Pedagogi Nasional; Revolusi Pragmatis Menuju Nilai

Jumat, 21 Februari 2025 13:07 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Gambar 1. (R)evolusi Teknologi dan Pedagogi Pendidikan Jarak Jauh
Iklan

Perjalanan pendidikan nasional telah menapaki jejak panjang transformasi sejak masa perjuangan kemerdekaan hingga era digital.

***

Perjalanan pendidikan nasional Indonesia telah menapaki jejak panjang transformasi sejak masa perjuangan kemerdekaan hingga era digital kontemporer. Idealisme pendidikan yang menjadi ruh dari sistem pedagogi nasional senantiasa berhadapan dengan tantangan pragmatis yang menuntut adaptasi berkelanjutan. Dalam dialektika antara cita-cita luhur dan realitas lapangan, reformulasi pendekatan pendidikan yang berorientasi pada nilai integritas menjadi kebutuhan mendesak bagi kemajuan bangsa.

Akar historis idealisme pendidikan Indonesia dapat ditelusuri dari pemikiran para founding fathers yang meletakkan fondasi filosofis bagi sistem pendidikan nasional. Ki Hajar Dewantara dengan konsep Tri Pusat Pendidikan dan semboyan "Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani" telah menggariskan kerangka pedagogis yang mengedepankan keseimbangan antara intelektualitas dan pembentukan karakter. Demikian pula pemikiran Mohammad Hatta yang menekankan pendidikan sebagai instrumen pembebasan dan pemberdayaan masyarakat dari belenggu kolonialisme dan keterbelakangan. Idealisme awal ini mencerminkan visi pendidikan sebagai wahana transformasi sosial yang holistik, melampaui transfer pengetahuan semata.

Dalam perkembangannya, idealisme pendidikan nasional mengalami kristalisasi melalui rumusan tujuan pendidikan yang tertuang dalam berbagai produk legislasi. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional secara eksplisit menempatkan pembentukan manusia Indonesia seutuhnya—cerdas secara intelektual, spiritual, emosional, dan sosial—sebagai orientasi fundamental. Formulasi ini mencerminkan aspirasi kolektif akan model pendidikan yang tidak sekadar melahirkan tenaga kerja terampil, tetapi juga warga negara yang berkarakter dan berkontribusi secara bermakna bagi kehidupan berbangsa.

Namun, perjalanan implementasi idealisme tersebut menghadapi berbagai kontradiksi pragmatis. Dinamika sosial, politik, ekonomi, dan teknologi yang bergerak dengan akselerasi tinggi seringkali menciptakan kesenjangan antara cita-cita normatif dengan praktik pendidikan di lapangan. Obsesi terhadap standarisasi, pengukuran kuantitatif, dan formalisme administratif dalam banyak kasus justru menggerus esensi pendidikan sebagai proses humanisasi. Pragmatisme pasar yang mereduksi pendidikan menjadi komoditas dan siswa sebagai konsumen semakin menjauhkan praktik pedagogi dari idealisme awalnya.

Di tengah kontradiksi ini, paradigma revolusi pragmatis menawarkan jalan tengah yang konstruktif. Berbeda dengan pragmatisme utilitarian yang sekadar berorientasi pada efisiensi jangka pendek, revolusi pragmatis mengedepankan pendekatan yang menjembatani kesenjangan antara idealisme dan realitas tanpa mengorbankan prinsip fundamental. Pendekatan ini mengakui keterbatasan struktural sambil tetap memperjuangkan transformasi sistemik melalui inovasi dan adaptasi yang berpijak pada nilai-nilai inti.

Integritas menjadi nilai sentral dalam revolusi pragmatis pendidikan nasional. Dalam konteks ini, integritas tidak sekadar dipahami sebagai kejujuran personal, melainkan keutuhan dan koherensi antara nilai, pikiran, ucapan, dan tindakan dalam seluruh ekosistem pendidikan. Integritas mencakup konsistensi antara idealisme pedagogis dengan praktik pembelajaran; antara kebijakan dengan implementasi; antara ekspektasi terhadap peserta didik dengan keteladanan para pendidik dan pemangku kebijakan.

Manifestasi revolusi pragmatis berbasis integritas dalam pendidikan nasional dapat diamati melalui beberapa dimensi transformatif. Pertama, reorientasi proses pembelajaran dari pendekatan transmisi konvensional menuju pedagogi transformatif yang mengembangkan kapasitas berpikir kritis, kreativitas, dan kesadaran reflektif. Model pembelajaran berbasis proyek, pembelajaran eksperiensial, dan pendekatan sokratik yang mendorong dialog dan inkuiri autentik menjadi instrumen penting dalam dimensi ini.

Kedua, rekonfigurasi relasi pedagogis dari hierarki yang kaku menuju kemitraan dialektis antara pendidik dan peserta didik. Pendidik tidak lagi diposisikan sebagai otoritas tunggal pengetahuan, melainkan sebagai fasilitator yang mendampingi proses konstruksi pengetahuan yang kolaboratif. Demokratisasi ruang pembelajaran ini menjadi prasyarat bagi tumbuhnya integritas intelektual dan kemandirian berpikir.

Ketiga, reformulasi kebijakan evaluasi dari pengukuran reduksionis menuju penilaian komprehensif yang mengapresiasi keragaman potensi dan jalur perkembangan peserta didik. Pendekatan asesmen autentik yang mengintegrasikan dimensi kognitif, afektif, dan psikomotorik memberikan gambaran yang lebih utuh tentang proses dan capaian pembelajaran.

Keempat, revitalisasi posisi guru sebagai profesional intelektual yang memiliki otonomi pedagogis dan kapasitas reflektif, bukan sekadar teknisi yang menjalankan kurikulum secara mekanis. Pengembangan profesionalisme guru yang berkelanjutan, penelitian tindakan kelas, dan komunitas praktisi pembelajar menjadi wahana penting bagi penguatan integritas profesional pendidik.

Kelima, rekonstruksi arsitektur kelembagaan pendidikan yang lebih responsif terhadap kebutuhan lokal sambil tetap terhubung dengan standar global. Desentralisasi yang bermakna, bukan sekadar administratif, memungkinkan institusi pendidikan mengembangkan identitas distingtif yang berakar pada konteks sosio-kultural spesifik sambil beradaptasi dengan tuntutan zaman.

Implementasi revolusi pragmatis ini tentu membutuhkan komitmen kolektif dari seluruh pemangku kepentingan pendidikan. Pemerintah, sebagai regulator dan fasilitator utama, perlu mengembangkan kerangka kebijakan yang memberikan ruang bagi eksperimentasi pedagogis konstruktif sambil menjaga akuntabilitas publik. Institusi pendidikan perlu membangun budaya organisasi yang mendukung inovasi dan refleksi kritis berkelanjutan. Komunitas pendidik perlu mengembangkan kesadaran profesional yang melampaui kepatuhan prosedural menuju komitmen substantif terhadap transformasi pembelajaran.

Akademisi dan peneliti pendidikan berperan penting dalam menyediakan landasan empiris dan teoretis bagi praksis pedagogis yang lebih efektif dan bermakna. Kajian interdisipliner yang mengintegrasikan wawasan dari neurosains, psikologi perkembangan, sosiologi, dan antropologi budaya dapat memperkaya pemahaman tentang kompleksitas proses belajar dalam konteks sosio-kultural Indonesia yang beragam.

Masyarakat sipil, termasuk komunitas orangtua, organisasi non-pemerintah, dan sektor swasta, perlu terlibat aktif dalam mendukung ekosistem pendidikan yang inklusif dan berkeadilan. Kemitraan strategis antara institusi pendidikan dengan komunitas dan industri dapat memperkaya pengalaman pembelajaran sekaligus memastikan relevansi pendidikan dengan kebutuhan masyarakat.

Di era disrupsi digital dan ketidakpastian global, revolusi pragmatis dalam pendidikan nasional menjadi semakin urgen. Pandemi COVID-19 telah mengakselerasi transformasi digital dalam praktik pedagogi, menciptakan peluang sekaligus tantangan baru. Kapasitas untuk beradaptasi dengan perubahan cepat sambil mempertahankan integritas nilai fundamental menjadi determinan penting bagi ketahanan dan relevansi sistem pendidikan nasional.

Revolusi pragmatis menuju nilai integritas dalam pendidikan nasional pada hakikatnya adalah upaya untuk merekoneksi praktik dengan idealisme, mengintegrasikan yang normatif dengan yang empiris, dan merekonsiliasi aspirasi dengan realitas. Pendekatan ini mengakui bahwa transformasi pendidikan bukanlah proses linear dengan solusi tunggal, melainkan perjalanan kompleks yang membutuhkan keseimbangan antara visi jangka panjang dengan pragmatisme strategis, antara standardisasi dengan kontekstualisasi, antara tradisi dengan inovasi.

Dalam jangka panjang, keberhasilan revolusi pragmatis ini akan tercermin dalam lahirnya generasi Indonesia yang tidak hanya unggul secara akademis, tetapi juga memiliki integritas moral, kepekaan sosial, dan ketahanan mental untuk menghadapi tantangan abad ke-21. Generasi yang mampu mengintegrasikan kearifan lokal dengan perspektif global, yang memiliki akar kultural yang kokoh sekaligus wawasan kosmopolitan yang luas. Generasi yang tidak sekadar mengikuti perubahan, tetapi mampu mengarahkan perubahan tersebut sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan universal dan cita-cita kemerdekaan nasional.

Dengan demikian, revolusi pragmatis menuju nilai integritas dalam pedagogi nasional bukanlah sekadar reformasi teknis dalam praktik pengajaran, melainkan gerakan transformatif yang mengaitkan kembali pendidikan dengan tujuan fundamentalnya: membebaskan potensi kemanusiaan setiap individu dan memberdayakannya untuk berpartisipasi secara bermakna dalam kehidupan bersama. Ini adalah perjalanan kolektif untuk mewujudkan pendidikan yang tidak hanya mentransfer pengetahuan, tetapi juga menumbuhkan kebijaksanaan; tidak hanya mengembangkan keterampilan, tetapi juga membentuk karakter; tidak hanya mencetak pekerja, tetapi juga melahirkan pemimpin dengan visi dan integritas.

 

Bagaimana Dengan Halnya Profesi Terkait Kompetensi Bidang Disiplin Ilmu ?

Profesi dan Kompetensi Bidang Disiplin Ilmu: Dinamika Linearitas di Dunia Kerja.

Dalam lanskap profesional kontemporer, hubungan antara latar belakang pendidikan formal dan jalur karier menunjukkan spektrum yang luas dan kompleks. Linearitas antara disiplin ilmu yang dipelajari dengan profesi yang dijalani telah menjadi topik diskusi yang semakin relevan di tengah transformasi fundamental dunia kerja. Fenomena ini mencerminkan pertemuan antara nilai tradisional pendidikan spesialisasi dengan realitas pasar kerja yang terus berevolusi.

Sejarah perkembangan profesionalisme modern berakar pada spesialisasi dan pembagian kerja yang semakin terperinci. Revolusi industri dan kemunculan masyarakat industrial menciptakan kebutuhan akan tenaga kerja dengan keterampilan terspesialisasi, melahirkan paradigma pendidikan yang menekankan linearitas antara pelatihan akademis dan aplikasi profesional. Model ini telah membentuk struktur institusional pendidikan tinggi, sistem akreditasi professional, dan kerangka regulasi berbagai profesi selama beberapa generasi.

Di satu spektrum, sejumlah profesi mempertahankan persyaratan linearitas yang ketat antara latar belakang pendidikan dan praktik profesional. Bidang-bidang seperti kedokteran, keperawatan, farmasi, teknik struktural, dan hukum menegakkan standar kualifikasi akademik yang spesifik sebagai prasyarat untuk mendapatkan izin praktik. Pendekatan ini didasarkan pada pertimbangan keselamatan publik, kompleksitas pengetahuan teknis, dan kebutuhan akan standardisasi praktik profesional. Dalam profesi-profesi ini, linearitas bukan sekadar konvensi administratif, melainkan mekanisme perlindungan yang memastikan praktisi memiliki fondasi pengetahuan yang diperlukan untuk menjalankan tanggung jawab mereka.

Studi empiris dalam bidang kedokteran, misalnya, menunjukkan korelasi kuat antara pelatihan spesialisasi formal dengan hasil klinis yang optimal. Seorang ahli bedah kardiovaskular melalui jalur pendidikan yang intensif dan terstruktur, mencakup pengetahuan anatomis mendalam, teknik operasi yang presisi, dan pemahaman komprehensif tentang patofisiologi jantung. Linearitas dalam konteks ini bersifat fundamental; kesalahan yang timbul dari pengetahuan yang tidak memadai dapat berakibat fatal.

Di spektrum lain, banyak sektor ekonomi kontemporer menunjukkan fleksibilitas yang lebih besar dalam memandang hubungan antara latar belakang akademis dan kompetensi profesional. Industri teknologi, bisnis digital, manajemen kreatif, dan berbagai sektor jasa menunjukkan pola rekrutmen dan pengembangan karier yang melampaui paradigma linearitas konvensional. Perusahaan teknologi terkemuka seperti Google, Apple, dan IBM telah mengadopsi pendekatan "skills-first hiring" yang memprioritaskan kompetensi aktual di atas kredensial formal.

Fenomena profesional lintas disiplin semakin menonjol dalam ekosistem inovasi kontemporer. Bidang-bidang emergen seperti kecerdasan buatan, bioteknologi, desain interaksi, dan keberlanjutan lingkungan menuntut perspektif interdisipliner yang menggabungkan wawasan dari berbagai domain pengetahuan. Seorang spesialis etika AI, misalnya, mungkin menggabungkan latar belakang ilmu komputer dengan filsafat moral; sementara konsultan keberlanjutan mungkin mengintegrasikan pengetahuan tentang ekologi, ekonomi, dan kebijakan publik.

Evolusi pasar kerja global juga telah melahirkan fenomena "career pivoting" yang semakin umum – transisi profesional yang melibatkan pergeseran lintas disiplin ilmu. Data dari LinkedIn dan platform karier menunjukkan bahwa rata-rata profesional kontemporer akan mengalami tiga hingga tujuh perubahan karier substansial selama masa kerja mereka, seringkali melintasi batas-batas konvensional antar disiplin ilmu. Transisi ini difasilitasi oleh proliferasi program pelatihan akselerasi, sertifikasi industri, dan platform pembelajaran daring yang menawarkan jalur alternatif untuk memperoleh kompetensi di luar sistem pendidikan formal.

Perspektif ekonomi perilaku mengidentifikasi nilai tambah dari diversitas kognitif yang muncul dari tim multidisipliner. Penelitian menunjukkan bahwa kelompok yang terdiri dari individu dengan perspektif beragam – produk dari latar belakang pendidikan yang berbeda – sering menghasilkan solusi yang lebih inovatif untuk masalah kompleks. Perusahaan seperti IDEO dan institusi penelitian seperti MIT Media Lab secara eksplisit mengadopsi pendekatan "T-shaped professionals", menggabungkan kedalaman spesialisasi dengan keluasan perspektif lintas disiplin.

Regulasi profesional juga mengalami transformasi sebagai respons terhadap realitas baru ini. Badan-badan sertifikasi industri seperti PMI (Project Management Institute) dan SHRM (Society for Human Resource Management) telah mengembangkan kerangka penilaian kompetensi yang mengakui kombinasi pendidikan formal, pengalaman praktis, dan pembelajaran berkelanjutan. Pendekatan berbasis kompetensi ini menawarkan jalur alternatif menuju kredensial profesional yang tidak bergantung secara eksklusif pada linearitas akademis.

Di era revolusi industri keempat yang ditandai oleh otomatisasi, digitalisasi, dan integrasi teknologi, keterampilan adaptif dan pembelajaran berkelanjutan menjadi semakin krusial. Forum Ekonomi Dunia mengidentifikasi "kemampuan belajar" sebagai meta-kompetensi fundamental untuk masa depan pekerjaan. Dalam konteks ini, linearitas antara pendidikan awal dan jalur karier jangka panjang mungkin menjadi kurang relevan dibandingkan kapasitas untuk terus memperoleh pengetahuan dan keterampilan baru.

Tantangan bagi pembuat kebijakan pendidikan dan regulator industri adalah mengembangkan kerangka yang menciptakan keseimbangan optimal antara standar profesional yang ketat dengan fleksibilitas yang diperlukan untuk inovasi dan adaptasi. Pendekatan yang terlalu kaku terhadap linearitas berisiko menciptakan hambatan masuk yang tidak perlu dan menghambat mobilitas tenaga kerja; sementara penghapusan semua standar kualifikasi dapat mengikis kepercayaan publik dan mengkompromikan kualitas layanan profesional.

Model pendidikan tinggi juga perlu beradaptasi dengan keseimbangan baru ini. Universitas terkemuka global telah mulai mendesain ulang kurikulum mereka untuk menggabungkan kedalaman disiplin tradisional dengan eksposur interdisipliner dan pengalaman praktis. Program-program seperti "design thinking" di Stanford, "liberal arts engineering" di Olin College, dan "entrepreneurial science" di MIT menunjukkan evolusi menuju pendekatan pendidikan yang mengakui kompleksitas dunia profesional kontemporer.

Dalam perspektif yang lebih luas, diskusi tentang linearitas profesi dan disiplin ilmu mencerminkan pertanyaan fundamental tentang tujuan pendidikan tinggi di abad ke-21. Apakah universitas terutama berfungsi sebagai tempat pelatihan profesional, atau sebagai institusi untuk pengembangan intelektual yang lebih holistik? Bagaimana sistem pendidikan dapat mempersiapkan individu untuk masa depan pekerjaan yang semakin tidak dapat diprediksi? Jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan ini akan terus membentuk evolusi hubungan antara disiplin akademis dan jalur karier profesional.

Pada akhirnya, diskusi tentang linearitas antara disiplin ilmu dan profesi tidak dapat dipisahkan dari perkembangan masyarakat pengetahuan yang lebih luas. Di dunia yang ditandai oleh perubahan eksponensial, kompleksitas sistemik, dan tantangan global yang belum pernah terjadi sebelumnya, batasan-batasan tradisional antara disiplin ilmu semakin menjadi konstruksi artifisial. Profesional masa depan akan semakin dituntut untuk mengintegrasikan wawasan dari berbagai domain pengetahuan, beradaptasi dengan paradigma baru, dan mengatasi tantangan yang belum ada preseden historisnya. Dalam konteks ini, pemahaman yang lebih nuansir tentang hubungan antara pendidikan dan praktik profesional menjadi semakin penting.

 

Guru Sekolah Dan Kompetensi Bidang Disiplin Ilmu Haruskan Linear ?

Linearitas Guru Sekolah dan Kompetensi Bidang Disiplin Ilmu: Perspektif Modern dalam Pendidikan.

Dalam lanskap pendidikan kontemporer, perdebatan mengenai linearitas antara latar belakang pendidikan guru dengan mata pelajaran yang diajarkan menjadi topik yang semakin relevan. Linearitas dalam konteks ini merujuk pada kesesuaian antara gelar akademik yang dimiliki seorang pendidik dengan bidang studi yang menjadi tanggung jawab pengajarannya di ruang kelas. Perdebatan ini tidak hanya berimplikasi pada kebijakan rekrutmen dan penempatan guru, tetapi juga berdampak langsung pada kualitas pembelajaran yang diterima peserta didik.

Sejarah perkembangan profesi guru di Indonesia menunjukkan evolusi bertahap dari sistem yang sangat fleksibel menuju regulasi yang lebih terstruktur. Di masa lalu, tidak jarang ditemui guru yang mengajar berbagai mata pelajaran tanpa mempertimbangkan linearitas disiplin ilmu. Praktik ini lebih didasarkan pada ketersediaan tenaga pengajar daripada pertimbangan kualifikasi akademik. Namun, seiring dengan reformasi pendidikan nasional dan penerapan standar kualifikasi guru melalui Undang-Undang Guru dan Dosen, aspek linearitas mulai mendapat perhatian lebih serius.

Perspektif yang mendukung linearitas berpijak pada argumentasi bahwa penguasaan mendalam terhadap suatu bidang ilmu merupakan prasyarat fundamental bagi efektivitas pengajaran. Seorang guru dengan latar belakang pendidikan yang linear akan memiliki fondasi konseptual yang kuat, pemahaman epistemologis yang lebih mendalam, dan pengetahuan terkini mengenai perkembangan dalam disiplin ilmunya. Hal ini memungkinkan mereka untuk tidak hanya menyampaikan materi secara komprehensif, tetapi juga menginspirasi minat akademik yang lebih besar pada peserta didik melalui wawasan substantif yang dimilikinya.

Studi empiris dalam bidang pendidikan telah mengidentifikasi korelasi positif antara penguasaan materi oleh guru dengan pencapaian akademik siswa. Penelitian yang dilakukan oleh badan-badan pendidikan internasional menunjukkan bahwa guru dengan kualifikasi spesifik dalam bidang yang diajarkannya cenderung menghasilkan metode pengajaran yang lebih efektif dan berdampak positif pada hasil belajar. Linearitas, dalam hal ini, menjadi faktor yang memperkuat kredibilitas profesional dan kapasitas pedagogis seorang pendidik.

Di sisi lain, pendekatan yang lebih fleksibel terhadap linearitas juga memiliki justifikasi yang valid. Kemampuan pedagogis, motivasi intrinsik untuk pengembangan diri, dan pengalaman praktis sering kali berkontribusi signifikan terhadap efektivitas seorang guru, terlepas dari latar belakang akademisnya. Dalam konteks ini, linearitas formal mungkin bukan merupakan indikator komprehensif dari kompetensi pengajaran. Guru dengan latar belakang non-linear namun memiliki dedikasi tinggi untuk memperdalam pengetahuan mereka sering kali mampu memberikan pengajaran yang inspiratif dan transformatif.

Realitas di lapangan, terutama di daerah-daerah terpencil Indonesia, menunjukkan bahwa keterbatasan sumber daya manusia sering kali menjadi kendala dalam menegakkan prinsip linearitas secara ketat. Sekolah-sekolah di wilayah dengan aksesibilitas terbatas sering menghadapi dilema antara mempertahankan standar linearitas atau memastikan keberlangsungan proses pembelajaran. Dalam situasi seperti ini, fleksibilitas menjadi pendekatan pragmatis yang tidak dapat dihindari, meskipun mungkin bukan solusi ideal jangka panjang.

Pendekatan kontemporer yang lebih nuansir menekankan pentingnya keseimbangan antara linearitas formal dengan kompetensi komprehensif. Model ini mengakui nilai kualifikasi akademik yang relevan sambil memberikan ruang bagi pengembangan profesional berkelanjutan sebagai mekanisme untuk menjembatani kesenjangan kompetensi. Program pengembangan kapasitas guru, komunitas praktisi pembelajaran, dan platform kolaborasi profesional dapat berfungsi sebagai instrumen untuk memperkuat kompetensi substantif guru, terlepas dari latar belakang akademis mereka.

Dalam konteks perkembangan teknologi dan transformasi paradigma pendidikan, perdebatan mengenai linearitas juga perlu mempertimbangkan dinamika baru dalam lanskap keilmuan. Batas-batas tradisional antar disiplin ilmu semakin kabur dengan munculnya bidang-bidang interdisipliner. Pendekatan pembelajaran terpadu dan tematik yang kini menjadi tren global menuntut guru untuk memiliki perspektif yang lebih holistik, melampaui spesialisasi sempit dalam satu disiplin ilmu.

Kebijakan pendidikan nasional perlu merumuskan kerangka regulasi yang mengakomodasi kompleksitas ini. Alih-alih menerapkan standar linearitas yang kaku, pendekatan yang lebih adaptif dapat mempertimbangkan kombinasi kriteria, termasuk kualifikasi formal, pengalaman profesional, komitmen untuk pengembangan berkelanjutan, dan evaluasi kinerja berbasis kompetensi. Sistem sertifikasi kompetensi alternatif dapat menjadi jalan tengah untuk mengakui kapabilitas guru yang diperoleh melalui jalur non-konvensional.

Pada akhirnya, diskusi mengenai linearitas guru dan kompetensi bidang disiplin ilmu harus berpusat pada tujuan fundamental pendidikan: memfasilitasi proses pembelajaran yang bermakna dan transformatif bagi peserta didik. Linearitas formal memang memiliki nilai intrinsik dalam menjamin standar profesionalisme, namun tidak boleh menjadi dogma yang mengabaikan realitas kompleks dan kebutuhan adaptif dalam ekosistem pendidikan. Keseimbangan yang cerdas antara idealisme akademik dan pragmatisme kontekstual akan menghasilkan pendekatan yang lebih responsif terhadap tantangan pendidikan kontemporer.

Bagikan Artikel Ini
img-content
A.W. Al-faiz

Penulis Indonesiana

1 Pengikut

img-content

Jejak Al-Masih dalam Ruang Kelas Modern

Kamis, 21 Agustus 2025 22:47 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler