Tuhan yang Dimatikan

Sabtu, 17 Mei 2025 19:44 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Logika Metafisik dan Akal Matematis
Iklan

Kematian Tuhan dalam hati bukan fenomena metafisik semata. Ini mencerminkan kekosongan spiritual yang disengaja oleh manusia.

***

Dalam sejarah pemikiran manusia, Tuhan bukan sekadar konsep. Tuhan hadir sebagai pusat nilai, sumber moral, dan dasar hidup bermakna. Namun, dalam diri sebagian manusia, kehadiran itu seolah dilenyapkan. Bukan karena Tuhan tak ada, melainkan karena hati manusia menolaknya. Hati para penjahat, seperti koruptor dan pembunuh, menjadi tempat sunyi dari suara ilahi. Tuhan, dalam hati mereka, telah mati atau dimatikan secara sadar.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kematian Tuhan dalam hati bukan fenomena metafisik semata. Ini mencerminkan kekosongan spiritual yang disengaja oleh manusia. Ketika seseorang mencuri, membunuh, atau menipu, ia memutus tali batin dengan nilai kebenaran. Bukan hanya hukum dunia yang dilanggar, tetapi hukum batin yang lebih hakiki. Ia mengusir suara nurani, membungkam suara yang mengingatkan. Dalam kesunyian moral itu, ia menjadi pusat semesta bagi dirinya sendiri.

Para filsuf sepanjang zaman menyadari bahaya nihilisme moral. Jika tidak ada yang lebih tinggi dari manusia, semua menjadi sah. Moral hanya dianggap buatan, bukan kebenaran yang harus ditaati. Maka penjahat merasa bebas melanggar aturan demi kepuasan pribadi. Ia menjadikan dirinya tuhan bagi hidupnya sendiri. Ia tidak lagi takut pada penghakiman, baik dari manusia maupun dari yang transenden.

Dalam teologi klasik, hati manusia dilihat sebagai tempat tinggal ilahi. Ketika hati itu dipenuhi cinta, kebenaran, dan belas kasih, Tuhan hadir di sana. Namun ketika hati dipenuhi nafsu, kebencian, dan tipu daya, ruang itu menjadi gelap. Tuhan tidak lagi didengarkan, bahkan disangkal keberadaannya dalam tindakan. Bukan karena Tuhan tak berkuasa, tetapi karena manusia bebas menolak-Nya.

Koruptor yang mengambil uang publik bukan hanya mencuri. Ia merampas harapan, merusak kepercayaan, dan menanam luka sosial. Dalam dirinya, Tuhan telah dimarginalkan demi kepentingan pribadi. Hati nurani diputarbalikkan menjadi alat pembenaran. Apa yang jahat dianggap wajar, apa yang curang dianggap pintar. Kebusukan diselimuti dengan simbol-simbol suci agar tampak layak.

Pembunuh yang mencabut nyawa orang lain telah menolak kemuliaan hidup. Ia memperlakukan sesama bukan sebagai pribadi, tapi sebagai objek. Hati yang menolak Tuhan kehilangan rasa iba dan kasih. Kekerasan menjadi jalan yang dianggap sah. Ia melupakan bahwa setiap kehidupan adalah pantulan dari yang Mahahidup. Maka tindakan keji bukan hanya kejahatan sosial, tapi juga pengkhianatan spiritual.

Penjahat seksual dan pemfitnah mengotori martabat sesama. Mereka menggunakan tubuh dan kata-kata untuk melukai. Dalam tindakan mereka, nilai-nilai suci dihancurkan. Hasrat menggantikan hormat, kebohongan menggantikan kejujuran. Tuhan tidak lagi menjadi penuntun, tetapi penghalang yang harus disingkirkan. Mereka memilih membungkam suara hati agar bisa berbuat tanpa rasa bersalah.

Dalam pemikiran eksistensial, manusia bebas menentukan hidupnya. Tapi kebebasan itu bukan tanpa tanggung jawab. Saat kebebasan digunakan untuk merusak, itu menjadi bentuk penyangkalan terhadap nilai-nilai tertinggi. Maka para penjahat tak sekadar melanggar hukum, tetapi sedang menegaskan bahwa kebaikan tidak penting. Mereka hidup dalam dunia tanpa cahaya, tanpa arah, tanpa Tuhan.

Sebagian orang berdalih bahwa kejahatan muncul karena keadaan. Lingkungan keras, pendidikan rendah, atau trauma masa lalu dijadikan alasan. Namun, hati yang memilih berbuat jahat tetap memikul tanggung jawab. Karena ada pula orang yang tumbuh dalam luka, namun memilih setia pada kebaikan. Bedanya terletak pada sikap hati, bukan nasib. Ketika hati terus mencari terang, Tuhan tetap hadir.

Teologi menegaskan bahwa Tuhan tidak pernah benar-benar mati. Ia hadir dalam setiap desah kebaikan dan kasih. Namun manusia bisa menutup diri dari kehadiran itu. Seperti jendela yang ditutup rapat dari cahaya. Maka Tuhan tidak lagi tampak, bukan karena Ia hilang, tapi karena manusia membutakan diri. Dalam ruang batin yang tertutup, suara Tuhan hanya jadi gema yang diabaikan.

Tantangan terbesar manusia bukanlah kekurangan pengetahuan, melainkan kekeringan hati. Ketika logika dilepaskan dari kebijaksanaan, maka kejahatan bisa dibenarkan secara rasional. Penjahat menjadi pintar merancang, tapi miskin rasa belas kasih. Dunia menjadi canggih tapi dingin. Maka filsafat dan teologi harus kembali bersuara. Menyadarkan bahwa hati manusia bukan ruang kosong, tapi tempat perjumpaan dengan yang ilahi.

Harapan belum mati, selama hati belum sepenuhnya membatu. Bahkan dalam diri penjahat, ada kemungkinan untuk bertobat. Tuhan tidak pernah benar-benar pergi, Ia hanya diam menunggu pintu dibuka kembali. Namun pertobatan bukan sekadar rasa bersalah, melainkan perubahan hati yang sungguh. Dalam pertobatan sejati, Tuhan yang dimatikan akan dihidupkan kembali. Dan hati yang gelap akan bersinar terang.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Fabian Satya Rabani

Pelajar, model, dan atlet tinggal di Bandung, Jawa Barat. IG: satya_rabani

5 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler