Konsep Slow Living untuk Siswa, Pertahanan Mengahadapi Zaman Instan

Kamis, 2 Januari 2025 07:04 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Refleksi akhir tahun pekerja
Iklan

Slow living perlu diperkenalkan kepada siswa agar ia tidak larut pada gaya hidup serba cepat, instan, namun rapuh, dan tidak mampu menghadapi tuntutan zaman.

***

Diakui, generasi strawberry patut disematkan pada gen Z. Di tahun 2024 lalu, tercatat ada siswa yang mengakhiri hidupnya karena sakit hati akibat gagal dalam percintaan. Ada juga karena tidak menerima nasihat orang tuanya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Mereka tidak kuat dengan dunia yang dihadapi. Di perguruan tinggi pun tidak jauh berbeda. Ada mahasiswa bunuh diri karena tekanan perkuliahan, selain tidak kuat karena perundungan. 

Kejadian ini perlu menjadi refleksi pemangku kebijakan dalam merumuskan kurikulum dan program yang tepat untuk menumbuhkan resiliensi dalam siswa. Tidak perlu membuat perbandingan, seperti generasi lalu lebih tangguh karena serba manual, berbeda dengan generasi sekarang yang lahir dan besar bersama dunia digital (digital native). Namun perlu berpikir panjang dengan menanamkan gaya hidup slow living untuk mengurangi tekanan hidup (burnout) yang bagi mereka sulit diantisipasi. 

Kurikulum Slow Living

Revolusi industri 4.0 berdampak pada semakin cepat dan instannya arus informasi dan tuntutan penyelesaian permintaan pelanggan. Jika dulu, untuk memesan tiket, pelanggan perlu pergi ke pihak ketiga untuk mendapatkan tiket yang dipesan, atau datang lebih pagi ke stasiun untuk mengambil antrian. Sekarang, tinggal membuka gadget, memesan tiket yang tersedia, selesai.

Kita akan mengeluh bila layanan aplikasi tersebut lambat menindaklanjuti permintaan pelanggan. Kita akan “berisik” dan mengeluhkan di berbagai macam media sosial yang akhirnya sampai pada pimpinan perusahaan tersebut. 

Tuntutan serba cepat dan besar ini berdampak pula pada pendidikan. Siswa mendapatkan banyak informasi dari media sosial. Pada media sosial itu, tidak sedikit perundungan terjadi. Masalah pribadi siswa dibawa ke ranah publik. Dampaknya semakin berat bagi siswa tersebut. sehingga mengakhiri hidup jadi pilihan berdasar informasi yang ia peroleh dari luar negeri.

Era Volatility (ketidakstabilan), Uncertainty (ketidaktentuan), Complexity (kerumitan) dan Ambiguity (kemenduaan) disingkat VUCA tengah dihadapi di abad 21 ini. Zaman VUCA ini perlu direspon dengan antitesisnya, yaitu slow living. Konsep ini perlu diperkenalkan kepada siswa, bagaimana merayakan proses pembelajaran secara lambat, tidak instan, untuk mencapai hasil yang diharapkan.

Slow living menekankan aspek proses pada setiap perbuatan yang dilakukan. Misal, untuk membuat masakan, ia diawali dari proses menanam, memanen, lalu memasaknya. Berbeda dengan fast living yang dapat melewati seluruh proses tersebut tersebut.

Dari perspektif keefektivitasan, dapat disebut lama dan lambat. Bahkan bisa disebut kita akan mati kelaparan saat untuk makan harus menanam terlebih dahulu yang pastinya membutuhkan banyak waktu untuk menunggu. Tentu saja, pendapat tersebut berterima.

Slow living ini perlu didekati dengan perspektif menikmati proses. Seluruh tahapan awal hingga akhir inilah yang menjadi seni yang dirayakan. Bisa jadi membosankan karena prosesnya lama dan kita tidak terbiasa menunggu. Namun sejatinya, tanpa disadari, kita tengah belajar bersabar dan menikmati proses tersebut. Di sinilah resiliensi atau daya juang ditumbuhkan. 

Dalam konteks pembelajaran, laboratorium sekolah kehilangan makna saat pembelajaran eksperimen dilakukan secara digital. Siswa cukup mengobservasi hasil yang sudah tersedia. Tidak jarang, hasilnya pun berbentuk digital.

Jikapun eksperimen dilakukan secara bersama-sama, langkah demi langkah, bahan-bahan yang diperlukan telah tersedia di sekolah. Salah satu alasannya keterbatasan waktu yang tersedia disebabkan banyaknya materi pembelajaran yang didesain dalam kurikulum. Ini penyebab pembelajaran akhirnya mengejar ketuntasan materi seperti sutradara sinetron dikejar tenggat kejar tayang.

Aktivitas pembelajaran tidak ternikmati dan siswa berada pada tekanan (under pressure). Resiliensi berbasis tekanan cenderung membawa siswa pada kelelahan fisik dan mental (burnout). Padahal sekolah seharusnya menciptakan kondisi lingkungan pembelajaran yang menyenangkan (school wellbeings). Jauh dari kondisi yang menekan fisik dan mental.

Desain kurikulum dengan capaian pembelajaran yang saat ini dirilis pemerintah dapat diturunkan di tingkat satuan pendidikan secara lentur dan disesuaikan dengan kebutuhan siswa. Sehingga guru dapat mendesain pembelajaran secara mendalam (deep learning), belajar diselaraskan dengan empat pilar belajar ala UNESCO, learning to know (belajar mengetahui), learning to do (belajar melakukan), learning to be (belajar menjadi), dan learning to live together (belajar untuk hidup bersama). Bukan belajar untuk ujian tulis (learning for testing) atau supaya diterima masuk perguruan tinggi ternama, yang pada titik tertentu mempersempit makna belajar dan juga mengakibatkan siswa burnout, alih-alih memiliki resiliensi.

Penerapan pembelajaran terdiferensiasi (differentiated instruction) dapat dilakukan secara tepat oleh guru dengan memberikan kebebasan siswa untuk memilih “produk” hasil belajar yang dapat dijadikan bukti (evidence) penilaian. Guru dapat menggunakan penilaian portofolio untuk mengukur sejauh mana kemajuan siswa dalam pembelajaran.

Guru sebagai teladan dapat memilih media pembelajaran yang tidak melulu berbasis digital, seperti powerpoint atau multi moda lainnya. Ia dapat memanfaatkan bahan yang tersedia di alam, dirangkai secara perlahan dan dihadirkan sebagai media pembelajaran di dalam kelas. Resiliensi pun harus diajarkan dan contohkan oleh guru kepada siswanya dalam persiapan dan proses pembelajaran. Sehingga resiliensi tidak terperangkap menjadi sekadar wacana “omon-omon”, namun disadari dan dipraktekkan oleh siswa selama pembelajaran.

Mencapai Wisdom

Kesepakatan dapat diterapkan antara guru dan siswa untuk menghindari tenggat waktu atau pengumpulan tugas yang mendadak. Guru memberikan lini masa di awal pembelajaran untuk memperlihatkan apa saja yang akan dipelajari dan kapan pembelajaran tersebut akan selesai termasuk di dalamnya tagihan dan penilaian. Semua kegiatan pembelajaran diupayakan terencana dan terinformasikan dengan jelas kepada siswa. Bahwa dalam prakteknya terdapat penyesuaian, guru meminta kesepakatan kembali kepada siswa. 

Menikmati setiap langkah dan proses pembelajaran, meski lambat dan tidak instan, secara bertahap menumbuhkan resiliensi pada siswa. Kesabaran mengikuti alur. Terkadang ia temukan kegagalan, lalu ia memulai kembali, dengan diselingi refleksi, ia akan mendapatkan buah dari  pembelajaran tersebut, yaitu kebijaksanaan (wisdom). Hasil belajar ini yang sekarang terlewatkan. Lebih terfokus pada ijazah, dan gelar akademik, sementara sedikit lulusan baik dari tingkat dasar hingga tinggi yang memperoleh kebijaksanaan dari hasil belajarnya. Bijaksana inilah menjadi pilar warga negara yang beradab (civilized citizen) sebagai hasil (outcome) pendidikan.

Slow living mengajarkan pada siswa untuk hadir (presence) seutuhnya dalam pembelajaran. Karena pembelajaran berprinsip slow living ini didesain secara perlahan, tidak instan, dan tidak tergesa-gesa, siswa dapat dilatih keterampilan mindfulness atau hadir seutuhnya. Ia belajar fokus hanya pada satu pembelajaran. Tidak terpecah konsentrasi karena ada tugas atau pekerjaan lain yang harus ia selesaikan di saat yang sama. Biasanya, siswa terpecah fokusnya saat ia belum menyelesaikan tugas yang diberikan guru mata pelajaran lain. Ia mencuri-curi waktu sambil mengikuti pembelajaran, ia menyelesaikan tugas tersebut. Seluruh guru perlu menyepakati untuk tidak memberikan pekerjaan rumah kepada siswa. Seluruh pembelajaran dikerjakan dan dihabiskan seluruhnya pada kegiatan pembelajaran. Adapun di rumah, siswa cukup diberikan kesempatan untuk menuliskan hasil refleksi pembelajaran yang ia dapat pada hari tersebut.

Mindfulness ini secara simultan melatih fokus siswa. Ia dapat menangani gangguan di sekitarnya dengan teknik meditasi, ice breaking. Guru secara bersama-sama mempraktikkan tahapan berhenti (stop), mengambil nafas (take breath), mengamati (observe) dan melanjutkan aktivitas (proceed). Melatih mindfulness ini dapat melatih siswa tenang menghadapi situasi yang tidak terprediksi, berubah cepat dan tidak sesuai dengan yang diharapkan. Siswa dapat mengendalikan emosinya saat berhadapan dengan situasi tersebut. 

Resiliensi ditumbuhkan dengan kesadaran bahwa seluruh aktivitas pembelajaran yang dilakukan patut dirayakan. Menikmati proses pembelajaran yang dilakukan merupakan langkah awal untuk mencapai tujuan yang menyenangkan. Menghindari gangguan dari gadget saat pembelajaran dan menitikberatkan pada kegiatan yang berbasis manual, bukan digital, akan melarutkan siswa dalam proses pembelajaran yang kolaboratif, hadir seutuhnya, dan tentunya bermakna. Guru di akhir pembelajaran memimpin siswa melakukan refleksi agar kebijaksanaan sebagai buah pembelajaran dapat dipetik dengan baik oleh siswa. 

Dengan pembelajaran slow living ini, generasi Z tidak akan diibaratkan sebagai buah strawberry yang rapuh, namun menjadi manusia tangguh dan bijaksana sebagai hasil pembelajaran yang bermakna. Semoga!



Bagikan Artikel Ini
img-content
Denny Kodrat

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

img-content

Guru Oemar Bakrie dan Mimpi Merdeka Finansial

Kamis, 28 Agustus 2025 09:03 WIB
img-content

Mindfulness dalam Pembelajaran Mendalam

Senin, 3 Maret 2025 08:41 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler