Menelisik Makna Simbolisme dalam Puisi Hujan Bulan Juni Karya Sapardi Djoko

Sabtu, 13 Juli 2024 11:57 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Sapardi Djoko Damono, Sosok Sastrawan Tanah Air.
Iklan

Sapardi Djoko Damono dihormati sebagai salah satu penyair yang karyanya melampaui ruang dan waktu. Puisi yang sering menjadi bahan perbincangan adalah ``Hujan di Bulan Juni. Puisi sendiri merupakan salah satu karya imajinatif. Sebagai sebuah karya imajinatif, fiksi menawarkan berbagai permasalahan manusia dan kemanusiaan, hidup dan kehidupan.

Sapardi Djoko Damono dihormati sebagai salah satu penyair yang karyanya melampaui  ruang dan waktu. Puisi yang sering menjadi bahan perbincangan adalah ``Hujan di Bulan Juni''. Puisi sendiri merupakan salah satu karya imajinatif. Sebagai sebuah karya imajinatif, fiksi menawarkan berbagai permasalahan manusia dan kemanusiaan, hidup dan kehidupan. Pengarang menghayati berbagai permasalahan tersebut dengan penuh kesungguhan yang kemudian diungkapkan kembali melalui sarana fiksi sesuai dengan pandangannya (Nurgiyantoro, 2013:2)

Dari sudut pandang psikologi sastra, puisi ini menawarkan lebih dari sekedar keindahan kata-kata. Puisi Ini menyelimuti pembaca dalam lapisan simbolisme dan emosi yang memerlukan interpretasi  lebih dalam. Tujuan esai ini ditulis adalah mengungkap makna tersembunyi dari "Hujan Bulan Juni" dan mempertimbangkan unsur psikologis puisi ini dalam mengungkapkan kerinduan, keabadian, dan eksistensialisme.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bila menganalisis puisi ini, harus diakui bahwa Sapardi tidak hanya bermain-main dengan kata-kata, tetapi juga  jiwa dan emosi pembacanya. "Hujan Bulan Juni" dengan jelas menggambarkan kontras antara unsur-unsur alam yang tidak biasa, seperti hujan yang turun di bulan Juni, musim kemarau di Indonesia, dan secara simbolis mengekspresikan emosi manusia dan keadaan psikologis  yang penuh dengan disonansi dan kerinduan

"Tak ada yang lebih tabah

Dari hujan bulan Juni

Dirahasiakannya rintik rindunya

Kepada pohon berbunga itu."

Baris ini mengungkapkan sifat luar biasa dari hujan, yang sepertinya menyembunyikan kerinduannya.  Secara psikologis,  baris tersebut dapat dipahami sebagai metafora atas emosi manusia yang ada di balik permukaan ketabahan dan ketenangan. Hujan yang tidak seharusnya  turun di bulan Juni mengungkapkan konflik batin dan kerinduan yang tak terekspresikan, serta menciptakan gambaran seseorang yang berusaha sekuat tenaga menahan perasaannya.

Dalam perspektif psikologi sastra, puisi ini juga mencerminkan konflik batin yang sering dialami manusia ketika menghadapi situasi yang tidak sesuai dengan harapan atau norma. Namun, bukan hanya tentang konflik, tetapi juga tentang penerimaan terhadap keadaan tersebut. Hujan di bulan Juni dapat diinterpretasikan sebagai simbol dari ketidakpastian hidup yang diterima dengan ketabahan dan keikhlasan.

“Tak ada yang lebih bijak

Dari hujan bulan Juni

Dihapuskannya jejak-jejak kakinya

Yang ragu-ragu di jalan itu.”

Baris-baris ini memperlihatkan gambaran hujan pada bulan Juni yang dinilai bijak ketika menghapus langkah kakinya yang ragu-ragu. Hal ini mengisyaratkan adanya upaya untuk menghapus masa lalu dan keraguan yang pernah ada. Suatu proses menerima dan menghapus jejak-jejak emosi yang pernah menghantui kita. Dari sudut pandang psikologis, ini mewakili proses penyembuhan dan pemulihan dari trauma dan keraguan batin yang mendalam.

Puisi ini juga mengangkat tema eksistensialisme. Individu merenungkan makna keberadaannya dalam konteks alam dan kehidupan. Hujan  yang tidak sesuai musim di bulan Juni dapat disamakan dengan  refleksi diri, pemberontakan terhadap norma dan konvensi, serta mencari makna dalam ketidakpastian.

 "Tak ada yang lebih arif

Dari hujan bulan Juni

Dibiarkannya yang tak terucapkan

Diserap akar pohon bunga itu."

Baris terakhir ini menunjukkan kebijaksanaan  menerima dan menoleransi perihal yang tidak bisa dikatakan atau dijelaskan. Secara psikologis, hal ini mencerminkan keadaan ketika seseorang mencapai kedamaian batin dengan menerima ketidakmampuan untuk mengekspresikan emosi dan sensasi serta membiarkan alam untuk menyembuhkan.

Dalam “Hujan Bulan Juni”, Sapardi Djoko Damono mengajak pembaca menyelami emosi terdalam mereka dan dengan penuh pertimbangan menerima ketidakpastian hidup. Dari sudut pandang psikologi sastra, puisi ini menawarkan pelajaran berharga tentang ketahanan, penerimaan, dan refleksi diri. Ini menunjukkan perjalanan emosional manusia dalam menghadapi konflik dan kecemasan batin  serta menemukan kedamaian dalam prosesnya. “Hujan Bulan Juni” bukan hanya sebuah karya seni yang indah, namun merupakan cerminan kompleksitas jiwa manusia yang terus mencari makna dan hikmah di setiap tetes hujan.

Kritik ringkas ini diharapkan dapat memberikan wawasan yang mendalam bagi para pendidik dan pemerhati seni mengenai aspek psikologis  karya sastra, khususnya puisi “Hujan Bulan Juni” karya Sapardi Djoko Damono.

 

Daftar Pustaka

Damono, S. D. (1989). “Hujan Bulan Juni”. Jakarta: Grasindo.

Endraswara, S. (2008). “Metodologi Penelitian Sastra: Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi”. Yogyakarta: Pustaka Widyatama.

Nurgiyantoro, Burhan. 2013. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Ratna, N. K. (2005). “Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra”. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Wellek, R., & Warren, A. (1990). “Teori Kesusastraan” (Terj. Melani Budianta). Jakarta: Gramedia.

Bagikan Artikel Ini
img-content
#Cici prihartini

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler