam dinamika pemerintahan kita.

Zona abu-abu ini bukan sekadar kategori administratif pensiunan militer. Mereka hadir sebagai aktor politik, pejabat publik, bahkan tokoh masyarakat yang membawa dua dunia sekaligus: pengalaman militer dan status sipil. Secara formal mereka adalah warga sipil, tetapi secara kultural mereka tetap membawa habitus militer, yakni disiplin komando, solidaritas korps, dan jaringan yang kuat.

Fenomena ini menghadirkan dilema. Di satu sisi, purnawirawan bisa memberi kontribusi positif berupa stabilitas, ketegasan, dan kepemimpinan yang cepat mengambil keputusan. Di sisi lain, kehadiran mereka justru bisa mereproduksi logika militer dalam ruang sipil, bahwa hierarki lebih diutamakan daripada deliberasi, perintah lebih kuat daripada musyawarah, loyalitas korps lebih kokoh daripada akuntabilitas publik.

Jika kita melihat dari perspektif sosiologi politik, zona abu-abu ini adalah bentuk civilitation of democracy—upaya demokrasi Indonesia untuk mencerna warisan militeristik dalam bingkai sistem sipil. Demokrasi Indonesia tidak menolak sepenuhnya warisan Orde Baru, tetapi berusaha menyesuaikannya. Akibatnya, lahirlah model demokrasi hibrida, yakni demokrasi yang secara prosedural sipil, tetapi secara substansial masih menyisakan bayang-bayang militer.

Inilah kontradiksi yang kita alami pasca-1998. Reformasi menjanjikan supremasi sipil, namun dalam praktiknya, militer tetap hadir lewat jalur purnawirawan. Apakah ini sebuah model baru pemerintahan yang menggabungkan kelebihan dua dunia, atau justru kesenjangan baru sipil–militer dalam baju demokrasi?

Jawabannya tergantung pada bagaimana kita sebagai masyarakat sipil mengawal demokrasi. Bila purnawirawan diposisikan dalam kerangka hukum dan demokrasi yang transparan, mereka bisa menjadi aset. Namun bila dibiarkan tanpa kontrol, mereka bisa menjadi jalan bagi kembalinya dominasi militer dalam politik.

Maka, tugas besar demokrasi Indonesia bukan sekadar merayakan kebebasan, melainkan memastikan bahwa zona abu-abu ini tidak menjadi ruang gelap bagi lahirnya kembali otoritarianisme. Demokrasi pasca-1998 adalah demokrasi yang sedang belajar: civilitation yang masih mencari bentuk antara harapan utopia dan realitas sosial yang kompleks.

 

 

 DJS Law Office Reformasi 1998 Sebuah Era Baru Sistem Multi Partai di Indonesia - DJS Law Office


Skeptisisme terhadap Militer

Sejak runtuhnya Orde Baru pada 1998, hubungan masyarakat dengan militer tidak lagi sama. Reformasi memang menandai berakhirnya dominasi militer dalam politik, namun bayang-bayang masa lalu masih melekat. Rakyat menyimpan skeptisisme (sikap penuh curiga) terhadap keterlibatan militer dalam urusan sipil.

Akar dari sikap ini jelas, yakni Orde Baru selama tiga dekade menghadirkan militer bukan hanya sebagai penjaga pertahanan, tetapi juga penguasa politik dan ekonomi. Represi terhadap gerakan mahasiswa, peristiwa pelanggaran HAM seperti Tanjung Priok, Timor Timur, hingga Trisakti dan Semanggi, semuanya meninggalkan jejak trauma kolektif. Memori sejarah ini menumbuhkan pandangan bahwa militer lebih sering menguasai daripada melindungi.

Pasca-Reformasi, meski secara hukum militer ditarik dari politik praktis, skeptisisme belum hilang. Kehadiran purnawirawan dalam politik sering dianggap sebagai jalur balik militer untuk merebut ruang sipil. Peradilan militer yang tertutup pun menambah kesan bahwa aparat keamanan menikmati kekebalan hukum. Bagi banyak aktivis, inilah alasan mengapa supremasi sipil harus terus dijaga.

Namun skeptisisme ini memiliki dua wajah. Di satu sisi, ia berfungsi sebagai mekanisme kontrol sosial yang sehat, mencegah militer kembali ke pola lama. Di sisi lain, bila berkembang menjadi ketidakpercayaan total, ia justru bisa melemahkan kohesi sosial. Masyarakat bisa menolak peran militer bahkan ketika mereka menjalankan tugas konstitusional seperti penanganan bencana atau pertahanan negara.

Di sinilah tantangannya, yakni menjaga agar skeptisisme tetap rasional, bukan sekadar prasangka. Kuncinya ada pada transparansi, reformasi internal militer, serta dialog sipil–militer yang jujur. Demokrasi tidak akan tumbuh sehat jika hubungan sipil dan militer terus dibayangi trauma tanpa upaya rekonsiliasi.

Skeptisisme adalah warisan sejarah, tetapi masa depan demokrasi ditentukan oleh kemampuan kita mengubah warisan itu menjadi energi korektif, bukan penghalang. Reformasi 1998 memberi pelajaran penting bahwa kepercayaan hanya tumbuh bila hukum berlaku setara untuk semua baik sipil maupun militer.


Gambar.1


1. Akar Sejarah

Skeptisisme masyarakat sipil terhadap militer di Indonesia tidak lahir tiba-tiba. Ia merupakan residu sejarah Orde Baru (1966–1998), di mana militer menjalankan dwifungsi, yakni bukan hanya sebagai alat pertahanan, tetapi juga menguasai politik, ekonomi, dan birokrasi.

  • Represi terhadap gerakan mahasiswa.

  • Pelanggaran HAM (Tanjung Priok, Talangsari, Timor Timur, Trisakti, Semanggi).

  • Dominasi politik dengan kursi “ABRI” di DPR dan jabatan strategis di pemerintahan.

Semua itu membentuk memori kolektif bahwa militer adalah kekuatan yang lebih menguasai daripada melayani.


2. Skeptisisme sebagai Sikap Sosial

Setelah Reformasi, secara formal militer ditarik dari politik praktis. Namun skeptisisme tetap kuat.

  • Banyak aktivis sipil melihat kehadiran militer dalam ruang politik sebagai ancaman laten otoritarianisme.

  • Keikutsertaan purnawirawan dalam partai politik dipandang sebagai jalur balik militer untuk menguasai negara.

  • Peradilan militer yang cenderung tertutup memunculkan kesan kebal hukum (immunitas), sehingga rasa percaya publik tidak pulih.


Bandar Lampung, 9 September 2025.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bagikan Artikel Ini
img-content
Jurnal Mitigasi Litigasi - Supervisi Sosial Dan Politik

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler