Revolusi Cinta: Melawan Tradisi Perjodohan di Tanah Minang dalam Novel Bako

Senin, 22 Juli 2024 07:37 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Iklan

Tulisan ini berisi sinopsis singkat tentang pemberontakan terhadap tradisi perjodohan di tanah Minang dalam novel Bako karya Darman Moenir.

‘Bako’ adalah sebuah novel karya Darman Moenir yang diterbitkan pada tahun 1983. Darman Moenir adalah seorang sastrawan Indonesia yang berasal dari Sumatera dan bermukim di Padang. Lahir di Sawah Tengah, Batu Sangka, Sumatera Barat, pada 27 Juli 1952. Ia mulai menulis di usia 18 tahun. Giat menulis puisi, cerpen, novel, esei, dan mengerjakan terjemahan. Karyanya yang paling terkenal yaitu novel yang berjudul ‘Bako’. Selain terkenal, novel ‘Bako’ yang ditulis oleh Darman Moenir juga memenangkan Hadiah Utama Sayembara Mengarang Roman DKJ pada tahun 1980. Novel ini mengangkat isu tentang pemberontakan tokoh Ayah terhadap tradisi perjodohan di tanah Minang. Namun novel ini pun mengisahkan tentang realitas sosial dan berbagai situasi yang dialami oleh keluarganya.
 
Pemberontakan terhadap adat-istiadat di daerah Minangkabau terjadi karena adanya penolakan terhadap tradisi perjodohan yang ada di tanah Minang. Di mana seorang laki-laki harus menikah dan memiliki istri yang tinggal sekampung dengannya, hal tersebut merupakan tradisi turun-temurun dari generasi ke generasi pada sebuah keluarga di daerah tersebut. Pemberontakan yang dimaksudkan adalah perkawinan yang dilakukan oleh tokoh Ayah yang menikah dengan janda yang berasal dari kampung lain. Perbuatan seperti itu dianggap aib bagi seorang pemuda bujangan yang berasal dari Minangkabau, dalam lingkungan keluarga Bako (saudara atau sanak famili dari keluarga ayahnya).
Dalam novel ini diceritakan bahwa tokoh Ayah membawa pulang istrinya (Ibu) ke kampung halamannya, sehingga masyarakat sekitarnya menjadi heboh. Perbuatan tersebut tentunya melanggar adat-istiadat yang ada. Seharusnya, jika menolak perjodohan tersebut maka akan terjadi kawin paksa. Tetapi, tokoh Ayah tetap melanggar peraturan tersebut. Ia nekat menikahi perempuan pantai yang sudah menjanda itu bukan tanpa sebab, melainkan besarnya rasa sayang kepada perempuan itu. Ia hanya ingin menikah dengan perempuan yang ia cintai saja.
 
Perkawinan Ayah dengan Ibu melahirkan Tokoh Man yang menjadi tokoh utama dalam segala peristiwa yang ada. Tokoh Man diceritakan memiliki cacat fisik. sedari kecil ia mengalami keterlambatan pertumbuhan, dan baru bisa berjalan pada usia 2 tahun. Keluarga Man pada awalnya menganggap bahwa itu normal saja, pada akhirnya lambat laun mereka menyadari bahwa itu adalah cacat fisik yang dialami Man, ia hanya bisa berjalan dengan satu kaki saja.
 
Potret Kehidupan dalam Keluarga
Benturan antara adat dan modernitas:
Masyarakat setempat masih memegang erat struktur matrilineal dan aturan adat, tetapi tokoh Ayah berusaha melakukan pertentangan dan membuktikan bahwa aturan adat yang usang perlu ditinggalkan. Dalam novel tersebut diceritakan bahwa terdapat pemberontakan yang dilakukan oleh tokoh Ayah dengan menikahi perempuan pantai yang sudah menjanda. Tetapi pelanggaran adat yang ia lakukan mendapat banyak cibiran dari masyarakat setempat, masyarakat mempergunjingkan cacat cela itu secara berkepanjangan.
(Kutipan pada halaman 4)
“Membawa istri dan anaknya ke rumah orangtuanya, jelas merupakan cacat-cela yang diuji dan digunjingkan berkepanjangan. "Orang-kampung kita memang suka bergunjing," katanya. Aku adalah orang yang digunjingkan dari banyak segi. Kawin dengan perempuan dari pantailah. Membawa istri dan anak ke rumah orangtualah. Dan tidak mengacuhkan adat-istiadatlah. Macam-macam," ia melanjutkan.”
 
Perjuangan melawan adversitas:
Tokoh Man berusaha mengatasi keterbatasan fisik yang ia derita. Walaupun dengan keadaannya yang cacat, ia dapat membuktikan diri melalui pendidikan dan karir.
(Kutipan halaman 60)
"Sampai waktunya, aku tiba-tiba dikenal oleh teman-teman sebagai seorang penulis. Aku tidak tahu, apakah orang banyak juga telah membaca tulisan-tulisanku. Tapi dengan jalan menulis, ternyata aku mendapat keuntungan dalam meringankan beban biaya sekolah.”
 
Kesulitan ekonomi:
Keluarga Man bukanlah keluarga yang berkecukupan. Mereka hidup dengan sederhana dan alakadarnya, walaupun terkadang mereka mengalami kesulitan dalam keuangan yang pas-pasan, mereka tetap mengatur keuangan dengan sebaik mungkin supaya cukup untuk hari esok. Tokoh Ayah yang berperan sebagai kepala rumah tangga, ia selalu optimis dan bersabar dalam menerima takdir Tuhan.
(Kutipan halaman 60)
“Berada di perguruan tinggi, aku berusaha meringankan beban orangtua, terutama, dan apalagi kalau bukan segi pembiayaan.“
“Tapi dengan jalan menulis, ternyata aku mendapat keuntungan dalam meringankan beban biaya sekolah.”
 
Gangguan kejiwaan yang diderita Ibu:
Istri ayah (Ibu) menderita penyakit gangguan jiwa sebagai akibat lingkungan yang kurang bersahabat. Penyakit ini diderita setelah melahirkan anaknya yang pertama kemudian diberi nama Man.
(Kutipan pada halaman 12)
“Kupikir, adalah wajar sekali jikalau ibuku mengalami tekanan batin atau gangguan jiwa jikalau ketika baru saja bersuami dan dalam saat beranak kecil pula, lantas ditinggalkan suami, Betapa lagi jika ia tidak pula berada di kampungnya sendiri, melainkan hidup menumpang di rumah mertuanya.”
 
Novel ini mengajak kita merenungkan kompleksitas kehidupan manusia dalam menghadapi benturan antara tradisi dan perubahan. Melalui kisah keluarga Man, kita diajak untuk memahami bagaimana seseorang berjuang melawan stigma sosial, keterbatasan fisik, dan kesulitan ekonomi sambil tetap mencari identitas diri.
 

Bagikan Artikel Ini
img-content
Rina Zulvia

Mahasiswa aktif Program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler