Konsep Vox Populi Vox Dei versus Buzer Politik

Jumat, 29 November 2024 20:22 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Tiba-tiba Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri bicara soal Vox populi, vox Dei. Apakah krisis kepercayaan terhadap pemerintah kian kuat?

Ungkapan vox populi, vox dei pertama kali dikenal dalam sejarah melalui seorang sarjana dan guru asal Saxon, Alcuin dari York (735-804). Dalam sebuah surat kepada Maharaja Charlemagne pada akhir abad ke-8, Alcuin memperingatkan agar tidak terpengaruh oleh mereka yang menggunakan ungkapan ini untuk mendukung gerakan demokrasi yang dianggap mengancam kekuasaan kerajaan.

Vox populi, vox Dei adalah ungkapan Latin yang berarti “suara rakyat adalah suara Tuhan.” Ungkapan ini sering digunakan untuk menggambarkan ide bahwa kehendak mayoritas rakyat mencerminkan kehendak ilahi atau memiliki kekuatan moral yang harus dihormati oleh penguasa. Frasa ini menjadi simbol penting dalam menggambarkan kekuatan aspirasi publik dalam mempengaruhi kebijakan dan keputusan politik. Pengaruh besar frasa ini menempatkan kehendak mayoritas rakyat sebagai elemen kunci dalam pengambilan keputusan politik dan sosial, yang kemudian membentuk pandangan baru tentang kehidupan bersama dalam konteks berbangsa dan bernegara.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dalam sistem demokrasi seperti di Indonesia, opini publik menjadi bagian penting dari proses politik. Isu-isu yang hangat diperbincangkan dalam opini publik seharusnya mendapat perhatian serius dari para wakil rakyat.

Kondisi sosial di Indonesia saat ini menunjukkan kemiripan dengan situasi yang melahirkan gagasan “Vox Populi, Vox Dei”. Krisis kepercayaan terhadap pemerintah dan praktik politik yang penuh dengan janji-janji kosong dan korupsi, membuat suara rakyat menjadi semakin penting. Aksi-aksi massa yang terjadi baru-baru ini menandakan bahwa rakyat tidak lagi merasa diwakili oleh para wakilnya di pemerintahan. Pada titik ini, suara rakyat diperlukan untuk menunjukkan pengaruh besar yang dapat membangun gerakan massa.

Di tengah situasi bangsa Indonesia saat ini, yang sedang mengalami krisis kepercayaan terhadap pemerintah, ungkapan ini kembali relevan. Perilaku para pejabat negara yang dirasa tidak lagi mewakili suara rakyat, menggambarkan betapa pentingnya suara rakyat untuk tetap menjadi landasan utama dalam pengambilan keputusan politik.

Saat ini masih banyak buzzer politik yang mencoba memecah opini publik dengan tujuan menghambat proses politik yang sehat. Ini adalah bagian dari permainan politik elit yang tidak beretika, yang hanya mementingkan keuntungan pribadi. Untuk melawannya, kita harus membangun narasi politik yang lebih besar, yang mempertahankan etika dan martabat dalam politik.

Kunci untuk membangun publik yang sadar dan aktif dalam proses politik adalah Komunikasi politik yang sehat. Dalam era digital, kita dapat membangun narasi bersama melalui media, menciptakan gelombang massa tanpa harus bertemu secara fisik. Dengan demikian, suara rakyat tetap menjadi suara Tuhan, dan suara netizen pun dapat menjadi suara Tuhan dalam konteks modern.

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler