Melintasi batas yang tak bisa dijangkau suara
Tangis Anak Tanah Leluhur
Sabtu, 1 Februari 2025 19:17 WIB
Sebuah kampung adat yang diguncang oleh kedatangan ekskavator dan tentara yang merusak hutan untuk proyek pertanian besar-besaran.
***
Pagi yang muram menyelimuti Kampung Kaimana. Angin laut membawa aroma garam yang menyapu padang ilalang yang luas. Dari kejauhan, terdengar gemuruh mesin, semakin lama semakin dekat. Tak lama kemudian, tongkang-tongkang besar merapat ke dermaga kecil, membawa ratusan eskavator dan buldoser. Di belakangnya, truk-truk berisi pasukan berseragam loreng berdiri tegak, senjata mereka mengkilat. Mata mereka tajam, mengamati sekitar, seakan memasuki zona perang.
Di tengah hutan, Petrus Lema dan adiknya, Yohanis, tengah sibuk memotong batang sagu. Mereka telah bekerja, mengupas kulit pohon, membelah batangnya, lalu menumbuk empulur sagu untuk mengeluarkan patinya. Serpihan batang itu kemudian mereka campur dengan air, menyaringnya hingga tersisa pati yang akan diolah menjadi bahan pangan sehari-hari.
Tiba-tiba, suara gemuruh keras mengguncang tanah. Getarannya terasa di telapak kaki mereka. Keduanya saling berpandangan sebelum berlari untuk melihat apa yang terjadi. Dari arah barat, ekskavator dan buldoser raksasa muncul, merobohkan pohon-pohon tanpa ampun.
Dengan sigap, Petrus menghadang alat berat itu sambil mengacungkan sebilah parang yang biasa ia gunakan untuk memotong sagu. Seluruh operator ekskavator tampak ragu, mesin-mesin besar itu perlahan berhenti. Salah satu operator menoleh, memberi isyarat kepada truk tentara yang terparkir di kejauhan, menunggu perintah.
Sopir truk kemudian membisikkan sesuatu kepada penumpang di sebelahnya, memberi tahu bahwa semua ekskavator berhenti bekerja. Mendengar itu, penumpang tersebut—Letkol Darius, komandan yang ditugaskan dari pusat untuk mengawal ekskavator di Kampung Kaimana—segera membuka matanya. Wajahnya tegas, penuh kewaspadaan. Tanpa ragu, ia turun dari truk dan melangkah menuju ke sumber ketegangan.
"Apa yang kalian lakukan di tanah kami?" teriak Petrus dengan suara bergetar.
Letkol Darius menatapnya datar. "Kami bukan datang untuk mengancam, tapi menjalankan tugas negara untuk membantu membuka lahan pertanian. Siapa lagi yang akan mendorong pembangunan ini, kalau bukan kami?"
Petrus menggigit bibirnya, menahan diri. "Tapi kami tidak membutuhkan bantuan kalian. Kami mampu mengelola tanah leluhur kami sendiri!"
Letkol Darius tersenyum sinis. "Ini proyek negara, anak muda. Tidak ada yang boleh menghalanginya."
Petrus terdiam, tangannya masih menggenggam parang dengan erat, meskipun matanya telah memerah dan berkaca-kaca menahan amarah. Namun, ia tahu bahwa walaupun melawan, dirinya hanya seorang diri. Kejadian hari ini hanyalah permulaan dari sesuatu yang lebih besar dan lebih mengerikan.
Beberapa bulan yang lalu, pemerintah pusat mengumumkan proyek besar: pembangunan lahan pertanian raksasa di daerah itu. Ribuan hektar hutan adat akan diubah menjadi ladang pangan, perkebunan tebu, dan bioetanol. Proyek ini, menurut mereka, akan membawa kemakmuran. Namun, sejak tongkang-tongkang besar itu merapat ke dermaga, masyarakat Kampung Kaimana tidak pernah diberi tahu.
Petrus menegakkan tubuhnya, ketegangan semakin terasa. Ia kemudian meraih tangan Yohanis yang ketakutan melihat serdadu berseragam loreng yang mulai mendekat. Mereka berdua akhirnya berlari pulang menuju ke kampung.
Di perjalanan, mereka bertemu dengan Romo Simon yang sedang berjalan menuju gereja. Romo Simon kemudian berhenti melihat Petrus yang tampak terengah-engah dan bertanya, "Petrus, apa yang sedang terjadi? Kenapa kalian berlari?" tanya Romo Simon dengan wajah serius.
"Romo, tanah kita sudah dihancurkan! Ekskavator masuk ke hutan," jawab Petrus, suaranya penuh kecemasan.
Romo Simon mengangguk pelan, lalu menepuk bahu Petrus. "Kita akan menghadapi ini bersama."
Setelah membantu Petrus membawa Yohanis ke rumah mereka, Romo Simon segera menuju gereja. Ia membunyikan lonceng, suaranya menggema di seluruh kampung. Masyarakat mulai berdatangan, meski sebagian masih bingung. Beberapa sedang bekerja di ladang dan mengurus ternak. Ibu-ibu yang sedang menyiapkan makan siang terhenti, dan anak-anak yang tengah bermain berlari tergopoh-gopoh menuju gereja. Mereka heran melihat ekskavator dan buldoser memasuki kampung, menumbangkan pohon-pohon yang mereka jaga selama ini.
Seorang pemuda yang baru saja menggembala kerbau berlari ke gereja. "Romo, ada apa ini? Apa yang mereka lakukan di tanah kita?"
Seorang ibu yang sedang menggendong anaknya menoleh. Melihat ekskavator merusak kebun miliknya, ia bertanya penuh kebingungan, "Kenapa mereka datang ke sini? Tanah ini milik kami, bukan milik mereka!"
Romo Simon hanya bisa mengajak orang-orang tersebut masuk ke dalam gereja. Di sana, seluruh warga berkumpul. Romo Simon berdiri di depan jemaat, wajahnya penuh harapan. "Saudara-saudaraku," katanya dengan suara yang bergetar, "Mereka datang untuk mengambil tanah kita. Apa yang akan kita lakukan?"
Beberapa orang langsung menanggapi dengan tegas, "Kita harus melawan! Ini tanah kita!" seru seorang pemuda.
Namun, sebagian merasa takut. "Mereka tentara, Romo. Bagaimana kalau mereka membalas?" bisik seorang ibu, wajahnya pucat.
"Tapi tanah ini bukan hanya tempat tinggal kita," suara Romo Simon menggema di antara bangku-bangku kayu gereja. "Tanah ini adalah ibu kita, jiwa kita. Kita bukan hanya kehilangan rumah, kita kehilangan identitas, sejarah. Apakah kita akan diam saja?"
Siang itu, gereja kecil itu menjadi saksi perdebatan panjang antara ketakutan dan keberanian.
Keesokan harinya, Romo Simon berusaha menemui perwakilan pemerintah di kantor distrik. Namun, pertemuan itu berakhir dengan perdebatan sengit. "Ini proyek negara, Romo. Kami harus mendukungnya. Proyek ini akan membawa kesejahteraan bagi semua. Lapangan pekerjaan akan terbuka, ekonomi daerah akan berkembang," kata pejabat itu dengan percaya diri. "Kalian harus beradaptasi dengan perubahan."
"Tapi perubahan macam apa?" balas Romo Simon, suaranya gemetar. "Tanah kami diambil, hutan kami dihancurkan. Bagaimana kami bisa hidup tanpa tanah kami?"
"Anda harus realistis," kata pejabat itu dengan tegas. "Tidak ada yang bisa menghentikan ini."
Romo Simon keluar dari ruangan itu dengan dada sesak, perasaan putus asa menguasai dirinya. Namun, ia belum tahu bahwa di kampungnya, sesuatu sedang terjadi.
Ketika Romo Simon kembali ke kampung, ia dikejutkan oleh pemandangan di dalam gereja. Anak-anak muda telah berkumpul, bersama aktivis lingkungan dari kota. "Kami akan membantu, Romo," kata salah seorang aktivis. "Kami akan menyebarkan berita, mencari dukungan. Ini bukan hanya perjuangan kalian, ini perjuangan untuk semua orang yang mencintai tanah ini."
Romo menatap mereka satu per satu, harapan kembali tumbuh di hatinya. Mungkin masih ada kesempatan untuk menyelamatkan tanah leluhur mereka.
Namun, hari demi hari, jumlah tentara semakin bertambah. "Seolah-olah mereka sedang bersiap untuk perang," kata Romo Simon, menghela napas panjang, menatap kampung yang kini dipenuhi pos-pos militer. "Tentara mereka lebih banyak daripada kami. Kalau begini terus, kami akan terusir. Kami akan tercerabut dari akar kami sendiri."
Tetapi para aktivis meyakinkan Romo untuk terus mengonsolidasikan massa, mempersiapkan perlawanan besar-besaran.
Beberapa bulan kemudian, di tengah terik matahari yang semakin menyengat, kelompok masyarakat adat yang dipimpin oleh Romo Simon berdiri tegak di depan kantor pemerintah distrik, seolah menjadi benteng terakhir bagi tanah leluhur.
Mereka datang bukan hanya untuk menyuarakan hak, tapi untuk mempertahankan kehidupan yang telah turun-temurun terjalin dengan alam. Spanduk-spanduk berkibar tinggi, melawan angin yang mulai mengeringkan keringat perjuangan mereka.
Mama Lani, seorang perempuan tua, berdiri dengan suara lantang. "Kami tidak meminta lebih. Kami hanya ingin hak kami dihormati. Tanah ini adalah rumah kami. Kami tidak bisa hidup tanpa tanah kami!" Suaranya bergema di udara, menantang keangkuhan kekuasaan yang menganggap mereka tak lebih dari seonggok tanah yang bisa dibeli dan dijual.
Sekelompok warga adat lainnya mengikuti jejak Mama Lani, mengarak spanduk dan mengeluarkan pekikan perjuangan. Mereka kemudian menuju kampung, tempat mereka dilahirkan. Di sana, di bawah naungan hutan yang telah mereka rawat, ada sebuah kenyataan pahit yang harus dihadapi.
Ekskavator dan buldoser sudah setengah jalan menumbangkan pohon-pohon besar yang telah tumbuh sejak zaman leluhur mereka. Suara gemuruh mesin yang merobek tanah itu seperti dentuman guntur yang mengingatkan mereka akan ancaman yang semakin dekat.
Mata mereka tak bisa lagi menahan amarah. Dengan berani, mereka berdiri di depan ekskavator, berpegangan tangan, menolak mundur. Tentara bersiaga, mata mereka dingin, menunggu perintah yang bisa mengubah segalanya menjadi tragedi.
Romo Simon berdiri di garis depan. "Kalau kau ingin ambil tanah kami, kau harus melindas tubuh kami dulu!" air matanya jatuh, membasahi tanah leluhur. Semua mata berkaca-kaca, tak sanggup melihat penderitaan yang mereka alami.
Letkol Darius muncul dari barisan tentara yang bersiaga. Wajahnya tanpa ekspresi. Ia mendekat ke massa aksi, langkahnya berat, dengan perintah yang sudah lama ditunggu. "Mundur," ujarnya.
Namun, tidak ada yang bergerak. Seperti batu karang yang tak tergoyahkan oleh gelombang, mereka tetap berdiri, tegak di atas tanah yang kini menjadi saksi bisu perjuangan mereka.
Angin kencang bertiup, membawa debu dan daun kering yang terbang berputar-putar di udara, seakan ikut merasakan ketegangan yang semakin mencekam. Langit yang semula cerah mulai berubah gelap, menandakan bahwa bumi dan langit mulai bersatu dalam penderitaan.
Di tengah kebisuan itu, Romo Simon menatap Letkol Darius dengan mata yang penuh harapan dan keberanian. "Jika kau menindas kami, kau tak hanya menindas tanah kami, tapi juga masa depan anak cucu kami. Kami bukan musuhmu, kami hanya ingin hidup damai dengan tanah kami."
Letkol Darius terdiam. Tangan yang semula siap memberi perintah, kini terasa berat. Namun, ia tahu, jika ia memberi perintah untuk maju, tragedi akan menanti. Sebuah pilihan sulit yang hanya bisa diambil oleh mereka yang tahu apa artinya sebuah tanah, sebuah rumah yang tak bisa dipisahkan dari jiwa.

Penulis Indonesiana
3 Pengikut

Digitalisasi Kehidupan: Privasi, Kriminalisasi, & Konten Negatif Media Sosial
Minggu, 10 Agustus 2025 21:23 WIB
Belajar Sambil Bekerja, Berpikir Sambil Bergerak
Senin, 28 Juli 2025 12:57 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler