Yang Pertama Kali Berkotek, Ia yang Bertelur
Kamis, 21 November 2024 23:16 WIB
Ungkapan ini menggambarkan sebuah kecenderungan manusia dalam situasi tertentu. Ketika ada masalah atau persoalan yang muncul, orang yang pertama kali bereaksi atau menyuarakan keberadaannya sering kali adalah pihak yang paling terlibat dalam masalah tersebut.
Pernahkah mendengar pepatah, "Yang pertama kali berkotek, ia yang bertelur"? Ungkapan ini menggambarkan sebuah kecenderungan manusia dalam situasi tertentu. Ketika ada masalah atau persoalan yang muncul, orang yang pertama kali bereaksi atau menyuarakan keberadaannya sering kali adalah pihak yang paling terlibat dalam masalah tersebut. Seperti ayam yang berkotek setelah bertelur, reaksi keras bisa menjadi petunjuk bahwa ia memiliki hubungan langsung dengan situasi itu.
Ungkapan ini memiliki logika tersendiri. Ketika ayam bertelur, setelahnya ia berkotek sebagai reaksi alami. Seolah memberi tahu dunia bahwa ia baru saja bertelur. Dalam konteks manusia, "berkotek" melambangkan reaksi keras atau pernyataan lantang yang muncul ketika ada masalah. Psikologi sosial menunjukkan bahwa reaksi seperti ini muncul karena dorongan untuk melindungi diri atau mengalihkan perhatian dari kesalahan atau keterlibatan pribadi dalam masalah tersebut.
Konsep ini erat kaitannya dengan proyeksi psikologis, teori yang dikemukakan oleh Sigmund Freud. Menurut Freud, proyeksi adalah mekanisme pertahanan ketika seseorang "memindahkan" perasaan, dorongan, atau kesalahan mereka sendiri kepada orang lain untuk mengurangi kecemasan. Ketika seseorang dengan keras menyalahkan atau memprotes, hal itu bisa menjadi tanda bahwa ia sebenarnya mencoba menyembunyikan perannya dalam situasi tersebut.
Teori ini juga relevan dengan Actor-Observer Bias dalam psikologi sosial. Harold Kelley, seorang psikolog terkenal, menjelaskan bahwa orang cenderung memberikan alasan situasional untuk kesalahan mereka sendiri, tetapi mengatributkan kesalahannya pada orang lain. Hal ini merupakan akibat dari karakter buruk atau kebencian mereka. Dengan kata lain, orang sering menyalahkan pihak lain untuk membangun citra positif bagi diri sendiri dan mendeskreditkan orang lain.
Reaksi keras sering kali dianggap sebagai upaya untuk mempertahankan kendali atas narasi yang dibangunnya sendiri. Carol Tavris dan Elliot Aronson dalam buku Mistakes Were Made (But Not by Me) menjelaskan bagaimana manusia secara naluriah mencoba membenarkan tindakannya, bahkan jika mereka bersalah. Seseorang yang merasa bersalah atau takut ketahuan mungkin akan berbicara lebih keras untuk membentuk opini publik sebelum fakta sebenarnya terungkap.
Pendapat ini didukung oleh teori Cognitive Dissonance dari Leon Festinger. Ketika seseorang merasa bersalah atau terlibat dalam sesuatu yang bertentangan dengan nilai-nilai, ia mengalami ketidaknyamanan psikologis. Untuk mengurangi rasa tidak nyaman ini, seseorang mungkin mengambil tindakan defensif, seperti menuding pihak lain, agar tampak dirinya tidak bersalah. Reaksi ini terlihat dari bagaimana seseorang bertindak berlebihan dalam situasi tertentu.
Sebuah studi di University of Amsterdam pada tahun 2018 menunjukkan bahwa orang yang merasa bersalah atau terlibat langsung dalam sebuah insiden cenderung menjadi yang pertama berbicara atau memberikan respons keras. Dalam eksperimen tersebut, partisipan yang tidak sengaja menyebabkan kerusakan pada alat cenderung menyalahkan orang lain terlebih dahulu saat situasi diinvestigasi.
Penelitian lain oleh tim dari Harvard Business School juga menemukan bahwa dalam situasi konflik kelompok, anggota yang paling terlibat dalam masalah sering kali adalah yang paling lantang dalam menyalahkan pihak lain. Hal ini bertujuan untuk mengalihkan perhatian atau mengontrol narasi.
Kasus korupsi sering kali menjadi contoh nyata dari pepatah ini. Seorang pejabat publik yang bersuara keras tentang antikorupsi bisa saja akhirnya terungkap sebagai pelaku utama korupsi. Reaksi awal mereka untuk menyuarakan transparansi mungkin adalah cara untuk menutupi jejak atau mengalihkan perhatian publik. Contoh seperti ini telah terjadi berulang kali di berbagai negara, termasuk Indonesia, yang mana retorika anti-korupsi sering digunakan sebagai tameng.
Di tempat kerja, situasi serupa juga terjadi. Misalnya, ketika sebuah proyek gagal, orang yang pertama kali menyalahkan anggota tim lain sering kali adalah orang yang sebenarnya bertanggung jawab atas kegagalan tersebut. Dengan berbicara lebih dulu, mereka berharap untuk menghindari perhatian terhadap kesalahan mereka sendiri.
Dalam hubungan sosial, orang yang menuduh teman lain menyebarkan gosip bisa jadi adalah orang yang membuat gosip tersebut. Tuduhan keras ini dilakukan untuk menciptakan citra bahwa mereka orang baik, sementara diam-diam menyembunyikan peran mereka yang sebenarnya.
Bagaimana seharusnya kita mnyikapinya? Berikut beberapa langkah yang bisa diambil: (1) Jangan langsung percaya, sebab reaksi keras bukan berarti kebenaran. Selalu perhatikan fakta dan bukti. (2) Ajukan pertanyaan kritis, tanyakan mengapa orang tersebut bereaksi seperti itu. Apakah ada yang dia sembunyikan? (3) Tetap netral, hindari memihak sebelum mendapatkan gambaran yang jelas. (4) Analisis pola perilaku, perhatikan apakah reaksi ini adalah pola yang berulang dari orang tersebut. (5) Periksa bukti objektif, fokus pada bukti yang dapat diverifikasi daripada emosi atau retorika seseorang.
Pepatah "Yang pertama kali berkotek, ia yang bertelur" tidak selalu berlaku. Dalam beberapa kasus, seseorang yang bersuara pertama mungkin hanya ingin memperingatkan atau menyuarakan kebenaran. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa ada banyak situasi ketika orang yang bereaksi keras adalah orang yang sebenarnya memiliki hubungan erat dengan masalah tersebut.
Sebagai masyarakat yang cerdas, penting untuk tidak langsung terpengaruh oleh suara yang paling lantang. Analisis yang baik, pengumpulan fakta, dan sikap kritis akan membantu kita mengungkap kebenaran.

Pelajar, model, dan atlet tinggal di Bandung, Jawa Barat. IG: satya_rabani
5 Pengikut

Dari Masa ke Masa: Bayang-bayang Kekuasaan dan Warisan Ketakutan
Kamis, 29 Mei 2025 07:33 WIB
Tuhan yang Dimatikan
Sabtu, 17 Mei 2025 19:44 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler